Rabu, Desember 31, 2008

PERSOALAN BID'AH DALAM MAZHAB SYAFI'I


I. Ancaman terhadap Bid’ah dan Ahli Bid’ah
Banyak sekali ayat Al-Quran yang secara tidak langsung, maupun hadis-hadis Rasul Saw yang secara langsung, mengancam terhadap bid’ah dan ahli bid’ah. Sejumlah hadis dan ayat Al-Quran yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Rasul Saw bersabda: Tuhan Allah enggan menerima ibadah ahli bid’ah, kecuali bila ia telah meninggalkan bid’ahnya itu. H.R. Ibnu Majah—Sunan Ibnu Majah I, hal. 25.
2. Rasulullah bersabda: Tuhan tidak menerima amalan ahli bid’ah, baik puasanya, shalatnya, sedekahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, taubatnya, dan tebusannya. Ia keluar dari Islam laksana keluarnya sehelai rambut dari tepung. H.R. Ibnu Majah—Sunan Ibnu Majah I, hal. 25.
Hadis 1 dan 2 menjelaskan bahwa seluruh amal ibadah ahli bid’ah tidak diterima Allah hingga ia menghentikan perbuatan bid’ahnya.
3. Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a. beliau berkata: Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang mengerjakan amal ibadah yang tidak kami perintahkan, maka amalnya tertolak. H.R. Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari IV, hal. 189.
Hadis ini menerangkan bahwa seluruh ibadah yang tidak diperintahkan Rasul Saw akan ditolak Allah. Imam Nawawi ketika memberikan komentar atas hadis ini menyatakan bahwa pengertian ditolak itu adalah batal, tidak masuk hitungan. Hadis ini jelas, kata beliau, menolak seluruh ibadah yang diada-adakan, yakni ibadah yang bid’ah. (Syarah Muslim XII, hal. 16).
4. Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini (maksudnya urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak. H.R. Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16.
Amalan bid’ah, baik yang diada-adakan oleh diri sendiri maupun orang lain, seluruhnya batal dan tidak diterima oleh Allah Swt. Apabila Allah dan Rasul-Nya telah menolak suatu amalan, dan masih ada orang yang tetap mengamalkannya, maka ia akan menanggung dosa di akhirat kelak.
5. ‘Irbadh bin Sariyah berkata, bahwa suatu hari Rasul Saw memberikan pelajaran kepada kami yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami menetes. Kemudian Beliau Saw memberikan nasehat: Aku mewasiatkan kepada kalian seluruhnya agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan patuh kepada Ulil Amri sekalipun ia seorang yang berkulit hitam. Selanjutnya beliau mewasiatkan: siapa yang hidup lama di antara kamu setelah kehidupanku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Ketika itu hendaklah ia mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khalifah Rasyidin yang mendapat petunjuk yang benar. Pegang teguh semua itu dan gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (bid’ah), karena “semua” yang baru yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan “semua bid’ah” adalah sesat. H.R. Abu Daud—Sunan Abu Daud IV, hal. 201.
Imam An-Nawawi memasukkan hadis ini dalam kumpulan Hadis Arba’in.
6. Rasul Saw bersabda: Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang sudah dimatikan orang setelah kematianku, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya. Tidak sedikit pun dikurangi pahala itu baginya. Dan barangsiapa yang membuat suatu bid’ah yang sesat, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapatkan pula dosa-dosa yang mengamalkan bid’ah tersebut tanpa dikurangi sedikit pun. H.R. Tirmidzi—Sunan Tirmidzi X, hal. 147.
Menurut hadis ini barangsiapa yang mengada-adakan suatu bid’ah, maka ia berdosa dan ia juga mendapatkan dosa sebanyak orang yang mengamalkan bid’ah tersebut sampai hari kiamat.
II. Arti Bid’ah dalam Bahasa Arab
Dalam bahasa Arab, bid’ah berarti: sesuatu yang diadakan tanpa contoh sebelumnya. Tersebut dalam kitab-kitab kamus:
a. al-Muhith, yang ditulis oleh Syirazi, juz III, hal. 3: Sesuatu hal yang adanya untuk pertama kali.
b. Mukhtarus Shihah, yang ditulis oleh Ar-Razi, hal. 379: Mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya.
c. al-Mu’tamad, hal. 28: Diciptakan tanpa contoh.
d. Munjid, hal. 27: Menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh terdahulu.
Dari sejumlah kamus tersebut dapat disimpulkan bahwa bid’ah dalam bahasa Arab berarti suatu hal yang diciptakan dengan tidak ada contoh terlebih dahulu.
III. Bid’ah menurut Syari’at
Perlu diketahui bahwa definisi bid’ah menurut syari’at Islam tidaklah pernah disebut dalam hadis maupun ayat-ayat al-Quran. Yang membuat definisi (ta’rif) bid’ah tersebut adalah para ulama yang ahli setelah memperhatikan al-Quran, hadis, atsar para sahabat, dan lain-lain. Karena yang membuat definisi tersebut orangnya berbeda-beda, maka tidaklah mengherankan bila definisi yang dihasilkan juga berbeda-beda.
1. Syekh Izzuddin bin Abdus Salam dalam kitabnya Qawa’idul Ahkam menyatakan: Bid’ah adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Artinya, seluruh urusan keagamaan yang belum ada atau tidak dikenal pada zaman Rasulullah adalah bid’ah, sekalipun urusan itu adalah urusan yang baik.
2. Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata: Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah tercela adalah yang tidak sesuai atau bertentangan dengan sunnah Nabi. (Fathul Bari, juz XVII, hal. 10). Imam Baihaqi dalam kitab Manaqib Syafi’i menerangkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata: Pekerjaan yang baru itu ada 2 macam: (1). Pekerjaan keagamaan yang berlainan dengan al-Quran, sunnah Nabi, Atsar dan Ijma’, itu dinamakan bid’ah dhalalah. (2). Pekerjaan keagamaan yang baik, yang tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya, itu juga bid’ah, tapi tidak tercela. (Fathul Bari, juz XVII, hal. 10).
Dari definisi nomor 2 ini, bisa dilihat bahwa Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi 2, yakni bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Dari sekian banyak rujukan yang dipakai oleh Imam Syafi’i untuk menetapkan 2 jenis bid’ah ini, tiga di antaranya adalah hadis-hadis berikut ini:
a). Rasul Saw bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini (urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan itu ditolak (tidak diterima) atau batal. (H.R. Imam Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16).
b). Rasul Saw bersabda: Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah, kemudian orang lain mengamalkan sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagaimana pahala orang yang mengamalkan tersebut dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala yang diperoleh orang yang mengamalkan sunnah itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyiah, kemudian orang lain mengamalkannya, maka diberikan kepadanya dosa seperti dosa orang yang mengerjakan sunnah sayyiah tersebut dengan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa orang yang mengerjakannya itu. (H.R. Imam Muslim—Syarah Muslim XIV, hal. 226).
c). Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama Umar bin Khaththab ra pada suatu malam di bulan Ramadhan menuju masjid. Didapati dalam masjid itu orang-orang shalat tarawih bercerai-berai. Ada yang shalat sendiri-sendiri, dan ada yang shalat dengan beberapa orang di belakangnya. Maka Umar berkata: ‘Aku berpendapat untuk mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam tentulah akan menjadi lebih baik, sama seperti shalat Rasulullah.’ Lalu beliau satukan orang-orang itu shalat di belakang seorang imam, yakni Ubai bin Ka’ab. Kemudian, suatu malam kami datang lagi ke masjid, saat itu kami dapati orang-orang melaksanakan shalat di belakang seorang imam. Umar lalu berkata: ‘Inilah bid’ah yang baik.’” (Shahih Bukhari I, hal. 242). Hadis ini juga dapat dilihat dalam kita Muwatha’ yang ditulis oleh Imam Malik, juz I, hal. 136-137.
Setidaknya, berdasarkan pada tiga hadis tersebut muncullah pendapat Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi 2: bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
3. Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata: Makna asal dari perkataan bid’ah adalah sesuatu yang baru diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syariat, bid’ah adalah lawan daru sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad Saw. Kemudian hukum bid’ah terbagi ke dalam hukum yang lima. (Tanwirul Halik, juz I, hal. 137). Beliau berpendapat bahwa hukum bid’ah itu takluk kepada hukum fiqh yang lima. Dengan demikian, beliau berpendapat bahwa bid’ah tersebut terdiri dari bid’ah wajib, bid’ah sunnat, bid’ah haram, bid’ah makruh, dan bid’ah jaiz. Pendapat yang demikian ini diperkuat oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dengan mengatakan: sebagian ulama membagi bid’ah ke dalam hukum yang lima. Dan memang demikianlah harusnya. (Fathul Bari, juz XVII, hal. 10).
IV. Bid’ah Terlarang Hanyalah Bid’ah Keagamaan
Bid’ah terlarang adalah bid’ah dalam urusan agama. Misalnya, shalat 5 waktu dijadikan 6, puasa diwajibkan 2 bulan dalam setahun, menunaikan ibadah haji tidak ke Mekkah, dan sebagainya yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Sedangkan dalam urusan dunia, tidak ada bid’ah yang terlarang. Kita bisa mengadakan sesuatu sekali pun belum pernah dilakukan pada zaman Nabi dan para sahabat. Asalkan perbuatan itu baik dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka tidak ada larangan untuk menerima dan melaksanakannya.
Hadis-hadis yang terkait dengan hal itu di antaranya:
1. Nabi Saw bersabda: Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak. (H.R. Imam Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16) dalam hadis ini, arti kata ‘dalam urusan kami ini’ adalah urusan keagamaan, karena Nabi Saw diutus untuk menyampaikan agama. Maka, bila yang dibuat-buat itu dalam urusan agama, pasti akan ditolak, tidak akan diterima. Dengan demikian, mafhum hadis ini dapat dikatakan bahwa kalau dalam urusan keduniaan boleh saja diada-adakan asal tidak bertentangan dengan hukum agama yang sudah ada.
2. Dari ‘Aisyah ra, beliau berkata Rasulullah bersabda: Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan maka amalnya itu ditolak. (H.R. Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16)
3. Rasul Saw bersabda: Kamu yang lebih tahu tentang urusan duniamu. (H.R. Muslim—Syarah Muslim XV, hal. 118)
V. Sunnah Khulafaur Rasyidin
Ada sejumlah urusan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Nabi, tapi diadakan oleh para Khalifah Rasyidin. Misalnya, membukukan Al-Quran yang pada awalnya dilakukan oleh Abu Bakar, kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Usman bin Affan; shalat tarawih berjamaah sebulan penuh pada bulan Ramadhan, diadakan oleh Umar bin Khaththab; Azan pertama pada shalat Jumat, diperintahkan oleh Usman bin Affan; dan sebagainya. Semua itu adalah bid’ah, yakni bid’ah hasanah dan bukan bid’ah dhalalah.
Beberapa hadis terkait dengan persoalan ini:
1. Rasul Saw bersabda: Maka wajib atasmu memegang sunnahku dan sunnah Khalifah Rasyidin yang diberi hidayah. (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi—Sunan Abu Daud IV, hal. 201).
2. Nabi Saw bersabda: Ikutilah dua orang setelah aku wafat, yaitu Abu Bakar dan Umar. (H.R, Tirmidzi—Shahih Tirmidzi XIII, hal. 129).
3. Bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata: Abu Bakar Siddiq memanggil saya setelah terjadi pertempuran Yamamah, di mana saat itu banyak sahabat Nabi yang mati syahid. Saya dapati di hadapan beliau ada Umar bin Khaththab. Berkata Abu Bakar: Hai Zaid, Umar mengatakan kepada saya bahwa banyak ahli-ahli Al-Quran (para penghafal Al-Quran) dalam pertempuran Yamamah. Saya khawatir kalau-kalau mereka banyak yang wafat dalam medan-medan pertempuran yang lain, sehingga ayat-ayat Al-Quran bisa hilang. Umar mendesak saya agar mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, lalu saya berkata kepadanya: Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Umar menjawab: Demi Allah, ini pekerjaan yang baik. Umar selalu mendesak saya dan akhirnya saya sependapat dengannya, kata Abu Bakar.
Berkata Zaid, berkata Abu Bakar kepadaku: Engkau seorang pemuda pintar yang dipercaya. Pada masa Nabi masih hidup, engkau menjadi penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulullah. Cobalah kumpulkan seluruh wahyu itu!
Demi Allah, jawab Zaid. Kalau engkau memerintahkan kepada saya untuk memindahkan sebuah bukit, barangkali tidak seberat ini. Bagaimana mungkin melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah?
Abu Bakar mendesak: Demi Allah, ini baik. Maka selalu Abu Bakar mendesak saya, kata Zaid, sehingga Tuhan membukakan hati saya seperti halnya hati Abu Bakar dan Umar. Maka saya pun mencari ayat-ayat Al-Quran itu dan saya kumpulkan di mana pada awalnya ayat-ayat tersebut terdapat di pelepah-pelepah tamar, batu-batu putih dan yang ada di dalam dada para sabahat Nabi. (H.R. Imam Bukhari—Fathul Bari X, hal. 385-390).
Mushaf yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit tersebut disimpan oleh Abu Bakar Shiddiq hingga beliau wafat. Kemudian mushaf itu jatuh ke tangan Umar bin Khaththab, dan setelah beliau wafat mushaf kemudian disimpan oleh Hafsah, putri beliau.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan: Bahwasanya Huzaifah bin Yaman datang kepada Khalifah Usman bin Affan. Ketika itu Huzaifah memimpin jihad di daerah Syam dalam memerangi Armini dan Azarbaiyan. Huzaifah sangat terkejut mendengar berbagai perbedaan prajurit dalam membaca Al-Quran. Maka datanglah Huzaifah menghadap Khalifah Usman lalu berkata: “Wahai Khalifah, segeralah engkau menolong umat Islam sebelum mereka berselisih tentang kitab suci seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani.” Maka Khalifah Usman meminta kepada Hafsah agar mushaf Al-Quran yang ada di tangan beliau diberikan kepadanya untuk disalin dan kemudian dikembalikan. Setelah menerima mushaf tersebut dari Hafsah, Khalifah Usman menunjuk empat orang sahabat untuk menyalinnya, yakni Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harist bin Hisyam. Keempat sahabat ini menyalin mushaf dan menjadikannya dalam jumlah yang cukup banyak. Khalifah Usman memerintahkan kepada 3 orang anggota panitia yang berasal dari suku Quraysy: “Kalau kalian berbeda faham dengan Zaid bin Tsabit tentang tulisan-tulisan Al-Quran, maka pakailah menurut bahasa Quraysy karena Al-Quran diturunkan sesuai dengan bahasa Quraysy.” Setelah selesai menyalin mushaf itu, maka Khalifah Usman mengembalikan mushaf tersebut kepada Hafsah. Khalifah kemudian mengirim setiap naskah mushaf itu ke berbagai pelosok daerah dan memerintahkan agar menghapus atau membakar seluruh ayat-ayat Al-Quran yang telah ditulis di atas tulang, tembikar, dan sebagainya. (H.R. Bukhari—Fathul Bari X, hal. 390-396)
4. Dari Saib bin Yazid, beliau berkata: Adalah azan di waktu Jumat permulaannya apabila duduk imam di atas mimbar pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar. Ketika zaman Usman bin Affan, di mana jumlah orang sudah semakin banyak maka beliau menambah azan yang ketiga di atas zaura. (H.R. Bukhari—Shahih Bukhari I, hal. 116)
VI. Titik (Nuqthah) dan Baris (Syakl) Ayat-ayat Al-Quran
Titik dan baris pada ayat-ayat Al-Quran pada dasarnya adalah bid’ah karena tidak dikenal pada zaman Nabi Saw. Namun demikian tentulah ia merupakan bid’ah hasanah karena diadakan demi menjaga agar kitab suci Al-Quran tidak mengalami kekacauan ketika dibaca oleh orang-orang yang tidak pernah mendengarnya langsung dari Nabi Saw dan oleh orang-orang yang tidak memahami seluk-beluk dalam tata bahasa Arab.
Dalam sejarahnya, ketika Islam berkembang dan negeri-negeri Islam meluas ke Barat dan ke Timur; hingga ke Persia, India, Tiongkok, Kazakhtan (Timur); Moroko, Spanyol, dan Portugal (Barat), yang terdiri dari berbagai macam bangsa dan bahasa, yang tidak mengetahui ilmu Nahwu, Sharaf, Ma’ni dan Balaghah, maka sudah seharusnya ayat-ayat suci itu diberi titik dan baris supaya tidak terjadi kesalahan dalam membacanya.
Seorang Jenderal pada masa kekuasaan Khalifah Abdul Muluk bin Marwan (Bani Umaiyah) bernama Hajaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, sekitar tahun 70 H, memerintahkan kepada ahli qiraat bernama Nashar bin ‘Ashim agar membuat titik ayat-ayat Al-Quran, dan kepada Khalil bin Ahmad supaya membuat baris-baris pada ayat Al-Quran tersebut. Maka sejak saat itu, jadilah Al-Quran sebagaimana yang kita baca saat ini.
VII. Hasil-hasil Ijtihad
Berbagai hasil ijtihad para mujtahid tidak dikenal di zaman Nabi Saw. Tentu saja tidak selayaknya dikatakan bid’ah. Kalau pun akan dikatakan juga sebagai bid’ah, maka itu adalah bid’ah hasanah. Misalnya tentang zakat. Pada zaman Nabi Saw yang dizakati adalah gandum, lembu, kambing, emas dan perak. Sementara padi, kerbau, uang kertas, tidak dikenal pada masa itu. Para mujtahid lalu mengiaskan padi dengan gandum, kerbau dengan lembu, dan uang kertas dikiaskan dengan dirham dan dinar pada masa Beliau Saw. Melakukan ijtihad bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai seorang mujtahid diizinkan oleh Nabi Saw.
Dari Mu’adz bin Jabbal, bahwasanya Rasulullah Saw ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Muadz: “Bagaimana cara engkau memutuskan perkara yang dihadapkan kepadamu?” “Saya akan memutuskannya sesuai dengan yang tersebut dalam Kitabullah,” jawab Muadz. Nabi bertanya lagi: “Kalau engkau tidak menemukannya dalam Kitabullah, bagaimana?” “Saya akan memutuskannya sesuai dengan Sunnah Rasul,” jawab Muadz. Nabi bertanya lagi: “Kalau di dalam Sunnah Rasul Kau pun tak menemukannya, bagaimana?” “Saat itu, saya akan berijtihad tanpa kebimbangan sedikit pun,” jawab Muadz. Mendengar jawaban itu, Beliau Saw meletakkan tangannya ke dadanya sambil berucap: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya. (H.R. Imam Tirmidzi dan Abu Daud—Shahih Tirmidzi II, hal. 68-69; Sunan Abu Daud III, hal. 303)
VIII. Pengertian Hadis “Setiap Bid’ah adalah Dhalalah”
Rasul Saw bersabda: Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan, karena yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah dhalah (sesat). (H.R. Abu Daud)
Hadis ini dengan tegas mengatakan bahwa setiap bid’ah adalah dhalalah (sesat), lalu mengapa para ulama di kalangan mazhab Syafi’i membagi bid’ah menjadi hasanah dan dhalalah, bahkan lebih merincinya lagi menjadi 5 bagian sesuai dengan hukum yang ada dalam fiqh? Tidakkah hal ini bertentangan dengan hadis di atas?
Tidak, itu tidak bertentangan dengan hadis tersebut. Demikian para ulama mazhab Syafi’i menjawab. Keterangannya sebagai berikut:
Hadis tersebut adalah ‘hadis umum’ yang telah ditakhsiskan (dikecualikan). Berikut ini diberikan contoh bagaimana memahami pernyataan tersebut:
1. Allah berfirman: Katakanlah (Hai Muhammad): Siapakah yang mengharamkan perhiasan Tuhan yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik. (Q.S. Al-A’raf: 32)
Ayat ini sifatnya umum, yaitu setiap perhiasan (pakaian) dan seluruh makanan yang baik adalah halal bagi kita. Tidak ada hak bagi siapa pun untuk mengharamkannya. Ayat yang sifatnya umum ini telah ditakhsiskan oleh hadis:
Bahwasanya Nabi melihat sebuah cincin emas pada jari seorang lelaki, maka beliau buka cincin itu dan beliau buang, lalu berkata: Mengambil seseorang darimu sepotong api dan ia letakkan di tangannya. (H.R. Muslim—Syarah Muslim XIV, hal. 65)
Dengan demikian, Q.S. Al-A’raf: 32 sudah ditakhsiskan: “Semua pakaian itu halal kecuali cincin emas bagi kaum lelaki”.
2. Allah berfirman: Diharamkan atasmu bangkai (Q.S. Al-Maidah: 3).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu semua bangkai adalah haram. Tapi ayat ini telah ditakhsiskan oleh hadis:
Seorang lelaki bertanya kepada Rasul Saw: Ya Rasulullah, kami menggunakan kendaraan laut sedang kami membawa air sedikit. Kalau kami gunakan untuk berwudhu tentulah kami akan kekurangan air untuk minum. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Nabi menjawab: Air laut itu bisa digunakan untuk bersuci dan bangkainya pun halal untuk dimakan. (H.R. Tirmidzi—Shahih Tirmidzi I, hal. 88)
Yang dimaksud bangkai di laut itu adalah bangkai ikan. Dengan demikian, Q.S. Al-Maidah: 3 telah ditakhsiskan: “Diharamkan atasmu bangkai kecuali bangkai ikan”.
3. Allah berfirman: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan (Q.S. An-Nisa: 11).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu seluruh anak lelaki memperoleh sama banyaknya dengan yang diperoleh oleh dua orang anak perempuan. Tetapi ayat ini telah ditakhsiskan oleh hadis:
Tidak ada pusaka dari seorang Muslim kepada orang kafir, dan tidak ada pusaka dari seorang kafir kepada seorang Muslim. (H.R. Bukhari-Muslim—Shahih Bukhari IV, hal. 120)
Dengan demikian, Q.S. An-Nisa: 11 tersebut telah ditakhsiskan: “Setiap anak lelaki mendapat 2/3 bagian, kecuali anak-anak kafir tidak memperoleh sama sekali”.
Dalam Ushul Fiqh ini dinamakan: Kitab ditakhsiskan dengan Sunnah.
4. Allah berfirman: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu tiga kali quru’ (tiga kali masa suci) (Q.S. Al-Baqarah: 228).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu seluruh wanita yang diceraikan oleh suaminya (ditalak), baik ketika suci maupun ketika hamil. Tetapi ayat ini telah ditakhsiskan oleh ayat:
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya (Q.S. Ath-Thalaq: 4).
Dengan demikian, Q.S. Al-Baqarah: 228 telah ditakhsiskan: “Wanita-wanita yang ditalak beriddah 3 kali quru’, kecuali wanita yang ditalak ketika sedang hamil maka iddahnya hingga ia melahirkan”.
Dalam Ushul Fiqh ini dinamakan: Kitab ditakhsiskan dengan Kitab.
5. Rasul Saw bersabda: Seluruh tanaman yang diairi dengan air hujan maka zakatnya 10% (H.R. Bukhari-Muslim).
Hadis ini sifatnya umum, yaitu seluruh tanaman yang diairi dengan air hujan zakatnya 10%. Tetapi hadis ini telah ditakhsiskan oleh hadis:
Kalau hasilnya kurang dari 5 ausuq tidak wajib zakat (H.R. Bukhari-Muslim—Syarah Muslim VII, hal. 50).
Dengan demikian, hadis pertama telah ditakhsiskan: “Seluruh tanaman yang diairi dengan air hujan, zakatnya 10%, kecuali jika hasilnya kurang dari 5 ausuq, zakatnya tidak wajib.
Dalam Ushul Fiqh ini dinamakan: Sunnah ditakhsiskan dengan Sunnah.
Dari sejumlah keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
“Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan itu masuk neraka, kecuali bid’ah dalam urusan dunia; kecuali bid’ah hasil-hasil ijtihad para mujtahid; kecuali yang diadakan oleh Khalifah Rasyidin; kecuali sunnah-sunnah baik yang diadakan oleh orang-orang Islam; kecuali hal-hal yang sangat mendesak dan dibutuhkan dalam agama”.
Demikianlah keterangan seputar bid’ah. Setiap orang berhak untuk berbeda pendapat, namun tentu saja tidak dibenarkan untuk saling menyalahkan, apalagi saling menyesatkan atau megafirkan.

