Rabu, September 16, 2009

TAUBAT CARA KEMBALI KEPADA ALLAH


‘Taubat’ pasti bukan kata yang asing bagi pendengaran kita. Kata ini sudah lazim disebut-sebut dalam setiap pengajian. Apabila kita mendengat kata ‘taubat’ pastilah yang terbayang di benak kita keadaan seseorang yang lebih baik, lebih taat, lebih santun, dan lebih banyak beribadah daripada masa-masa sebelumnya. Namun di sisi lain kata ini pun sering dirangkai dengan kata lain untuk menunjukkan niat dan perilaku seseorang yang tidak serius untuk menjalani hidup secara lebih baik, yakni ‘taubat sambal’. Tentu saja kata yang terakhir ini tidak pernah kita temukan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan taubat?
Untuk memperjelas maknanya, sebaiknya kita coba menelusuri arti kata ‘taubat’ itu sendiri. Taubat berasal dari kata taaba-yatuubu-taubatan, yang berarti kembali. Taib adalah sebutan bagi seseorang yang kembali, sedangkan tawwab memperlihatkan perilaku atau tindakan seseorang yang banyak serta terus-menerus kembali.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang banyak bertaubat dan menyukai orang-orang yang memelihara kesucian diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Sering kali kita menemukan ayat ini digunakan untuk menunjukkan bahwa Allah menyukai orang-orang yang bertaubat, tentu saja hal itu tidak salah. Namun tentu Allah pun jauh lebih menyukai orang-orang yang banyak dan sering bartaubat kepadanya. Tidak tepat rasanya bila kita memaknai taubat sebagai proses yang hanya berlangsung satu kali saja. Itulah sebabnya ayat tersebut menggunakan kata at-tawwaabiina yang tidak sekedar menunjukkan orang-orang bertaubat dalam jumlah yang banyak, namun yang paling penting adalah seseorang yang bertaubat dan dia melaksanakan taubatnya itu secara berketerusan. Seseorang yang kembali kepada Allah dan terus-menerus kembali kepada-Nya, dialah at-tawwab. Perlu kita pahami bahwa kata at-tawwab ini tidak hanya digunakan untuk menunjuk manusia yang sering dan banyak bertaubat, namun juga dinisbatkan kepada Tuhan. Mari kita simak ayat berikut ini.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah, Dialah At-Tawwab dan Ar-Rahim.” (QS. At-Taubah [9]: 118)
Ayat ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa Allah adalah Dzat yang paling banyak bertaubat dan paling banyak menyayangi. Tentu akan banyak di antara kita yang merasa aneh dengan penerjemahan yang demikian itu, karena taubat identik dengan permohonan ampun, dan tak mungkin Tuhan adalah Dzat yang paling banyak memohon ampun. Adalah benar bahwa Tuhan bukanlah Dzat yang memohon ampun, karena taubat memang tidak berarti memohon ampun. Pemahaman seperti itu terjadi pasti akibat kata ‘taubat’ telah kehilangan makna kembalinya. Pikiran kita dipenuhi oleh gambaran orang yang sedang minta ampun ketika kata ‘taubat’ diucapkan. Makna kata ‘taubat’ itu sendiri telah bergeser dari makna yang sesungguhnya.
Untuk mendalami bagaimana taubat menjadi cara kembali kita kepada Tuhan, mari kita simak sekelumit uraian yang ada dalam kitab Manajilus Sairin. Di sana disebutkan bahwa ketika manusia menempuh perjalanan menuju Allah, maka dia harus melewati sejumlah maqam atau stasiun. Di antara maqam-maqam itu ada yang disebut yaqzhah dan taubat. Keduanya adalah maqam yang berbeda pada tingkatan pertama dan kedua.
Apa yang dimaksud dengan yaqzhah? Yaqzhah adalah kesadaran. Di maqam pertama inilah Allah dengan berbagai cara yang dimiliki-Nya menghadirkan kesadaran dalam diri manusia. Kesadaran terhadap apa? Kesadaran terhadap berbagai macam keburukan yang pernah kita lakukan; kesadaran akan sikap kita selama ini yang selalu menyia-nyiakan waktu; kesadaran terhadap kekeliruan cara pandang yang selama ini kita jadikan sebagai pedoman hidup; dan sebagainya. Singkat kata, di maqam pertama inilah kesadaran dalam diri mulai muncul.
Allah adalah Dzat yang tak pernah kehabisan cara untuk membuat hamba-Nya sadar. Berbagai macam situasi dan kondisi bisa diciptakan-Nya untuk tujuan itu. Kesadaran kita miliki bisa lewat pengajian yang kita dengarkan, peristiwa yang kita saksikan atau kita alami sendiri, program-program pencerahan yang kita ikuti, atau boleh jadi dari nasehat orang lain terhadap kita. Terkadang cara-cara yang membuat kita sadar tak pernah terlintas dalam pikiran kita. Di situlah letak kekuasaan Allah, Tuhan Sang Pemiliki berbagai macam siasat, yang dengannya kita bisa mengalami pencerahan. Di antara sekian banyak hal yang membuat manusia sadar, musibah adalah faktor paling sering yang memunculkan kesadaran dalam kehidupan manusia.
