Sabtu, April 25, 2009

TAUBATNYA NABI SAW



Bagaimana perasaan Anda ketika tiba-tiba datang seseorang lalu bertanya tentang berapa kali Anda dalam satu hari ini telah beristighfar kepada Allah. Apakah wajah Anda akan berubah pucat dan seluruh tubuh Anda bergetar mendengar pertanyaan itu? Atau Anda hanya akan sekedar mengernyitkan dahi pertanda bingung memahami apa sebenarnya yang diinginkan oleh seseorang yang datang tersebut, kemudian berkata kepadanya, “Mengapa engkau tiba-tiba bertanya tentang itu. Bukankah akan lebih baik bila pertanyaan itu kau ajukan kepada dirimu sendiri?” Atau mungkin Anda akan berkata jauh lebih banyak lagi daripada itu. Membeberkan segala aibnya, meremehkannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia lebih layak untuk segera bertaubat dan beristighfar sebanyak-banyaknya kepada Allah daripada diri Anda sendiri. Padahal, boleh jadi kedatangannya untuk mengingatkan Anda justru membawa kebaikan bagi diri Anda sendiri. Mungkin juga cara yang demikian itu menjadi jalan baginya untuk mengingatkan dirinya sendiri terhadap dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
“Dosa manusia itu bertingkat-tingkat sesuai dengan maqomnya.” Begitulah keterangan yang sering kita dengar dari para ulama. Semakin tinggi maqom seseorang, semakin besar godaan yang dihadapkan setan kepadanya yang bisa membuatnya terjerumus ke jurang dosa. Semakin rendah maqom seseorang, semakin mudah setan menjerumuskannya sehingga hal kecil pun bisa menjadi dosa baginya. Memang tidak mudah bagi kita untuk menentukan maqom kita di hadapan Allah. Jalan terbaik bagi kita adalah selalu mengingatkan diri untuk beristighfar kepada Allah, sebanyak-banyaknya. Apabila setengah hari telah kita lalui, segeralah kembali melipat waktu untuk melihat saat kita di pagi hari. Telusuri kembali saat-saat itu. Apakah ada waktu yang terisi oleh dosa dan kemaksiatan yang takkan terhapus hanya dengan beristighfar 100 kali? Atau justru di antara waktu-waktu itu hanya ada 3 kali istighfar yang kita ucapkan, sementara dosa yang kita kerjakan jutaan kali? Atau bahkan seutuhnya waktu itu penuh dengan kemaksiatan?
Padahal Nabi SAW, yang sudah diampuni dosanya pada masa lalu maupun masa yang akan datang, masih terus beristighfar minimal 100 kali. Bukankah kita lebih pantas beristighfar dalam jumlah yang jauh lebih banyak? Mengenai istighfar Nabi ini, mari kita simak penafsiran berikut ini.
Al-Junaid pernah berkata tentang makna sabda Rasulullah SAW: “Beristighfar (memohon ampun)-lah kalian kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya, karena sesungguhnya aku beristighfar dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.” (HR Al-Hakim dan Ath-Thabrani dari Abu Musa).
Kaum Sufi mengatakan bahwa kondisi ruhani (haal) Nabi SAW dengan Allah dalam setiap detik, setiap hembusan-tarikan nafas, dan setiap kedipan mata akan selalu bertambah. Maka, ketika ruhani Rasulullah semakin bertambah dan semakin tinggi, maka semakin mulia pula daripada kondisi ruhani pada detik-detik sebelumnya. Dengan demikian, beliau senantiasa beristighfar dan bertaubat dari kondisi ruhani sebelumnya.
Al-Junaid Rahimahullah juga pernah ditanya tentang sabda Rasulullah SAW: “Semoga Allah senantiasa memberi rahmat kepada saudaraku Isa AS. Andaikan ia semakin bertambah yakin, ia akan berjalan di angkasa.” Maka Al-Junaid menjawab, maknanya adalah—dan Allah adalah Yang Maha Tahu—bahwa Isa AS berjalan di atas air karena keyakinan yang kuat. Sedangkan Nabi SAW berjalan di angkasa saat malam Isra’ dan Mikraj, karena beliau lebih yakin daripada Isa AS. Oleh karena itu beliau bersabda, “Andaikan ia semakin bertambah yakin, andaikan ia diberi keyakinan yang lebih sebagaimana yang diberikan kepadaku, niscaya ia akan berjalan di angkasa.” Dalam hal ini Rasulullah memberitahukan kondisi ruhaninya.
Al-Hushri Rahimahullah mengatakan tentang makna sabda Nabi SAW: “Aku memiliki waktu dengan Allah yang tidak cukup untuk apa pun selain Allah Azza wa Jalla.” (Sanadnya tidak diketahui). Jika ucapan ini benar (shahih) dari Rasulullah SAW dan beliau mengatakan hal itu, atau bahkan tidak shahih sekalipun, maka sesungguhnya seluruh waktu beliau tidaklah cukup untuk selain Allah SWT dengan rahasia jiwanya yang paling dalam. Namun dengan sifat-sifatnya, beliau dikembalikan kepada seluruh makhluk untuk tugas pendidikan dan memberitahu mereka. Dan, pada sifat-sifat beliau berlangsung seluruh bentuk hukum, agar mereka mengambil manfaat dan suritauladan darinya. Maka, apabila sinar-sinar rahasia hatinya tampak pada sifat-sifatnya, maka beliau akan menariknya dari manusia.
Aisyah RA pernah berkisah, “Aku pernah terbangun pada suatu malam, namun tidak kutemukan Rasulullah di tempat tidur. Lalu aku mencarinya. Ternyata tanganku menyentuh kedua kaki yang saat itu sedang tegak dalam posisi sujud kepada Allah Azza wa Jalla. Dan aku mendengar beliau berdoa dalam sujud, ‘Aku melindungkan diri dalam ridha-Mu dari murka-Mu dan dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu.” (Al-Hadits).
“Sesungguhnya, inilah waktu yang tampak dalam rahasia hatinya, sementara berbagai cahaya memancar pada sifat-sifatnya. Apabila ragam cahaya itu kembali ke rahasia hatinya, maka beliau mengembalikan dengan sifatnya kepada seluruh makhluk agar mereka bisa mengambil manfaat dan suritauladan. Maksud dari sifatnya adalah lahiriahnya, sedangkan rahasianya adalah batinnya.” Demikian As-Sarraj berkata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar