Sabtu, April 25, 2009

JANGAN SOK SUFI



Tatkala hari masih pagi, saat kebekuan embun masih menjalari bumi ini dan ketika hamba-hamba Tuhan masih banyak yang terlelap dalam dekapan selimut yang menghangatkan, renungkanlah bahwa sesungguhnya batas antara surga dan neraka, pahala dan dosa, serta ibadah dan kemusyrikan itu sangat tipis. Ya.., sangat tipis. Bahkan lebih tipis dari rambut dibelah tujuh.
Bukankah tidak ada jaminan, seorang kiai pasti masuk surga dan seorang pelacur pasti akan masuk neraka? Sebab, banyak kiai yang sudah merasa lebih pandai dari muridnya ketika ia berangkat mengajar. Jelas yang demikian ini takabur namanya. Tapi juga ada pelacur yang pada akhir hidupnya meraih husnul khatimah, bahkan diampuni dosanya.
Imam Al-Ghazali telah mengingatkan kita tentang hal ini secara panjang lebar dalam kitabnya Tanbihul Mughtarin fi Ghururil Khalqi Ajma’in. Di sana, Al-Ghazali mengungkap sejumlah tipudaya yang sering kali menyelimuti para hamba Allah dari berbagai level kehidupan mereka. Yang paling banyak terkena tipudaya adalah para ulama, kemudian para sufi, disusul ahli amal dan ahli ibadah.
Di sana, tak seorang pun bisa mengandalkan ilmunya, amalnya, prestasi ruhaninya, ataupun perasaan paling sucinya atau paling sufinya. Karena itulah, Al-Ghazali mengingatkan agar dalam perjalanan jiwa menuju kepada Allah benar-benar hati-hati. Sesungguhnya batas antara surga dan neraka itu sangat tipis. Bahkan batas antara tauhid dan kemusyrikan.
Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali menggambarkan potret perjalanan sufi, yang masih sangat relevan bila diungkap saat ini. Banyak orang merasa dirinya sufi, ketika mereka pandai menyelami khazanah kesufian. Banyak orang merasa sudah sampai kepada Allah, padahal masih berada di gerbang paling pinggir. Banyak orang merasa sufi ketika Allah memperlihatkan padanya sejumlah rahasia-Nya. Banyak orang mengaku sufi ketika ia begitu lincah bicara tentang metafisika dan ketuhanan. Dan lebih tragis lagi banyak orang mengaku sufi, lalu mempublikasikan ungkapannya sebangai ungkapan Ilahi, pandangan matanya sebagai pandangan mata Ilahi, pendengarannya sebagai pendengaran Ilahi, lalu dengan itu semua mereka mampu menyihir para pendukungnya.
“Astaghfirullahal ‘Azhim….Jangan-jangan aku sendiri juga jadi sok sufi, hanya karena pernah menyelami secuil debu kesufian dari kitab itu. Masya Allah….Jangan-jangan aku merasa sudah sampai pada Allah, ketika diriku begitu fasih bicara tentang fana dan baqa, bahkan bicara soal-soal hakikat wujud.”
Sesungguhnya sufi bukanlah itu semua. Sufi adalah getaran-getaran Ilahi yang hanya bisa diungkapkan oleh yang pernah mengalaminya. Bukan yang pernah mendengar kata-kata orang yang pernah mengalami. Sufi adalah menyelam di lautan Ilahi, tanpa kata-kata, tanpa bicara, tanpa daya, tanpa kekuatan, tanpa karsa dan gerak. Jika kelak ada kata-kata, gerak, kalimat-kalimat yang meluncur lewat tajamnya pena, semua itu hanyalah peradaban sufi, atau hanya sekedar pengalaman yang bercerita tentang “tenggelam” itu sendiri.
Sufi itu bukan pada penampilan, atau kecerdasan, bahkan kemampuan-kemampuan mengurai ilmu suci ini. Namun, sufi hanyalah gerak-gerak hati, kata hati, telinga hati dan mata hati. Sungguh buta orang yang sok sufi. Sikap itu benar-benar jahiliyah yang murakkab, jahiliyah yang bertumpuk-tumpuk.
“Astaghfirullahal ‘Azhim….Jangan-jangan hari ini aku lebih jahiliyah. Ampuni aku Ya Allah.” Pada hakikatnya, kemuliaan para sufi terletak pada kerendahan hati dan kejujuran kalbunya. Itulah yang menyibakkan tirai-tirai yang menghijab antara dirinya dengan Tuhan.

2 komentar:

  1. wah artikel anyar, sip...

    terus berkarya lay :) :)

    blog saya aja masih kosong melompong :D

    BalasHapus
  2. wah kalo saya sih NYUFI = Nyeruput Coffee

    BalasHapus