Allah berfirman: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun [64]: 11)
Musibah yang menimpa kita menjadi salah satu cara yang dipergunakan Tuhan agar kesadaran menghampiri kita. Menurut Tuhan, tidak ada satu pun musibah yang menimpa manusia kecuali di dalamnya ada izin dari-Nya. Artinya, Dia sudah mengetahui apa bentuk musibah, kepada siapa musibah itu ditimpakan, dan akibat yang dihasilkan oleh musibah tersebut.
Perhatikanlah orang yang sedang diuji Allah dengan suatu musibah, biasanya dia akan menyebut nama Tuhan sekalipun sebelum musibah itu terjadi dia tidak pernah melakukannya. Ketika kebakaran menghanguskan seluruh harta benda yang dimilikinya, dia datang kepada Allah untuk mengadukan persoalannya. Ketika gempa bumi mengguncang dan tsunami melanda, yang diteriakkannya adalah nama Tuhan. Ketika dia mengetahui akan berhadapan dengan suatu bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya, dia bisikkan permohonan pertolongan kepada Allah. Padahal sebelum peristiwa-peristiwa itu dia hadapi, dia jarang sekali mengingat Tuhan. Begitulah Tuhan berbuat, menjadikan musibah sebagai jalan bagi manusia untuk menyadari kekhilafannya. Nah, ketika kesadaran itu muncul di dalam diri kita dan kita merasakan betapa jauhnya jarak yang kita buat dengan Tuhan akibat perilaku maksiat yang kita jalani, lalu besar keinginan untuk kembali kepada-Nya, itulah yang dimaksud dengan yaqzhah. Apabila kita berada dalam kondisi ini, maka para sufi menyebutkan bahwa kita sedang berada pada maqam atau stasiun pertama, yakni maqam yaqzhah.
Kesadaran dan keinginan untuk kembali kepada Tuhan sama artinya dengan kembali kepada kefitrahan, karena secara fitrah kita memang bergantung kepada Tuhan. Tak satu pun di antara makhluk ini yang dapat lepas dari kebergantungan kepada Allah. Bahkan, tatkala kita sedang melupakan-Nya, Dia tetap memelihara kita dan memberikan segala yang menjadi hak kita sebagai makhluk. Di dalam ajaran Islam, kembali kepada Allah merupakan fitrah manusia. Lalu, di mana Allah menyembunyikan kehendak fitrah kita itu dan mengapa ia jarang sekali muncul? Sebelum kita menemukan jawabannya, simaklah ayat berikut ini.
Allah berfirman: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah misykat yang di dalamnya ada misbah…” (QS. An-Nur [24]: 35)
Dalam ayat tersebut Tuhan menjelaskan bahwa cahaya yang ada di langit dan di bumi adalah pemberian-Nya, dari Allah cahaya itu berasal. Perumpaan cahaya tersebut adalah laksana sebuah misykat yang di dalamnya ada misbah. Apa misykat dan apa pula misbah? Dalam bahasa Arab, misykat adalah sebuah tempat dengan bentuk seperti sebuah mangkuk terbalik. Agar Anda lebih mudah mengetahuinya, bayangkanlah sebuah kubah masjid. Seperti itulah bentuk misykat. Sedangkan misbah adalah lampu. Tentunya kita sering menemukan sebuah tempat lampu yang bentuknya seperti kubah masjid. Biasanya lampu-lampu seperti itu sering dipakai di pagar-pagar masjid atau sebagai lampu sekiligus hiasan di dalam masjid. Gambaran seperti itulah yang dimaksud pada kalimat kamisykaatin fiihaa misbaah.
Al-Qur’an memberikan gambaran tentang hati kita laksana sebuah misykat yang di dalamnya ada misbah. Misbah inilah sesungguhnya fitrah manusia, yang padanya tidak ada sesuatu pun yang menyimpang dari petunjuk Allah SWT. Persoalannya adalah cahaya misbah ini sering kali tidak muncul dan mendominasi kehidupan kita. Cahaya itu sepertinya tertutup oleh penutup yang amat tebal sehingga pancarannya tidak bisa keluar. Cahaya fitrah tidak menyinari setiap sudut relung jiwa kita sehingga kita hidup laksana di dalam ruang yang sangat gelap hingga kita menabrak apa pun yang kita hadapi, berjalan tanpa arah dan terombang-ambing tanpa tujuan yang jelas. Keadaan seperti itu kita alami karena cahaya fitrah yang disembunyikan Allah di kedalaman hati kita tertutupi oleh dosa-dosa yang kita lakukan dan diredupkan oleh kuatnya perhatian kita terhadap dunia. Jadi, banyaknya dosa yang kita lakukan dan besarnya pengharapan serta perhatian kita terhadap persoalan duniawi adalah hal-hal yang memperlemah serta meredupkan pancaran cahaya fitrah yang kita miliki. Sebaliknya, kalau kita menghindarkan diri dari segala macam bentuk maksiat, dan membebaskan pikiran dari ketertarikan yang berlebihan terhadap persoalan duniawi, serta membersihkan hati dengan penuh kesungguhan, maka misykat itu akan menjadi sangat bening sehingga cahaya misbah yang ada di dalamnya akan memancar dengan pancaran yang sangat cemerlang. Takkan ada lagi kegelapan yang kita temukan dan arah yang kita tuju pun akan terlihat sangat jelas.
Allah menggambarkan keadaan itu dalam firman-Nya: “Kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)…” (QS. An-Nur [24]: 35)
Sebaiknya beberapa saat kita kembali mengingat tentang diri kita pada saat-saat sebelum Tuhan mengizinkan kita untuk tinggal di dunia ini. Di dalam diri kita sesungguhnya Allah telah mempersiapkan suatu ‘alat’ yang membawa kita pada tahap kesucian dan menimbulkan getar-getar kerinduan untuk kembali kepada-Nya. ‘Alat’ itu adalah hati yang di dalamnya terdapat cahaya fitrah. Ketika kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang amat sulit, biasanya fitrah ini akan bersuara. Ketika kita sedang berada dalam kondisi untuk memutuskan antara yang salah dan benar, biasanya cahaya fitrah ini akan bersinar dan memperlihatkan pada kita mana yang benar. Namun, sejak kita hadir di dunia ini, tempat baru yang sebelumnya tak pernah kita ketahui, banyak hal yang membuat bisikan fitrah menjadi kurang terdengar dan membuat cahayanya menjadi redup. Kita kagum terhadap tampilan dunia dengan segala macam pesona yang diperlihatkannya. Karena sebelumnya hal-hal seperti yang ada di dunia ini tidak pernah kita temui, maka banyak di antara kita yang mencurahkan lahir-batinnya untuk meraih dunia. Fitrah dengan segala macam kebenaran yang dibisikkannya menjadi terlupakan. Reduplah sinarnya dan melemahlah suaranya. Akhirnya kita terperangkap oleh jejaring kehidupan dunia. Kita berjalan tanpa penerang dan tanpa petunjuk. Dosa demi dosa telah menyebabkan tempelan noda pada hati hingga seluruh bagiannya tertutupi oleh noda-noda yang sangat tebal. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, agar kita tersadar dari kekhilafan yang kita lakukan, maka Allah memberikan teguran pada kita dengan berbagai macam bentuk, dan kebanyakan darinya adalah musibah. Tujuannya adalah agar manusia sadar dan kembali kepada Allah SWT.
Musibah mengantarkan kita pada maqam yaqzhah, kesadaran. Oleh karena itu, apabila kita tidak pernah terkena musibah janganlah terlalu merasa bahagia. Sebab keadaan yang tanpa musibah itu boleh jadi menyiratkan bahwa Tuhan membiarkan kita dan tidak memperhatikan kita. Justru musibah adalah salah satu cara Allah dalam memberikan perhatian terhadap hamba-Nya. Ternyata, banyak di antara manusia yang melangkah ke maqam yaqzhan tatkala musibah menghampiri mereka. Di stasiun ini kita membersihkan kembali noda-noda yang telah menempeli hati. Misykat yang ada di dalamnya disucikan hingga mengkilap laksana bintang-bintang yang gemerlapan. Bila misykat telah bersih seperti sediakala, maka misbah akan memancarkan cahaya yang terang-benderang.
Allah menggambarkan dengan indah proses manusia yang melangkah ke maqam yaqzhah di dalam Al-Qur’an. Mari kita simak ayat berikut ini: “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan Kami dari bahaya ini, pastilah Kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur’. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar…” (QS. Yunus [10]: 22-23)
Allah menggambarkan proses manusia yang menapaki maqam yaqhah dengan seseorang yang menaiki perahu. Pada awalnya Tuhan memberikan kepadanya kenikmatan dalam pelayarannya dengan meniupkan angin yang baik, tidak terlalu kencang dan tidak pula terlalu pelan. Dengan tiupan angin yang seperti itu dia merasa bergembira. Dia melupakan segalanya karena menikmati pelayarannya, termasuk Tuhan pun dilupakannya. Namun tiba-tiba angin yang tadinya sangat bersahabat berubah menjadi sangat membahayakan. Angin bertiup kencang disertai gelombang laut yang meninggi. Mulailah dia ketakutan dan sangat berharap agar dia bisa selamat dari keadaan itu. Saat-saat seperti itu dia sadar tak ada apa pun yang bisa menyelamatkannya kecuali Tuhan. Maka dia datang menghadap Tuhan dengan mengikhlaskan ketaatan pada-Nya. Hingga Tuhan kemudian menyelamatkannya hingga ke daratan.
Proses kesadarannya untuk kembali kepada Allah dan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya adalah gambaran manusia yang menapaki yaqzhah. Seharusnya, dari tahap yaqzhah ini terus bergerak ke maqam berikutnya. Namun tidak semua manusia bisa melakukan hal itu. Kebanyakan dari kita justru tidak meneruskan perjalanan ke stasiun berikutnya. Termasuk yang digambarkan Allah dalam ayat tersebut. Setelah Allah menyelamatkannya hingga ke daratan, dia kembali melakukan kezaliman yang sangat bertentangan dengan fitrah manusia. Artinya, dia kembali meninggalkan kefitrahannya.
Pada ayat lain Allah menggambarkan: Katakanlah: "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya." (QS. Al-An’am [6]: 64)
Di ayat ini Allah menggambarkan orang yang telah menapaki maqam yaqzhah karena bencana dan kesusahan yang dialaminya, namun gagal meneruskan ke maqam berikutnya karena mempersekutukan Tuhan. Padahal musyrik bertentangan dengan fitrah dan melakukannya berarti menjauh dari fitrah.