WARA': MENINGGALKAN SEGALA YANG MERAGUKAN


“Perkara yang halal telah jelas dan perkara yang haram pun telah jelas. Sedang di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barangsiapa yang memelihara dirinya dari hal-hal yang syubhat berarti ia telah membersihkan agama dan harga dirinya; dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat sama halnya dengan menggembalakan ternaknya di dekat daerah yang terlarang, yang dalam waktu dekat pasti ia akan melanggarnya…” (HR Imam Bukhari-Muslim)
Wara’ adalah sikap tegas seorang mukmin untuk meninggalkan segala sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam dirinya. Ini juga merupakan sikap membuang segala sesuatu yang bisa membuat diri menjadi tercela, lalu memilih yang lebih baik dan lebih kuat, dan mendorong diri untuk selalu berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan sehingga tidak terperosok kepada sesuatu yang bersifat syubhat.
Syubhat adalah hal yang diragukan status hukumnya, halal atau haram, namun meninggalkannya adalah tindakan yang lebih baik daripada mengambilnya. Ini merupakan syarat yang perlu diperhatikan ketika berhadapan dengan hal-hal yang syubhat. Memudah-mudahkan untuk menerima yang syubhat berarti kekuranghati-hatian, dan ujungnya tentu akan berakhir pada kerugian. Sebaliknya, wara’ merupakan sikap kehati-hatian dan bisa dipastikan akan berakhir pada keadaan yang lebih baik daripada yang pertama. Menurut Ibnul Qayyim, wara’ merupakan sikap meninggalkan hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian dan bahaya di akhirat nanti.
Para ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud Allah dalam firmanNya pada Surat Al-Muddatsir [74] ayat 4: “Dan pakaianmu bersihkanlah” adalah membersihkan diri. Ada satu ungkapan dari Ghailan Ats-Tsaqafi yang maksudnya bisa dijadikan arti dari ayat tersebut. ia berkata: “Terpujilah Allah, Dia telah memberikan padaku kekuatan untuk tidak mengenakan pakaian khianat dan berbagai macam kedoknya.”
Membersihkan diri dari pakaian khianat dan segala macam bentuk kedoknya merupakan usaha mencapai kesempurnaan akhlak. Tidak perlu diragukan lagi bahwa wara’ menjadi salah satu cara yang dapat ditempuh menuju ke sana. Wara’ akan membimbing manusia untuk bisa melepaskan hatinya dari belenggu najis dan berbagai macam kotorannya. Laksana air yang membersihkan pakaian dari najis dan kotoran, wara’ adalah pembersih bagi hati dari najis dan kotorannya.
Menurut Ibrahim bin Adham ada tiga perilaku yang harus ditinggalkan agar seseorang bisa dikatakan sebagai seorang yang wara’. Pertama, meninggalkan perkara yang syubhat. Kedua, meninggalkan apa pun yang bukan menjadi urusan kita. Ketiga, meninggalkan segala perkara yang tidak menghasilkan manfaat. Bila ketiga hal itu bisa dipenuhi oleh seseorang, maka ia layak disebut sebagai seorang yang wara’. Menurut Imam At-Tirmidzi, Rasul Saw pernah memberi nasehat kepada Abu Hurairah ra agar bersikap wara’, dan beliau mengatakan bahwa sikap wara’ tersebut bisa membuat seseorang menjadi paling ahli dalam ibadah.
Tidak akan sampai pada sikap wara’ bila seseorang belum bisa membedakan yang terbaik di antara dua hal yang baik, dan yang terburuk di antara dua hal yang buruk. Kemampuan memilah di antara hal-hal yang seperti itu disyaratkan untuk bisa bersikap wara’. Kaitannya lebih lanjut tentulah dengan ilmu. Pemilahan hanya bisa dilakukan bila seseorang memiliki ilmu tentangnya. Bila ilmu belum dimiliki, bisa dipastikan pemilahan yang dihasilkan menjadi sebuah kekeliruan.
Dalam sebuah contoh bisa digambarkan keadaan keliru dalam memahami wara’. Misalnya, ada seorang lelaki tua meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang berstatus syubhat. Di sisi lain, ia masih memiliki utang pada beberapa orang tetangga. Ketika para tetangga tersebut meminta pelunasan utang tersebut, anak dari lelaki tua itu berakata: “Mana mungkin aku bisa membayar utang-utang ayahku dengan menggunakan harta syubhat.”
Dalam kasus ini mungkin anak tersebut menyangka bahwa dirinya adalah seorang yang wara’, seorang yang berjati-hati untuk tidak menggunakan barang syubhat. Tapi sungguh, pemahaman yang seperti itu merupakan pemahaman yang keliru. Ia tidak bisa membedakan mana yang terburuk di antara dua hal yang buruk. Membayar utang adalah kewajiban, dan ia meninggalkan kewajiban tersebut karena kebodohannya, lalu menyangka bahwa ia seorang yang wara’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan kaidah wara’ dengan mengatakan bahwa tidak ada zuhud maupun wara’ terhadap hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, tapi zuhud dan wara’ bisa dilakukan pada hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan.
Bila kaidah tersebut dijadikan untuk memahami kasus di atas, nyatalah kekeliruan si anak yang tidak mau melunasi utang-utang ayahnya karena yang ditinggalkannya adalah harta syubhat. Kedudukan utang adalah wajib untuk dilunasi, sehingga wara’ dan zuhud tidak berlaku dalam wilayah itu.
Di negeri akhirat, di mana setiap manusia hadir untuk pertama kalinya di sana, Allah akan menganugerahkan derajat yang berbeda-beda bagi mereka, dan derajat itu diperoleh manusia sesuai dengan tingkat kewara’an mereka semasa menjalani hidup di dunia. Semakin dalam kewara’an yang dimiliki seseorang akan semakin tinggi derajat yang kelak diterimanya di sisi Allah Swt. Semakin meningkat kewara’an seseorang, semakin cepat langkah yang bisa mereka lakukan ketika menyeberangi shirathal mustaqim, karena semakin ringan beban yang mereka pikul.
Ketahuilah bahwa wara’ dapat meringankan beban manusia ketika menempuh perjalan panjang kehidupan akhirat. Mengapa demikian? Karena di dunia ini wara’ membimbing manusia untuk menjauh dari keburukan dengan ketulusan niat, dan menggantinya dengan mengumpulkan banyak bekal berupa kebaikan, pemeliharaan iman, dan juga menjauh dari berbagai batasan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt karena pendekatan terhadap batasan-batasan tersebut dapat mendorong manusia untuk berbuat melampauinya. Itulah sebabnya Allah memerintahkan kepada kita untuk tidak mendekat kepada batasan-batasan larangan Allah, karena pada titik tersebut orang-orang yang tidak wara’ sering kali terdorong untuk melampauinya.
Di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah [2] ayat 187 Allah Swt berfirman: “…Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendektinya…”
Hal senada juga diungkapkan Allah dalam firmanNya pada Surat Al-Baqarah [2] ayat 229: “…Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya…”
Pada hakikatnya wara’ lahir dari perasaan takut kepada Allah Swt. Dalam tahapannya, rasa takut kepada Allah membuahkan wara’ dan wara’ melahirkan zuhud. Sikap-sikap inilah yang akan menyelamatkan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Apabila seseorang memilih untuk mengalihkan seluruh perhatian kalbunya hanya untuk kepentingan akhirat, lalu ia menghadapi semua persoalan dunia berlandaskan Al-Quran, maka terbukalah baginya pintu keridhaan Allah dan diberi Allah kemampuan padanya untuk mengemban kewara’an. Tidak ada yang ia kerjakan melainkan telah sangat jelas kehalalannya. Ia akan menjadi manusia yang sangat berhati-hati dalam berbuat. Ia akan menikah dengan akad nikah yang benar, menerima warisan dari harta yang halal, melakukan transaksi dengan cara yang halal, pendek kata ia hanya melakukan semua perkara yang sangat jelas hukum kehalalannya.
Kisah-kisah Para Pengemban Wara’
Mungkin tidak begitu mudah untuk menjelaskan secara gamblang apa sesungguhnya wara’ dan berbagai macam persoalan yang mengitarinya. Tapi melalui kisah-kisah yang bersumber dari hadits-hadist Rasulullah yang shahih barangkali kita akan mendapatkan pengertian apa hakikat wara’ tersebut. simaklah beberapa kisah berikut ini.
Bersumber dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, Rasul Saw berkisah bahwa dahulu ada dua orang lelaki yang telah menjalani transaksi jual beli tanah dengan cara yang benar. Kisahnya bermula ketika seorang lelaki membeli sebidang tanah milik lelaki yang lain. Setelah beberapa lama mengolah tanah yang baru dibelinya itu, ia menemukan di dalamnya terkubur sebuah gentong penuh beirisi emas. Ia kemudian menemui lelaki yang darinya tanah itu ia beli.
“Ambillah emas ini, karena ini adalah hakmu. Aku hanya membeli tanah darimu, bukan emas ini.”
Si penjual tanah menjawab: “Sesungguhnya aku menjual tanah beserta seluruh isi yang terkandung di dalamnya. Emas itu bukan milikku, tapi sudah menjadi hakmu.”
Masing-masing mereka enggan mengambil emas segentong itu. Mereka merasa emas itu bukan hak mereka. Lalu, keduanya sepakat membawa permasalahan itu kepada seorang hakim yang adil.
Setelah mendengar penjelasan dari kedua lelaki itu, sang hakim kemudian bertanya: “Apakah kalian berdua memiliki anak?”
Lelaki pertama menjawab: “Aku punya seorang anak lelaki.”
Lelaki kedua menjawab: “Aku punya seorang anak perempuan.”
Hakim itu kemudian berkata: “Nikahkanlah masing-masing anak kalian itu, lalu shadaqahkan emas itu kepada mereka berdua.”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, dikisahkan bahwa Nabi Saw menjumpai cucu beliau, Hasan bin Ali, mengambil sebiji kurma dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya. Melihat hal itu Nabi kemudian berkata: “Ukh..! Ukh..!” dengan maksud agar Hasan mengeluarkan kurma itu dari mulutnya. Kepadanya beliau bersabda: “Tidakkah kamu sadar bahwa kita tidak boleh memakan hasil zakat?”
Sikap wara’ tidak hanya ditunjukkan oleh Rasulullah, tapi juga oleh para sahabat. Berikut ini adalah kisah tentang sikap wara’ yang ditunjukkan oleh Zainab binti Jahsy ra. Ia adalah salah seorang istri Nabi Saw. Saat orang-orang munafik menyebarkan berita bohong tentang ‘Aisyah, dan banyak orang pada saat itu yang senang dengan tersebarnya berita bohong itu, Zainab binti Jahsy tidak terpengaruh oleh semua itu. Rasulullah pernah bertanya kepada Zainab: “Wahai Zainab, tentunya engkau mendengar berita yang dihembuskan oleh orang-orang munafik. Katakan padaku, apa yang kau ketahui tentang ‘Aisyah?”
Zainab kemudian menjawab: “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak mengetahui apa pun tentang ‘Aisyah melainkan hanya seorang yang baik.”
‘Aisyah sendiri bersaksi tentang Zainab: “Meskipun ia setara denganku di sisi Nabi Saw, namun ia tidak terpengaruh oleh berita bohong orang-orang munafik. Karena sikapnya itu, Allah memelihara dirinya berkat kewara’an yang dimilikinya.
Abu Bakar Ash-Shiddiq dikenal sebagai salah seorang sahabat yang wara’, bahkan kewara’an beliau dinilai banyak orang berada tepat di bawah kewara’an Rasulullah Saw. Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, disebutkan bahwa dahulu ia mempunyai seorang pelayan yang bertugas mengurus gajinya, sementara Abu Bakar selalu makan dari gajinya itu. Suatu hari, sang pelayan datang menemui Abu Bakar dengan membawa makanan untuknya. Abu Bakar kemudian memakan sebagian dari makanan tersebut. Belum sampai makanan itu habis, Abu Bakar kemudian bertanya: “Dari mana engkau memperoleh makanan ini?” Si Pelayan menjawab: “Dahulu pada masa jahiliyah, aku pernah meramal nasib seseorang, padahal sesungguhnya aku tidak memiliki pengetahuan tentang itu, aku hanya berpura-pura. Tadi aku kembali bertemu dengannya, dan memberikan padaku makanan yang baru saja sebagian darinya kau makan.”
Mendengar ucapan si pelayan itu, Abu Bakar segera memasukkan jari-jarinya ke mulutnya hingga semua makanan yang baru disantapnya itu dimuntahkannya. Kemudian ia berkata: “Aku mendengar kekasihku Muhammad Saw bersabda: ‘Daging yang tumbuh dari barang yang haram, tempat yang layak baginya hanyalah neraka’.
Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah Atsar yang bersumber dari Nafi’. Dahulu, Umar bin Khaththab ra telah menetapkan santunan untuk kaum Muhajirin pertama masing-masing 4000 dirham. Tapi untuk anaknya sendiri, Ibnu Umar, ia berikan hanya 3500 dirham. Ketika orang-orang berkata padanya bahwa Ibnu Umar adalah salah seorang Muhajirin dan berhak memperoleh 4000 dirham, Umar menjawab: “Sesungguhnya ia hijrah disebabkan oleh kedua orangtuanya yang membawanya. Saat itu ia masih kecil, sehingga hijrahnya bukanlah atas kehendak sendiri seperti halnya kaum Muhajirin yang lain.”
Itulah beberapa kisah tentang sikap wara’ yang diperlihatkan oleh Nabi dan para sahabat. Belumkah tiba saatnya bagi kita untuk mencontoh mereka?

Minggu, November 16, 2008

CINTA KEPADA ALLAH

Cinta kepada Allah merupakan tujuan akhir dan titik klimaks dari seluruh tingkatan dan tahapan (maqamat) dalam kehidupan orang yang menapaki jalan menuju keridhaan Allah. Tidak satu pun tingkatan yang melebihi tingginya cinta (mahabbah) kepada Allah, kecuali semuanya merupakan hasil akhir dari perasaan cinta itu sendiri, seperti rindu kepada Allah (asy-syauq) dan rasa tenang bersama Allah (al-uns). Dan setiap tingkatan yang lebih rendah dari rasa cinta ini, merupakan pendahulu-pandahulunya saja, semisal taubat, sabar, zuhud, dan yang lain.
Cinta (mahabbah) adalah tingkatan yang paling tinggi, agung, bermanfaat, dan merupakan kewajiban manusia untuk mencintai Allah yang dengannya manusia akan tetap menuhankan-Nya. Karena Tuhan adalah Dzat yang dituhankan, atau sebagai sesembahan Tunggal, sehingga wajib bagi makhluk ciptaan-Nya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan perintah yang diberikan Allah, dan menjauhi semua larangan-Nya. Hakekat iabadah sendiri adalah totalitas (keseluruhan) cinta yang disertai oleh totalitas rasa tunduk dan merendahkan diri di hadapan Sang Khalik.
Cinta kepada Allah merupakan cinta yang berdiri sendiri dan sebagai sumber utama dari keseluruhan cinta kepada selain Allah. Hal ini diperkuat dengan adanya kitab-kitab samawi yang telah diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui para Rasul, sebagai suatu kenikmatan yang tiada tara. Dalam al-Qur’an Allah telah banyak memberikan penjelasan tentang hal tersebut. Diantaranya adalah firman Allah :
“Dan segala nikmat yang ada padamu, maka dari Allah datangnya, dan bila kamu ditimpa kemudharatan, maka kepada Allah saja kamu memohon pertolongan.” (Q.S. An-Nahl [16]: 53)
Dalam ayat lain diterangkan :
“Dan diantara manusia, ada golongan yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 165)
Dalam ayat lain diterangkan pula :
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut kepada orang-orang mukmin, yang bersikap keras kepada orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut terhadap celaan dari orang-orang yang mencela.” (Q.S. al-Maidah [5]: 54)
Mencintai Allah dan Rasul-Nya, dapat dijadikan tolok ukur bagi keimanan seseorang. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan :
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Kepada Rasulullah saja kita harus mencintai, apalagi kepada Allah. Tapi, kenyataannya kini terbalik. Allah senantiasa memberikan karunia kepada umat manusia, sementara manusia sendiri justru sering melanggar larangan-Nya. Allah mencintai manusia dengan segala kenikmatan yang Dia curahkan, sedangkan manusia hanya membuat timbulnya murka Allah dengan berbagai kemaksiatan. Padahal Allah tidak membutuhkan bantuan manusia, tetapi manusialah yang secara mutlak membutuhkan bantuan dari Allah. Namun demikian, karunia Allah yang demikian luas tidak banyak menghalangi manusia dari berbuat kemaksiatan, dan kemaksiatan serta dosa yang dipikul tidak pernah memutuskan kehendak Allah untuk mencurahkan kenikmatan kepada mereka.
Jika kita mencintai seseorang dan ia pun mengimbanginya, maka kecintaannya itu ada maksud-maksud tertentu yang akan menguntungkan dirinya. Lain halnya dengan kecintaan Allah terhadap kita, bukan untuk memenuhi kepentingan-Nya, tetapi justru untuk memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Biasanya, orang lain yang bergaul dengan kita, jika pergaulan itu ternyata tidak menguntungkannya, maka dia segera akan memutuskannya. Sebab dia hanya ingin mendapatkan keuntungan saja dari persahabatannya dengan kita. Namun Allah bersahabat dengan kita dengan maksud untuk memberikan kebahagiaan dan kesenangan yang hakiki. Allah memberikan ganti untuk satu dirham yang kita infakkan dengan sepuluh kali lipatnya, bahkan sampai tujuh ratus kali, atau sampai berlipat ganda dan tidak terhitung lagi oleh kita. Padahal setiap keburukan perbuatan yang kita lakukan hanya dibalas sesuai dengan keburukannya. Disamping itu, Allah sangat mudah memaafkan kesalahan dan menghapus dosa yang kita perbuat, jika ditebus dengan amal kebajikan. Allah menciptakan manusia untuk berbakti kepada-Nya dan dunia seisinya serta akhirat diciptakan untuk mereka. Karena itu, tidak ada sesuatu pun yang dengannya kita dapat mengharap ridha dan cinta, selain daripada Allah Subhanahuwata’ala.
Segala kebutuhan makhluk, berada dalam kekuasaan Allah. Dia Maha pemurah lagi Maha Pemberi. Mengabulkan segala permintaan hamba-Nya, lebih dari yang diminta oleh manusia. Dia-lah yang melipatgandakan balasan bagi amal kebajikan yang dilakukan sekalipun sedikit, serta mengampuni dan menghapus kesalahan yang besar. Allah itulah Tuhan sebagai tempat memohon pertolongan bagi seluruh penghuni langit dan bumi, dan setiap saat bergelimang dengan kesibukan mengatur makhluk-Nya. Tidak pernah merasa terganggu dan jemu oleh banyaknya permintaan mereka yang datang silih berganti. Bahkan Allah sendiri sangat senang dan memuji orang-orang yang meminta kepada-Nya, serta murka kepada mereka yang enggan berdoa. Sebab hanya orang yang enggan berdoa sajalah yang tergolong manusia yang sombong. Dia malu terhadap hamba-Nya, meskipun manusia tidak merasa malu kepada-Nya. Dan menutupi aib manusia, walaupun manusia enggan menutupi aibnya sendiri. Dan Dia menyayangi hamba-Nya, ironinya sang hamba tidak sayang pada dirinya sendiri. Dia mengajak mereka beribadah dengan berbagai imbalan kenikmatan dan kemuliaan, untuk menjaga kehormatan diri dan dan memperoleh ridha-Nya, tetapi tragisnya banyak yang menolak ajakan tersebut. Karena itu, diutuslah para Rasul untuk mengemban amanat, yang dibekali kitab-kitab sebagai tali perjanjian, kemudian Allah turun sendiri untuk memanggil hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan :
“Tuhan kita Yang Maha Luhur dan banyak karunia-Nya, turun setiap sepertiga malam yang terakhir ke langit dunia, seraya berseru, ‘Barangsiapa yang bermunajat (berdoa kepada-Ku), maka Aku kabulkan doanya.Dan barangsiapa memohon ampunan kepada-Ku, pasti Aku ampuni dosanya.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Boleh saja terjadi, hati manusia tidak sedikitpun tergores rasa cinta kepada Allah, yang tidak ada satu pun kebajikan kecuali berasal dari-Nya. Tidak ada Dzat lain yang dapat mengabulkan doa, menghapus noda, mengampuni dosa, menutupi semua aib dan cela, menghilangkan duka dan nestapa, menyelamatkan dari semua musibah yang menimpa, dan yang memberikan semua yang diminta oleh seorang hamba, kecuali Allah Subhanahuwata’ala. Sebab cinta kepada Allah merupakan air kehidupan bagi hati dan konsumsi pokok bagi setiap jiwa insani. Tidak ada kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan dan kehidupan bagi hati, kecuali dengan cinta kepada Allah. Apabila hati seseorang kehilangan cinta, maka ia akan merasakan sakit yang sangat dalam, melebihi sakitnya mata yang kehilangan kornea, telinga yang kehilangan kendang pendengaran, bahkan merasakan sakitnya kerusakan hati. Apabila hati telah kosong darai rasa cinta kepada Sang Khalik, maka dapat dipastikan bahwa rusaknya hati lebih parah daripada rusaknya raga ketika terpisah dari ruhnya. Hal semacam ini sulit dipercaya, kecuali bagi mereka yang memiliki cahaya hidayatullah. Sebab menurut pemahaman orang yang tidak mendapatkan petunjuk dari Allah, orang yang meninggal tidak lagi merasakan sakit, sekalipun dia dilukai.
Fatah al-Musili mengatakan, “Orang yang memiliki mahabbah (cinta), baginya dunia ini bukan tempat untuk mereguk semua kelezatan yang kekal, sehingga dia selalu mengingat Allah, walau sekejap mata.” Sebagian salafush-shalih menegaskan, “Orang yang bermahabbah, hatinya senantiasa melayang mencari Allah, banyak menyebut nama-Nya, mencari keridhaan-Nya dengan segala cara yang dia mampu untuk melakukannya, baik berupa amalan fardhu maupun sunnah, dengan merasakan rindu yang membara kepada-Nya.”
Ada seorang wanita dari kalangan salafush-shalih memberikan nasehat kepada putranya, “Anak-anakku, biasakanlah kamu mencintai dan taat kepada Allah. Sebab orang-orang yang bertakwa hatinya selalu tunduk pada ketaatan, sehingga seluruh anggota tubuhnya merasa asing ketika berbuat di luar itu. Jika Iblis, si laknatullah meniupkan angin kemaksiatan, maka maksiat itu akan berlalu begitu saja dari diri mereka, lantaran merasa malu kepada Allah, sehingga selamatlah diri mereka dari tipuan setan.” Abdullah bin Mubarak juga telah menyampaikan pesan dalam sebuah syair :
Engkau durhaka kepada Tuhanmu
tapi engkau mengaku
cinta kepada-Nya
alangkah naifnya dirimu,
seandainya cintamu tulus suci,
niscaya engkau akan taat kepada-Nya
karena
orang yang mencintai kekasihnya,
akan menuruti segala keinginannya
Jadi, hanya orang yang memiliki rasa keimanan yang mendalam lagi sempurna yang akan mampu mengerti tentang pentingnya rasa cinta (mahabbah) kepada Allah dan merealisasikannya dalam bentuk amal yang nyata dalam kehidupan beragama maupun masyarakat. Semoga kita termasuk ke dalamnya. Wallahu ‘alam… (J. Rinaldi, 2003)
Kata-kata bijaknya:
Agungnya Sang Khalik dalam perasaanmu pasti mengecilkan semua makhluk dalam pandanganmu.

MENGELUARKAN CINTA PADA DUNIA DARI DALAM HATI


Seseorang bertanya, “Bagaimana saya harus mengeluarkan cinta dunia dari dalam hati saya?” Jawabnya, “Hendaklah kamu memperhatikan cintamu pada ‘tuhan-tuhan’ hati dan ‘anak-anak’-nya. Bagaimana cinta pada dunia memperdaya dan menentang mereka di belakang hati. Kemudian cinta pada dunia menaikkan dunia satu tingkat di atas yang alin sehingga kedudukannya menjadi lebih tinggi di atas makhluk dan mengukuhkan kedudukannya. Dunia menampakkan berbagai khazanah dan keajaibannya. Pada saat demikian, mereka merasa berbahagia karena ketinggian mereka, karena kedudukan, dan senangnya kehidupan mereka, serta pengkhidmatan dunia kepada mereka. Sebab, dunia telah mengambil alih, mengendalikan, memperdaya, dan melemparkan mereka dari kedudukannya yang tinggi ke jurang paling bawah dari kedudukan mereka. Dengan begitu, mereka terputus, tercerai berai, dan hancur.
Pada kenyataan, kedudukan dunia ini nampak dengan banyaknya sultan, raja, dan orang kaya sejak zaman Nabi Adam as. hingga hari kiamat. Dengan demikian, dunia meninggi kemudian menurun; maju kemudian mundur; menjadi kaya lalu kembali menjadi fakir. Orang yang tidak lazim di antara mereka adalah orang yang selamat dari dunia dan dapat mengalahkannya, serta selamat dari keburukannya, bukan orang yang dikalahkan olehnya. Orang yang selamat dari keburukannya hanyalah orang yang mengenal serta selalu bersikap waspada dari bahaya dan tipu daya dunia.
Kepada orang yang bertanya, ingatlah, bila engkau memandang dengan mata hati berbagai kecacatan dunia, niscaya engkau akan mengeluarkan rasa cinta pada dunia dari hatimu. Tetapi bila engkau memandang dunia dengan mata kepala, niscaya akan disibukkan oleh pesonanya, dan akan melupakan cacatnya. Engkau tidak berdaya untuk mengeluarkan rasa cinta kepadanya dari dalam hati, tidak juga bersikap zuhud dalam menghadapinya. Dunia akan membunuhmu sebagaimana ia telah membunuh orang-orang sebelummu.
Bersikap zuhudlah dalam menghadapi dunia sampai engkaumerasa puas. Apabila telah merasa puas, niscaya akan mengetahui cacat dunia dan engkau bisa bersikap zuhud terhadapnya. Merasa puas berarti menerima dengan hati, selaras dengan batin, dan menaati apa yang diinginkan juga menjauhi yang dilarang keduanya (hati-batin). Hati akan puas dengan pemberian keduanya dan senantiasa berlaku sabar atas penolakannya. Kita melihat mahkota ketakwaan di atas kepalanya dan sikap taqarrub di dalam hatinya.
Hendaklah engkau beriman, bersikap jujur, dan meninggalkan dusta terhadap kaum Muslim. Janganlah menentang karena mereka adalah raja dunia dan akhirat. Hendaklah engkau memiliki kedekatan dengan mereka, niscaya bisa memiliki apa saja. Sesungguhnya Allah telah membuat hati mereka kaya, dan memenuhinya dengan kedekatan kepada-Nya dan dengan cahaya serta kemuliaan-Nya. Mereka tidak memandang awalnya, tetapi memandnag akibat dan akhirnya. Mereka menjadikan sebagai bagian dari mata batin. Mereka tidak beribadah karena rasa takut kepada kehancuran, bukan pula berharap pahala dari Allah. Allah menciptakan mereka untuk-Nya dan demi persahabatan dengan diri-Nya. Dia juga menciptakan apa yang tidak engkau ketahui. Dia melakukan apa saja yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya, orang munafik itu bila berkata dia berdusta; apabila berjanji dia ingkar; apabila dipercaya dia berkhianat. Barangsiapa yang berusaha melepaskan diri dari tiga perkara yang disabdakan Nabi saw., niscaya akan terlepas dari perbuatan munafik. Perkara tersebut merupakan alat ukur yang membedakan antara orang Mukmin denga orang munafik.
Ambillah alat ukur berupa cermin, lalu pandanglah hatimu melalui cermin itu. Perhatikanlah, apakah engkau seorang Mukmin atau seorang munafik; seorang muwahhid atau seorang musyrik?
Dunia adalah fitnah yang menyibukkan; kecuali diambil dengan niat yang benar semata-mata demi akhirat. Apabila seseorang berniat dengan benar dalam memanfaatkan dunia, jadilah akhiratuntuknya. Setiap nikmat dapat menafikan syukur kepada Allah. Oleh karena itu, hendaklah engkau mengarahkan nikmat Allah dengan cara bersyukur kepada-Nya. Ada dua cara bersyukur kepada Allah : (1) Memohon pertolongan, dengan nikmat itu, untuk berlaku taat dan melipur lara orang-orang yang fakir di dunia. (2) Mengakui, karena nikmat itu, kepada Pemberinya dan bersyukur kepada Zat Yang menurunkannya, yakni Allah.
Seorang ulama pernah bertutur, “Segala sesuatu yang menyibukkan dan memalingkanmu dari Allah adalah bencana. Sesungguhnya kesibukan yang memalingkan dari berdzikir kepada-Nya adalah bencana. Shalat, puasa, haji dan seluruh perbuatan yang baik; semua itu bisa menjadi bencana bagimu. Apabila nikmat yang diberikan Allah menyibukkanmu untuk mengingat-Nya, maka nikmat itu juga bisa mencelakakanmu. Engkau telah menerima nikmat yang telah Dia berikan, dan berlaku maksiat kepada-Nya serta kembali kepada kepentingan-kepentingan selain untuk-Nya. Dista dan kemunafikan demikian kukuh bertengger pada gerak dan diammu, sosok dan pikiranmu; malam dan siang. Setan telah memperdaya dirimu dan menghiasi dengan dusta dan amal buruk.
Engkau berdusta, bahkan dalam shalat. Engkau berkata, “Allahu Akbar” tetapi engkau berdusta, karena di dalam hatimu ada tuhan selain Allah. Sebab, segala sesuatu yang menjadi sandaranmu, dia berarti tuhan. Segala sesuatu yang kau takuti dan kau harapkan, berarti Tuhan. Hati tidak selaras dengan lisan. Amal tidak sesuai dengan perkataan. Hendaklah engkau mengatakan “Allahu Akbar” seribu kali di dalam hati dan sekali di dalam lisan. Tidakkah merasa malu, tatkala mengatakan “Laailaaha illa Allah”, sementara engkau memiliki ribuan tuhan selain Allah?
Hendaklah engkau bertobat kepada Allah dalam seluruh perkara yang kau lakukan.
Barangsiapa yang memiliki ilmu, dan telah merasa puas dengan ilmu itu, tapi tanpa amal, ingat! Tidaklah bermanfaat apabila engkau berkata, “Saya orang alim,” sementara kamu berdusta. Bagaimana mungkin kamu rela pada diri sendiri, bahwa kamu memerintahkan orang lain dengan perkara-perkara yang kamu sendiri tidak melaksanakannya?
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian sendiri tidak mengerjakannya? (Q.S. Ash-Shaf [61]: 2)
Celakalah, apabila memerintah manusia untuk berbuat jujur, sementara engkauberdusta; kau memerintah manusia untuk bertauhid, sementara kau berbuat syirik; engkau memerintah manusia untuk berbuat ikhlas, sementara engkau berbuat riya’ dan munafik; engkau memerintah manusia untuk meninggalkan berbagai kemaksiatan, sementara engkau melakukannya. Rasa malu telah hilang dari kedua matamu. Seandainya pada dirimu ada iman, niscaya kamu akan merasa malu. Rasulullah saw. bersabda, “Rasa malu adalah sebagian dari iman.”
Tidak ada keimanan; tidak ada keyakinan; dan tidak juga sikap amanah. Engkau telah mengkhianati ilmu sehingga hilanglah sikap amanah. Engkau telah menulis pengkhianatan di sisi Allah. Saya tidak tahu obatnya selain tobat dan keteguhan. Barangsiapa yang benar keimanannya kepada Allah dan takdir-Nya, berarti selamatlah segala urusan dengan-Nya dan dia tidak menjadikan bagi-Nya seorang sekutu pun.
Janganlah bersekutu dengan makhluk. Apabila benar dalam hal ini, Allah akan menyelamatkanmu dari berabagi bencana. Dia kemudian berpindah dari keimanan kepada keyakinan, lalu meraih kedudukan sebagai wali abdal dan kemudia wali ghaib. Boleh jadi, akhirnya menjadi wali quthb bagi seluruh makhluk-Nya; jin, manusia, malaikat, arwah. Dia mengedepankan, mendekatkan, memimpin makhluk-Nya. Dia memilikinya, mengokohkan, mencintai, dan menanamkan rasa cintanya. Semua itu didasari oleh keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, yang disertai dengan pembenaran. Dasarnya adalah Islam, kemudian iman, lalu amal yang dilandaskan kepada Kitab Allah dan syariat Rasul-Nya, Muhammad saw.; setelah itu sikap ikhlas di dalam amalnya yang disertai sikap tauhid, keimanannya menjadi sempurna. Orang Mukmin akan fana kepada dirinya, amalnya, dan segala sesuatu selain Allah. Dia kerjakan berbagai amal perbuatan semantara dia ber-i’tizal darinya. Dia senantiasa menerangi dirinya dan seluruh makhluk selain Allah sehingga Dia menunjukkan jalan-Nya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Orang-orang yang bermujahadah di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (Q.S. al-Ankabut [29]: 69)
Hendaklah engkau termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zuhud. Engkau mesti rela terhadap peraturan-Nya. Dia-lah Yang membolak-balikkan setiap jiwa di tangan takdir-Nya. Apabila selaras dengan-Nya, Allah akan mengalihkan kepada kehendak-Nya. Berbahagialah orang-orang yang senantiasa menerima takdir, menunggu perlakuan Pemegang takdir; dan tidak mengingkari nikmat yang telah ditakdirkan. Salah satu tanda kenikmatan dari Pemegang takdir adalah rahmat-Nya, kedekatan dengan-Nya, kecukupan dengan-Nya dari seluruh makhluk-Nya. Apabila hati seorang hamba telah sampai kepada Allah, Dia akan membuatnya cukup dari makhluk-Nya; mendekatkan dirinya kepada-Nya, mengokohkan dan memilikinya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Sesungguhnya engkau hari ini, di tangan Kami-lah tempat yang sangat aman. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 54)
Dia menempatkanmua dalam kerajaan-Nya sebagaimana telah menempatkan Yusuf as. untuk mengurus dan mengatur kerajaan di Mesir. Dia menjadikan Yusuf as. merasa aman dengan berbagai khazanahnya.
Demikian keadaan hati. Apabila telah bersih akan tampak kebersihan dan kesuciannya dari perkara-perkara selain Allah. Dia mengokohkan hati dan kerajaan-Nya dunia dan akhirat bagi para hamba-Nya. Jadilah dia kiblat bagi para murid. Jalan menuju keadaan ini adalah ilmu dan amal. Oleh karena itu, hendaklah engkau tidak membiasakan diri bersikap batil dan malas dari ketaatan kepada Allah, karena akan menjadi bencana.
Nabi saw. bersabda, “Apabila seorang hamba telah membatasi diri dalam amalnya, Allah niscaya akan mengujinya dengan keraguan.”
Allah mengujinya dengan keraguan terhadap seuatu yang bukan bagiannya; keraguan terhadap keluarga, sakitnya anggota keluarga, berkurangnya keuntungan dalam lapangan kehidupan, kedurhakaan anak kepada dirinya, dan penentangan istrinya. Semua itu merupakan hukuman karena ketaatan kepada Tuhannya dibatasi.
Allah berfirman:
Allah tidak akan pernah mengazab kalian apabila kalian bersyukur dan beriman. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 147)
Tidak seorang pun dibenarkan berhujjah atas-Nya dengan qadha dan taqdir-Nya; Tindakan dan hukum ada pada-Nya.
Celakalah, sampai kapan engkau akan disibukkan oleh diri dan keluarga dari mengingat Allah. Seorang ulama berkata, “Seandainya engkau mengetahui anak kalian, niscaya kalian akan berpaling dan menyibukkan diri bersama Tuhan.”
Hendaklah engkau tahu bahwa anak hanyalah ‘barang’ ciptaan dan sibukkanlah dirimu untuk beribadah kepada Allah. Sebab, keluarga dan anak-anak tidak akan mengantarkanmu sedikit pun kepada Allah. Hendaklah engkau bersama anak-anak dan keluarga, membiasakan bersikap qana’ah atas apa yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaklah engkau menyibukkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Apabila engkau diberi keluasan rizki, maka rizki itu datang pada waktu yang telah ditentukan Allah. Yakinlah bahwa rizki itu datang dari allah. Esakanlah Allah, dan jangan menyekutukan-Nya dengan makhluk. Apabila engkau tidak memiliki bagian dalam takdir-Nya, maka engkau akan merasa kaya karena zuhud dan sikap qana’ah.
Orang Mukmin yang bersikap qana’ah, apabila membutuhkan sesuatu, dia akan selalu menghadap Tuhannya, dengan mengajukanpermohonan seraya tunduk, merendahkan diri, dan bertobat kepada-Nya. Apabila Allah memberinya tobat—yang selama ini dia kehendaki—dia akan bersyukur kepada-Nya atas pemberian itu. Sementara itu, apabila Allah tidak memberinya, dia akan tetap menerimanya dan bersikap sabar atas segala kenhendak-Nya tanpa sedikit pun berpaling dan menentang-Nya. Dia tidak menuntut kekayaan dengan agamanya, sikap riya’, dan kemunafikan; sebagaimana yang dilakukan oleh orang munafik. Sebab, sikap riya’, kemunafikan, dan maksiat berakibat kefakiran, kehinaan, dan jauh dari pintu Allah. Orang yang gemar berbuat riya’ dan kemunafikan senantiasa mengambil bagian dari dunia ini dengan memperalat agama dan memperdaya orang-orang saleh. Dia berbicara dengan perkataan mereka, mengenakan pakaian dengan baju mereka, tetapi tidak beramal sebagaimana amal mereka. Dia mengklaim sebagai keturunan mereka padahal bukan termasuk keturunan mereka.
Ya Allah, hindarkanlah kami dari segala sesuatu selain Diri-Mu
dan hadirkanlah kami bersama-Mu
Ya Tuhan kami, limpahkanlah kepada kami kebajikan di dunia
dan di akhirat, serta lindungilah kami dari siksa api neraka
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk menggenggam dunia bukan meletakkannya di dalam hati. Wallahu a’lam…(Disarikan dari al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmani oleh J. Rinaldi)
Kata-kata bijak : “Kuasai dunia dalam genggaman tanganmu, jangan biarkan dunia menjadi penguasa dalam hatimu”