Apabila kita berhasil di maqam yaqzhah atau di stasiun pertama dan terhindar dari segala macam hal yang menyebabkan kita jauh dari kefitrahan, selanjutnya adalah menapaki stasiun kedua, yakni maqam taubat. Di sini kita akan membicarakan kata lain yang sering juga disamakan maknanya dengan taubat, yaitu istighfar. Dari segi arti kata, sesungguhnya taubat dan istighfar tidaklah sama. Kalau taubat berarti kembali, lalu apa arti istighfar? Istighfar asal katanya adalah ghafara, artinya menutup. Alat yang digunakan untuk melindungi kepala agar tidak terbentur atau agar terhindar dari hal-hal yang membahayakannya disebut mughfar. Sedangkan istaghfara bermakna usaha kita dalam memohon agar ditutup dari segala hal yang menyakitkan. Bagaimana Al-Qur’an menjelaskan kepada kita perihal pelaksanaan istighfar dan taubat? Mari kita simak sejumlah firman Allah berikut ini: “…Hendaklah kamu beristighfar kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat”. (QS. An-Naml [27]: 46)
“…Dan beristighfarlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 199)
Dua ayat di atas memperlihatkan perintah Allah untuk beristighfar tanpa diiringi perintah bertaubat. Apabila kita beristighfar kepada Allah, maka kita bisa mendapatkan ampunan dan kasih sayang dari-Nya. Namun, ada juga firman Allah yang berisi perintah untuk beristighfar disertai dengan perintah bertaubat. Coba kita perhatikan ayat-ayat berikut.
“Dan hendaklah kamu beristighfar kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hud [11]: 3)
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, beristighfarlah kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (QS. Hud [11]: 52)
Kedua ayat ini menunjukkan perintah untuk beristighfar yang kemudian dilanjutkan dengan perintah bertaubat. Artinya, kita diperintahkan untuk beristighfar dan bertaubat kepada Allah SWT. Mari kita merenung sejenak, untuk apa sebenarnya kita beristighfar? Kita sering mendengar para ustadz mengatakan tujuan beristighfar adalah untuk memohon maghfirah dari Allah. Ya, demikianlah adanya. Istighfar memang untuk memohon maghfirah. Berdasarkan pada akar katanya, maghfirah berarti penutup. Pasti kita kembali akan mengajukan pertanyaan, apa yang mesti ditutup?
Untuk memahaminya perlu kita ketahui bahwa setiap dosa pasti akan menimbulkan akibat-akibatnya. Apa pun pekerjaan yang kita lakukan, kalau mengandung dosa maka pasti akan tiba saatnya kita menanggung akibat atau efek dari dosa tersebut. Dosa-dosa itu ada yang akibatnya mempercepat kecelakaan, ada pula yang menyempitkan rezki, dan sebagainya. Bertengkar dan memutus silaturrahim adalah jenis dosa yang akibatnya mempercepat kecelakaan. Memfitnah, mengadu domba, mendurhakai orangtua dan menyakiti orang-orang miskin adalah jenis-jenis dosa yang bisa mempersempit pintu rezki. Maka ketika kita beristighfar, sesungguhnya kita sedang memohon kepada Allah agar menghindarkan kita dari segala macam efek atau akibat dosa yang telah kita lakukan. Bisa juga dikatakan, dengan istighfar kita memohon kepada Tuhan agar menutup diri kita ini serapat-rapatnya dari segala macam akibat buruk dosa-dosa yang kita lakukan. Sekali lagi, akibat buruk pasti akan selalu mengikuti setiap dosa yang kita lakukan. Itulah mengapa Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah pernah berakata, “Ketika engkau beristighfar kepada Allah, sesungguhnya engkau sedang memohon agar Dia melindungimu dari segala keburukan sebagai akibat dari dosa yang kau lakukan sebelumnya.”
Kita sudah tahu apa itu istighfar dan untuk apa kita beristighfar. Sekarang kita akan mencari jawab, apa itu taubat dan untuk apa bertaubat? Telah dijelaskan sebelumnya bahwa taubat berarti kembali. Untuk menunjuk kata kembali juga dalam bahasa Arab sering digunakan kata ruju’. Tentu tidak sulit bagi kita untuk memahami kata ruju’. Kita sering mendengar seseorang yang telah bercerai lalu ruju’, artinya kembali bersatu lagi. Namun yang dimaksud dengan taubat adalah kembali kepada perbuatan baik setelah sekian lama bergelimang dalam perbuatan buruk. Sebagian ulama berkata bahwa taubat adalah al-ruju’ min al-mukhalafah ila al-muwafaqah, yakni kembali dari menentang Tuhan kepada penyesuaian diri dengan perintah Tuhan.
Jadi, bila istighfar memohon kepada Allah agar terhindar dari akibat buruk dosa yang kita lakukan, maka taubat berarti meninggalkan perbuatan buruk itu sendiri. Namun perlu dipahami bahwa bertaubat tidak menjamin kita selalu selamat dari semua bentuk perbuatan buruk. Adakalanya seseorang bertaubat dari perbuatan zina, dia tinggalkan segala hal yang mengarahkannya kepada perbuatan zina, namun dia terjerumus kepada perbuatan korupsi. Dia tidak berzina, namun korupsi. Maka Allah mencintai at-tawwabin, yakni orang-orang yang banyak bertaubat. Siapa mereka? Yaitu orang yang selalu kembali kepada Allah; orang yang selalu menyesuaikan diri dengan kehendak Allah dan situasi dan kondisi apa pun. Apabila ada orang yang bertaubat dari satu bentuk perbuatan buruk, namun beralih ke perbuatan buruk lainnya, tentulah dia bukan termasuk at-tawwabin yang dicintai Tuhan. Itu pula sebabnya dalam dzikir-dzikir yang kita gumamkan, kita menyebut Allah sebagai At-Tawwab, karena segala yang ada pada-Nya selalu membawa kebaikan, tak satu pun yang batil.