Senin, Oktober 20, 2008

Sang Gubernur Pun Jatuh Cinta

Pada zaman Khalifah Al-Mahdi, ada seorang gubernur yang pada suatu hari mengumpulkan sejumlah tetangganya dan membagi-bagikan uang dinar di hadapan mereka. Semuanya saling berebut memungut uang itu dengan penuh kegembiraan, kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek. Ia terlihat hanya diam tidak bergerak, sambil memandangi para tetangganya yang sebenarnya lebih kaya dibandingkan dirinya, tetapi berbuat seolah-olah mereka orang-orang yang sangat kekurangan harta.
Dengan penuh rasa heran Sang Gubernur bertanya: “Mengapa engkau tidak ikut memungut uang dinar itu, seperti tetanggamu yang lain?” Wanita berwajah jelek itu menjawab: “Karena yang mereka cari uang dinar yang hanya menjadi bekal di dalam dunia. Sedangkan yang kuperlukan bukan bekal dunia, melainkan bekal akhirat.” “Apa yang engkau maksudkan?” tanya Sang Gubernur mulai merasa tertarik pada kepribadian wanita itu. “Maksudku, bekal dunia bagiku sudah cukup. Yang masih kuperlukan adalah bekal akhirat. Shalat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia kurasakan sangat singkat bila dibandingkan dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan abadi.”
Mendengar jawaban itu, Sang Gubernur merasa sangat tersindir. Ia sadar, selama ini dirinya hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya sudah sangat berlimpah, rasanya tak mungkin habis dimakan keluarganya hingga tujuh turunan. Sementara usianya sudah di atas setengah abad, dan malaikat Izrail sudah mengintainya.
Akhirnya, Sang Gubernur jatuh cinta kepada wanita lusuh yang berparas jelek itu. Berita itu pun kemudian tersiar ke seluruh pelosok negeri. Para pembesar negeri tak habis pikir bagaimana mungkin seorang gubernur bisa jatuh hati kepada wanita jelata dan berwajah jelek.
Maka pada suatu kesempatan, mereka diundang oleh Sang Gubernur ke rumahnya dan membuat pesta untuk mereka. Para tetangga, termasuk wanita yang membuat heboh itu pun turut diundang. Kepada mereka diberikan gelas yang terbuat dari kristal bertatahkan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernur itu kemudian meminta kepada mereka agar membanting gelas yang ada di genggaman mereka. Semuanya merasa heran dan tak satu pun di antara mereka yang bersedia melakukannya. Namun, tiba-tiba terdengar bunyi bantingan gelas. Semua mata tertuju ke arah sumber suara itu. Alangkah kagetnya mereka melihat seorang wanita berwajah jelek di hadapannya terdapat pecahan gelas yang berserakan beserta permata yang menghiasinya.
Sang Gubernur lalu bertanya: “Mengapa kaubanting gelas itu?” Tanpa rasa takut wanita itu menjawab: “Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkurang kekayaan Tuan. Tetapi, menurutku hal itu jauh lebih baik daripada wibawa Tuan berkurang karena perintah Tuan tidak dipatuhi.” Gubernur terkesima. Para tamu pun kagum atas jawaban yang sangat masuk akal itu. “Sebab lainnya?” tanya Gubernur. Wanita itu menjawab: “Kedua, aku hanya menaati perintah Allah. Sebab di dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan Tuan adalah penguasa, atau ulil amri, maka dengan segala resikonya kulaksanakan perintah Tuan.” Gubernur semakin takjub, demikian pula para tamunya. “Masih ada sebab lain?” tanya Sang Gubernur.
Wanita itu mengangguk lalu berkata: “Ketiga, dengan memecahkan gelas itu, tentu semua orang akan menganggapku sebagai orang gila. Namun, hal itu lebih baik bagiku. Biarlah aku dicap sebagai orang gila daripada tidak melakukan perintah gubernurnya, yang itu menunjukkan kedurhakaan. Tuduhan bahwa aku gila akan kuterima dengan lapang dada daripada aku dituduh durhaka kepada penguasaku. Karena hal itu jauh lebih berat buatku.”
Maka ketika Sang Gubernur yang telah ditinggal mati istrinya itu melamar lalu menikahi wanita bertampang jelek dan berkulit hitam itu, semua yang mendengar justru merasa sangat gembira karena Sang Gubernur memperoleh jodoh seorang wanita yang tidak saja taat kepada suami, tetapi juga taat kepada pemimpinnya, kepada Nabinya, dan kepada Tuhannya.