Dengan demikian, apabila kita menyatakan diri bertaubat, artinya kita harus semaksimal mungkin berusaha menyesuaikan diri dengan segala yang dikehendaki Allah. Alangkah bahagianya bila kita tidak pernah memaksakan kehendak kita kepada Tuhan, namun justru selalu memahami apa yang dikehendaki Tuhan kepada kita. Lalu, kalau keadaan kita sudah selaras dengan kehendak Allah, bukankah kita berada pada keadaan fitrah, yakni kembali bersama-Nya. Itulah taubat. Taubat menjadi jalan bagi kita untuk kembali kepada Allah, yang dari-Nya kita berasal, dalam pemeliharaan-Nya kita hidup, dan kelak kepada-Nya kita semua akan kembali.







TINGGALKAN HAWA NAFSU JUMPAI TUHAN


Abu Imran al-Wasithi adalah seorang sufi yang hidup pada abad ke-12 H. Ia pernah menceritakan pengalaman sufistiknya, dan berikut akan saya ceritakan kepada Anda. Katanya: “Suatu hari, aku dan istriku yang sedang hamil tua melakukan perjalanan laut dengan menggunakan sebuah perahu. Di tengah perjalanan tiba-tiba perahu itu bocor. Dalam keadaan yang mendebarkan seperti itu, istriku mengeluhkan keadaan perutnya dan katanya ia akan segera melahirkan. Tak berapa lama ucapannya itu terbukti. Anak kami lahir di tengah lautan dan di atas sebuah perahu bocor. Aku menyaksikan keadaan istriku yang melemah. Kemudian kuangkat kepalaku ke arah langit sambil memohon kepada Allah agar memberikan air minum yang segar untuk istriku. Beberapa saat kemudian, kusaksikan seorang lelaki datang ke arahku dengan membawa cawan air berwarna kemerah-merahan, namun berkilau laksana disapuh emas. Yang lebih mengherankanku ia duduk di atas awan yang menerbangkannya. ‘Ambillah cawan ini dan minumkan pada istrimu air yang ada di dalamnya,’ katanya kepadaku. Setelah kuterima lalu segera kuberikan pada istriku dan ia pun meminum air yang ada di dalamnya. Kuberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki itu, ‘Bagaimana engkau bisa melakukan hal yang demikian ini, berada di atas hawa[1] dan menjadikannya sebagai kendaraanmu?’ Lelaki itu menjawab: ‘Aku telah meninggalkan hawa nafsuku, sehingga Allah memberikan izin padaku untuk duduk di atas hawa.’”[2]
Apabila kita membaca kisah-kisah sufistik hendaklah tidak memahaminya seperti apa adanya, karena sering kali cara pemahaman yang seperti itu justru menyimpang dari makna kisah yang sebenarnya. Yang perlu kita lakukan setelah membaca kisah di atas, dan tentu saja kisah-kisah sufistik lainnya, adalah merenungkannya secara mendalam hingga diperoleh pemahaman yang benar tentang kisah tersebut.
Ketahuilah, setiap orang yang akan menuju perjumpaan dengan Tuhan tidak ada penghalang yang lebih berat yang akan ditemuinya, selain apa yang ada di dalam dirinya. Penghalang yang paling besar dan paling berat itu adalah hawa nafsu. Apa sebenarnya yang sering kita sebut sebagai hawa nafsu itu? Jenis makhluk apa dia sehingga menjadi musuh paling berat bagi setiap orang yang hendak berjumpa dengan Tuhan? Tidak sulit untuk mengatakan apa hawa nafsu itu. Hawa nafsu adalah keinginan-keinginan diri. Dewasa ini ada kata lain yang biasa dipakai untuk menunjukkan keberadaan hawa nafsu itu, yakni egoisme. Egoisme adalah kecenderungan manusia untuk menggapai atau meraih segala macam bentuk keinginan dirinya. Ada banyak wujud keinginan diri, di antaranya, sekedar untuk menyebutkan contoh, adalah kesenangan jasmani, keinginan untuk makan dan minum, hasrat seksual, hidup dengan pola bersenang-senang dan berfoya-foya, keinginan untuk diperhatikan, dihargai, diistimewakan, keinginan untuk dianggap sebagai orang penting yang paling berderajat, dan sebagainya. Singkat kata, segala macam yang muncul dari dalam diri dengan tujuan untuk memuaskan keinginan diri sendiri termasuk dalam kategori hawa nafsu.
Lalu mengapa hal-hal yang seperti itu menjadi penghalang manusia ketika ia ingin berjumpa dengan Tuhan? Jawabannya adalah karena Tuhan tidak bisa didekati manakala hawa nafsu masih berdiri kokoh laksanan gunung yang tinggi di dalam diri. Tuhan tidak mungkin di dekati oleh orang-orang yang hidupnya masih dikendalikan oleh hawa nafsu dan hawa nafsu itu sendiri tidak mungkin rela membiarkan diri seseorang patuh kepada selainnya. Maka, menundukkan dan merubuhkan hawa nafsu yang berdiri kokoh tersebut adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi seseorang apabila ia ingin berjumpa dengan Tuhan.
Allah SWT berfirman: “Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 100)
Ketika para sufi membaca ayat ini, mereka kemudian mengatakan bahwa yang dimaksud ‘rumah’ pada ayat di atas adalah hawa nafsu. Menurut tafsir para sufi, orang yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya hanya akan dapat melakukannya apabila ia telah keluar dari kungkungan hawa nafsunya. Tidak mungkin seseorang bisa melakukan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya selama ia masih berada di bawah kendali hawa nafsunya. Orang-orang yang berhijrah sama-sama keluar dari rumah mereka, tapi ada yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya dan ada pula yang hijrah karena sesuatu yang lain. Itulah sebabnya mengapa kaum sufi memaknai ‘rumah’ pada firman Allah tersebut sebagai hawa nafsu, bukan rumah dalam arti sebenarnya.
Mungkin kita jarang sekali menyadari bahwa setiap tindakan yang kita lakukan sesungguhnya karena ada dorongan yang berasal dari dalam diri. Kebaikan maupun keburukan yang dilakukan seseorang terjadi karena adanya dorongan tersebut. Dunia Psikologi Barat menyebut dorongan tersebut sebagai motive atau drive, sedangkan para sufi menamakannya sebagai kekuatan-kekuatan hawa nafsu. Lalu apa saja kekuatan-kekuatan hawa nafsu itu? Menurut para sufi ada empat kekuatan hawa nafsu: quwwatun bahimiyyah, quwwatun sab’iyyah, quwwatun syaithaniyya, dan quwwatun rabbaniyyah.


Quwwatun Bahimiyyah
Yang dimaksud quwwatun bahimiyyah adalah kekuatan kebinatangan. Ternyata, menurut para sufi, sekalipun kita jauh lebih mulia daripada binatang namun dalam diri kita ada dorongan-dorongan atau kekuatan-kekuatan yang bersifat kebinatangan. Mungkin itu pula sebabnya Imam Al-Ghazali pernah menyebut manusia dengan istilah al-hawayanun nathiq, yakni hewan yang berpikir. Tanpa kita sadari kita telah sering melakukan sesuatu yang sebenarnya sebagai akibat adanya dorongan atau kekuatan kebinatangan di dalam diri kita. Quwwatun bahimiyyah ini mendorong kita untuk mencari kepuasan lahiriah atau kenikmatan seksual.
Akitivitas makan, minum, tidur, bermalas-malasan, kawin adalah beberapa tindakan yang kita lakukan atas dorongan quwwatun bahimiyyah. Sebenarnya tidak salah ketika seseorang ingin makan, minum, tidur, dan kawin, karena hal-hal itu merupakan bagian kebutuhan fitrah manusia. Namun ketika semua hal itu menjadi prioritas dalam kehidupan kita maka akibatnya pasti tidak positif. Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada seseorang yang aktivitas hidupnya hanyalah makan saja, atau minum saja, atau tidur saja, atau bahkan kawin saja. Orang yang seperti itu pasti tidak akan mampu menjadikan hidupnya lebih mulia, lebih bermanfaat, dan lebih berderajat. Tidakkah perilaku yang demikian itu sama dengan perilaku binatang?
Bila makanan dan minuman yang menjadi miliknya telah habis, pasti dia akan mencari makanan dan minuman yang lain. Celakanya, apabila dia tidak memiliki sesuatu yang bisa dipakai untuk mendapatkan makanan dan minuman secara legal, maka dia akan mendapatkannya dengan cara-cara ilegal. Misalnya, mencuri, merampok, merampas, atau korupsi. Cara-cara buruk seperti itu dilakukan atas nama pemenuhan perut. Bila dia memiliki banyak uang untuk memperoleh makanan dan minuman, maka dia akan mencoba makanan atau minuman yang belum pernah dikonsumsinya, sehingga yang halal dan yang haram tak digubris lagi asalkan kebutuhan perut terpenuhi. Bukankah cara-cara seperti itu sama seperti yang dilakukan binatang?
Dengan demikian, menurut para sufi orang-orang yang hanya mengutamakan kebutuhan jasmani, seksual, dan segala macam kesenangan diri adalah orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, yakni quwwatun bahimiyyah.

Quwwatun Sab’iyyah
Bila quwwatun bahimiyyah adalah kekuatan kebinatangan dalam taraf biasa, maka quwwatun sab’iyyah adalah kekuatan kebinatangan buas. Dengan mendengar kata ‘buas’ tentu Anda akan dapat membedakan antara yang bimiyyah dan yang sab’iyyah. Para sufi berpendapat bahwa diri kita ini menyimpan sifat buas, dan sifat buas itu hadir karena manusia dikuasai oleh kekuatan kebinatangan buas atau quwwatun sab’iyyah. Apa buktinya kalau manusia itu menyimpan di dalam dirinya kekuatan kebinatangan buas? Kita pasti pernah merasa ingin memukul orang lain karena rasa kesal dalam diri akibat perbuatannya. Kita senang menyaksikan lawan bisnis kita bangkrut usahanya, bahkan kalau belum juga bangkrut kita berusaha dengan berbagai macam cara agar usahanya tidak berkembang agar usaha kita tidak tersaingi. Kita suka kalau bisa mendapatkan apa sebenarnya yang menjadi hak orang lain. Cobalah Anda banyangkan apa yang kita rasakan ketika menyaksikan tetangga kita usahanya berkembang, jabatannya di kantor naik, anak-anaknya sukses dalam meniti karir. Mendapati keadaan yang seperti itu, yang sering terlintas dalam benak kita adalah mengapa semua bentuk kebenhasilan itu tidak menjadi milik kita? Mengapa justru tetangga kita yang meraihnya? Ketidaksukaan yang demikian itu adalah benih-benih tumbuh kembangnya quwwatun sab’iyyah di dalam diri. Apabila yang demikian it uterus berlanjut, tidak mustahil kita akan melakukan sesuatu yang dapat menghancurkan keberhasilan tetangga kita tersebut.
Orang-orang yang dikuasai oleh quwwatun sab’iyyah akan berubah laksana harimau kelaparan yang siap menerkam siapa pun yang ada di hadapannya. Dia akan menjadi manusia yang seakan-akan dikuasai oleh kekuatan jahat yang selalu berhasrat untuk menyerang dan menghancurkan orang lain. Dia akan sangat bahagia bila penderitaan demi penderitaan dialami orang lain. Dia pasti merasa bangga bila menyaksikan siapa pun hancur akibat ulahnya. Hatinya akan membeku dan tidak mampu lagi merasakan penderitaan sesama. Lalu, tidakkah keadaan yang seperti itu sama dengan keadaan binatang buas?
Menurut para sufi, apabila kita senang menyerang orang lain, menghancurkan orang lain, merasa bahagia bila berhasil menyakiti orang lain, suka mengambil hak orang lain, membenci orang lain, mendengki orang lain, dan segala macam bentuk tindakan yang menyakiti orang lain, maka kita tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, yakni quwwatun sab’iyyah.

Quwwatun Syaithaniyyah
Menurut para sufi, ada kekuatan lain yang mendorong seseorang melakukan sesuatu, yakni quwwatun syaithaniyyah. Dorongan atau kekuatan inilah yang membuat seseorang merasa tidak bersalah ketika dia melakukan kejahatan. Bukankah kita juga pernah merasakan kehadiran quwwatun syaithaniyyah ini? Ketika kita melakukan korupsi, setan datang menghampiri dan membisikkan kepada kita bahwa tidaklah mengapa bila korupsi itu dilakukan demi membantu sesama. Atau setan menenangkan perasaan bersalah dalam diri kita dengan membisikkan, “Tidak ada dosa bagimu, bila sebagian uang yang kau korupsi itu kau sumbangkan untuk pembangunan masjid, pesantren atau madrasah.” Berbekal bisikan pembenaran dari setan itu, kita kemudian menyumbang pembangunan masjid 10 juta rupiah, padahal uang yang kita korupsi 1 milyar rupiah.
Mungkin kita pernah diutus perusahaan untuk membeli perlengkapan kantor. Seharusnya biaya yang dikeluarkan 1 juta rupiah, namun di nota kita tulis 1,2 juta rupiah. Hati kecil kita mungkin berbisik bahwa perbuatan itu merupakan salah satu bentuk korupsi. Muncul keraguan dalam diri. Saat itu datanglah setan membisikkan pembenaran kepada kita dengan berkata, “Tidak usah kau ragu melakukannya. Dua ratus ribu tidaklah sebanding dengan nilai yang dikorupsi oleh para pejabat. Lihatlah, mereka bermilyar-milyar rupiah berani mengorupsinya. Kau hanya dua ratus ribu, itu biasa saja.” Atas dasar pembenaran dari bisikan setan, akhirnya kejahatan itu kita lakukan juga. Itu hanyalah sebagian kecil contoh bagaimana setan memberikan pembenaran bagi setiap kejahatan yang kita lakukan.
Apabila kita sering berbuat seperti itu, selalu mendapat pembenaran pada setiap kejahatan yang kita lakukan, maka para sufi berkata bahwa kita termasuk dalam kelompok orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu, yakni quwwatun syaithaniyyah.

Quwwatun Rabbaniyyah
Tiga kekuatan atau pendorong dalam diri yang berasal dari hawa nafsu telah kita bicarakan. Selain dari yang tiga tersebut, ada satu kekuatan yang diselipkan Tuhan dalam diri kita, yakni quwwatun rabbaniyyah. Inilah yang menurut para sufi sebagai kekuatan Tuhan. Tuhan telah menyediakan satu kekuatan yang berasal dari percikan cahaya-Nya. Setiap diri manusia memiliki kekuatan itu.
Di mana kekuatan Tuhan atau quwwatun rabbaniyyah itu berada? Kekuatan itu berada pada akal sehat kita. Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Sempurna menyempurnakan keadaan kita dengan menganugerahi kita akal sehat. Akal sehat ini selalu jujur menyampaikan kebenaran dalam diri kita. Ia tidak pernah mengatakan yang salah sebagai kebenaran dan tidak pula mengatakan kesalahan sebagai hal yang benar. Kekuatan Tuhan inilah yang membedakan kita dari binatang.

Keberadaan quwwatun rabbaniyyah sesungguhnya menyiratkan bahwa Tuhan menghendaki kita selamat dalam menempuh hidup di dunia hingga akhirat. Tiga kekuatan yang berasal dari hawa nafsu menjadi ujian bagi kita untuk mengetahui seberapa besar kita memanfaat kekuatan Tuhan yang telah dianugerahkannya kepada kita. Apabila kita berada di bawah kendali tiga kekuatan yang berasal dari hawa nafsu, sesungguhnya kita telah menjadi binatang-binatang berwujud manusia. Apabila dendam, kebencian, amarah, perasaan iri, dan kemarahan terhadap yang lain kita pelihara di dalam diri, sungguh kita telah menjadi binatang-binatang secara ruhaniah, meskipun secara jasmaniah kita adalah manusia. Apabila kita selalu mencari dalil-dalil pembenar atas kekeliruan yang kita lakukan, sebenarnya lubuk hati kita telah dikuasi oleh bisikan-bisikan setan.
Agar manusia tidak semakin jauh melangkah pada arah yang salah, maka Tuhan menyertakan dalam diri kita kekuatan-Nya, yakni quwwatun rabbaniyyah. Fungsinya adalah untuk mengendalikan hawa nafsu. Dorongan atau kekuatan inilah seharusnya yang mendominasi hidup kita. Jika aktivitas yang kita lakukan seluruhnya atas dasar dorongan quwwatun rabbaniyyah niscaya antara yang benar dan yang salah akan sangat jelas dalam pandangan kita. Cahaya kebenaran akan senantiasa menyinari kita dan setiap tarikan dan hembusan nafas kita akan selalu dalam kebersamaan dengan Tuhan. Dengan demikian, pertemuan dengan Tuhan hanya akan tercapai apabila seluruh kekuatan hawa nafsu dapat ditumbangkan.
Inilah yang digambarkan oleh Jalaluddin Rumi pada sebuah kisah yang ditulisnya. Saya akan ceritakan kembali untuk Anda kisah tersebut. Katanya, “Dulu, ada seseorang yang sedang berada dalam kondisi kehausan, sementara ia berada di sebuah puncak bangunan yang sangat tinggi. Ketika ia mengarahkan pandangannya ke bawah, nampaklah di sana mengalir air yang sangat jernih. Menyaksikan aliran air itu, haus yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. Ia sangat ingin mendapatkan air itu, namun sayang ia tak mampu menjangkaunya. Kemudian dengan tenaganya yang masih tersisa, ia menjatuhkan bebatuan yang ada di atas bangunan itu satu persatu. Gemercik air yang ditimbulkan akibat kejatuhan batu tersebut terdengar sangat merdu di telinganya. Kemerduan itu betul-betul telah melupakan segala yang dirasakannya kecuali kemerduan itu sendiri. Bahkan rasa haus yang dirasakannya pun terlupakan oleh kemerduan dan keindahan gemercik air itu. Disebabkan gemercik air tersebut telah menawan hatinya, dengan semangat ia terus menjatuhkan bebatuan yang ada.”
Kata Rumi selanjutnya, “Air itu kemudian bertanya kepada, ‘Hai manusia, mengapa engkau menjatuhkan bebatuan itu ke arahku?’ Orang itu menjawab, ‘Gemercik air akibat kejatuhan bebatuan ini sungguh indah kudengar, dan aku menikmati keindahan itu sehingga kulupakan segalanya, termasuk rasa haus ini. Dan yang lebih penting dari itu, ketika aku terus menjatuhkan bebatuan ini, aku semakin dekat denganmu.’”
Sekali lagi saya ingatkan, hendaklah setiap kisah sufistik tidak kita pahami sebagaimana adanya. Karena kebenaran yang akan disampaikan sesungguhnya ada di balik kisah tersebut. Lalu, apa sebenarnya yang ingin disampaikan Rumi? Rumi ingin menggambarkan kepada kita proses perjalanan manusia untuk berjumpa dengan Tuhan. Kerinduan berjumpa dengan Tuhan hanya akan muncul di dalam diri setiap orang yang terus berusaha merobohkan kepongahan hawa nafsu yang berdiri tegak di dalam dirinya. Ketika susunan hawa nafsu itu dirobohkan sedikit demi sedikit, maka sedikit demi sedikit pula akan tersingkap keindahan jalan yang akan mengantarkan kita berjumpa dengan-Nya. Semakin banyak hawa nafsu yang kita robohkan, semakin banyak pula keindahan yang kita lihat, sehingga kerinduan pun semakin kuat. Jalan yang sudah nampak jelas itu apabila terus kita tempuh benar-benar akan membawa kita pada kedekatan dan pertemuan dengan-Nya. Hanya dengan cara itulah kita akan dapat merasakan kesyahduan yang luar biasa saat berduaan dengan Tuhan, yang tak mungkin dapat digambarkan dengan apa pun, kecuali dengan perasaan orang-orang yang telah mengalaminya. Marilah kita tinggalkan hawa nafsu demi pertemuan dengan Tuhan Yang Maha Kasih.
[1] Dalam bahasa Arab hawa bisa juga diartikan sebagai awan, dan arti lainnya adalah hawa nafsu.
[2] Taraktu hawaaya fa ajlasanii fil hawaa.