Hikmah:
Kesadaran akan kefanaan dunia seisinya dan keabadian akhirat dengan segala yang ada di dalamnya. Kezuhudan terhadap dunia dan kekhawatiran bila bekal akhirat belum tercukupi yang menghiasi batin wanita itu telah memancarkan cahaya kecantikan yang memupuskan paras jelek lahiriah yang dimilikinya. Pakaian kumal, kulit hitam, paras buruk dan derajat jelata yang disandang wanita itu sirna oleh kebijaksanaan batin yang dimilikinya. Gubernur pun jatuh cinta padanya. Betapa mulia di sisi Allah derajat seorang hamba yang lebih mengutamakan kepentingan akhirat daripada dunia. Di dunia pun sudah terbukti dalam kisah tersebut, seorang wanita jelata menjadi istri gubernur yang masuk dalam golongan bangsawan. Allah juga akan menundukkan dunia dengan segala isinya kepada hamba yang tidak mencari dan tidak bergantung kepadanya. Ini pun dibuktikan oleh wanita dalam kisah tersebut. Dia tidak menginginkan kekayaan dunia dan tidak mau bergantung padanya, namun kenyataannya, kekayaan itulah yang menghampirinya saat ia dijadikan istri oleh gubernur. Penataan batin yang baik dalam diri wanita tersebut telah memancar menjadi sebuah kecantikan, suatu hal yang bertolak belakang dengan kondisi kaum wanita saat ini yang sibuk mempercantik lahiriahnya namun mengabaikan kecantikan ruhaninya.

Selasa, Oktober 14, 2008

Manusia dan Kematian

Manusia dengan segala hal yang ada di sekitarnya merupakan proses berkelanjutan yang belum pernah selesai. Proses berkelanjutan ini mengandung berbagai persoalan pelik tersendiri yang hingga saat ini masih tetap aktual untuk dibicarakan. Teka-teki besar, yaitu dari mana sesungguhnya manusia itu berasal, sedang berada dalam fase kehidupan yang bagaimana saat ini, hingga kemudian ke mana manusia akan menuju, belum bisa terjawab seutuhnya dan masih menyisakan berbagai pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya.
Persoalan yang muncul tentang manusia—tentu manusia sendiri yang memunculkannya—mulai dari persoalan yang berkaitan dengan struktur yang menyusun eksistensinya, makna eksistensinya, kebebasan dan keterikatannya dalam mewujudkan eksistensinya di lingkungan sosialnya, hingga pada persoalan seputar kematian merupakan tabir misteri yang terus diupayakan penyingkapannya. Manusia bukanlah “probleme” yang akan habis dipecahkan, melainkan “mystere” yang tak mungkin sifat dan cirinya dapat disebutkan secara tuntas. Demikian yang diungkapkan oleh Gabriel Marcel ketika mengemukakan pandangannya tentang manusia.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa salah satu misteri yang melingkupi manusia adalah persoalan tentang kematian. Perbincangan yang membahas seputar kematian telah banyak dilakukan, namun belum juga mampu memuaskan manusia untuk menemukan jawaban atas berbagai persoalan yang diajukan seputar kematian itu. Filsafat sebagai aktivitas rasional-reflektif juga melakukan kajian tentang persoalan ini. Lewat cabangnya, Anthropology Metaphisycs atau yang sering dikenal dengan Filsafat Manusia, bidang ini berusaha menguak tabir misteri kematian yang melingkupi hidup manusia. Namun kematian masih saja tetap menjadi sebuah misteri yang belum secara utuh terungkap.
Achmad Charris Zubair dalam pengantarnya berjudul Refleksi tentang Kematian pada buku Misteri Kematian Suatu Pendekatan Filosofis menyatakan banyak orang berpendapat bahwa hidup ini bersifat ironis, karena manusia sebenarnya tidak pernah meminta agar ia dilahirkan, tetapi begitu ia lahir, mencintai hidup dan kehidupannya, ia dihadapkan pada realitas yang sangat menyakitkan hatinya. Manusia dihadapkan pada kematiannya, dihadapkan pada batas akhir hidupnya, yang senang atau tidak senang harus dijalaninya, sebagaimana kelahirannya sendiri (Leahy, 1998 : ix).
Bila ditelusuri lebih jauh sesungguhnya kematian merupakan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan. Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami dan merasakan kematian, karena mati telah menjadi pasangan bagi hidup. Tetapi kita memang tidak pernah bisa menentukan sebuah kepastian, kapan kematian itu akan datang. Kematian datang pada diri kita bagaikan seorang pencuri, menyelinap masuk lalu membawa ruh kehidupan kita dengan meninggalkan jasad tak berdaya (Leahy, 1998 : x). Itulah gambaran yang diberikan oleh Ahmad Charris Zubair berkenaan dengan ketidakpahaman manusia kapan maut itu akan menghampirinya.
Kematian, baik dalam situasi normal maupun tidak normal, tidak pernah gagal untuk menunjukkan taringnya yang bengis dan siap merobek jaringan kehidupan manusia dengan sewenang-wenang. Kematian benar-benar merampas segala skala nilai kehidupan yang telah ditata dengan rapi, serta memporak-porandakan semua rencana hidup yang disusun oleh manusia menjadi suatu bangunan yang megah dan indah. Manusia selalu merasa datangnya kematian itu terlalu cepat. Kesempatan untuk menyelesaikan segala rencana yang ada dirampok oleh kematian yang tidak kenal kompromi. Belum puas rasanya mengukir kehidupan ini. Belum sempat rasanya menikmati kehidupan dengan orang-orang yang kita cintai. Kematian segera datang menjemput, tidak pernah sabar menunggu barang semenit atau sedetik pun.
Kematian sering identik dengan tragedi yang membawa banyak kesedihan bagi yang ditinggalkan. Tentu saja kesedihan akan terasa semakin mendalam bila kematian itu menimpa orang-orang terdekat kita, yang kita cintai dan kita butuhkan. Ketika itu yang terjadi, banyak di antara manusia yang tidak sanggup menerima proses kematian itu sebagai konsekuensi logis dari kehidupan. Kematian memunculkan jarak yang tak terukur dan tak terbatas antara yang masih hidup dengan yang telah mati. Meskipun demikian, pada akhirnya semua manusia harus dengan rela menerima datangnya kematian sebagai suatu ketentuan “nasib” yang tak terelakkan.
Fenomena kematian bukanlah hal yang asing di tengah eksistensi manusia. Kendati demikian, hal itu tidak memberikan jawaban apa pun atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri manusia ketika kematian itu disaksikannya. Sehingga meskipun fenomena kematian itu bukan hal yang asing bagi manusia, tetapi memunculkan kecemasan dan ketakutan dalam dirinya. Sidi Gazalba menyatakan bahwa pertanyaan tentang kematian merupakan pertanyaan yang muncul dari kesangsian, kesangsian muncul dari ketidakpastian, ketidakpastian menimbulkan kegelisahan dan pada akhirnya kegelisahan akan membawa manusia kepada kecemasan dan ketakutan (Gazalba, 1967 : 25).
Hingga saat ini, kebanyakan kesadaran yang dimiliki manusia tentang kematian masih berupa ketakutan. Akibatnya, tidak jarang muncul lontaran yang bernada keberatan bila kematian dijadikan sebagai bahan kajian. Berpikir tentang kematian atau berdiskusi mengenainya dianggap sebagai sesuatu yang tidak sehat dan dapat membahayakan keseimbangan psikologis. Padahal bila kita telusuri On Death and Dying-nya Elisabeth Kubler-Ross (1998 : 15), dia menyatakan bahwa berpikir tentang kematian dan mendiskusikannya secara serius justru akan memunculkan kebijaksanaan kolektif umat manusia baik dari segi psikologis maupun spiritual. Senada dengan hal itu, filsuf Miguel de Unamuno mengatakan bahwa kesadaran akan kematian membawa manusia dan individu-individu menjadi matang secara spiritual.
Kematian bagi manusia sesungguhnya bukan sebagai kehancuran yang tiada bermakna. Kematian justru berfungsi sebagai mediator bagi suatu proses transendensi diri manusia itu sendiri. Menarik apa yang dituliskan dalam Majalah Basis, tahun ke-51, bulan September-Oktober (2002 : 65) berkenaan dengan misteri kematian Marilyn Monroe. Majalah tersebut menegaskan bahwa Marilyn Monroe tidak pernah ingin mati, tetapi tekadnya untuk mati makin bulat ketika hidupnya semakin gemerlap. Marilyn Monroe didapati mati ketika ia sedang memperoleh segala yang ingin diperolehnya. Adakah hidupnya hanya kesia-siaan? Adakah kematiannya yang tragis hanyalah akhir dari kesia-siaan hidupnya? Jawaban atas pertanyaan itu bisa saja mungkin. Namun, di atas semua itu, kematiannya adalah tragedi yang mengungkapkan bahwa hidup ini akhirnya hanyalah “mampir ngombe”. Dengan segala kemegahan dan kesuksesannya, ia memaksa dirinya untuk berjalan di luar rel realisme hidup yang hanya “mampir ngombe” itu. Akibatnya ia terpelanting dari hidup ini, dan mati dengan amat tragis.
Lalu, berakhirkah seluruh riwayat Marilyn Monroe? Ternyata tidak. Kematian yang dialaminya justru membuat hidupnya tak pernah berakhir. Hidup yang dia peroleh tidak meniadakan kehebatannya, malah makin meningkatkan dan memperpanjang kehebatannya itu. Kematiannya selalu dibicarakan orang, segala prestasi yang pernah dicapainya senantiasa diingat orang, kepopulerannya tak pernah lepas dari perbincangan orang, baik dan buruk sisi kehidupan yang telah dijalaninya menjadi sorotan orang. Dengan kematiannya, eksistensinya seakan diperpanjang sampai ke titik yang tak pernah berakhir. Inilah proses transendensi diri yang dialaminya.
Pengertian dan pemahaman seputar kematian yang ditanggapi semata-mata sebagai peristiwa yang menakutkan dan mengancam eksistensi manusia seyogyanya perlu diluruskan. Ibn Miskawaih menyatakan bahwa sesungguhnya ketakutan akan kematian itu hanya ada pada diri orang yang tidak memahami hakikat kematian itu, atau tidak tahu ke mana tujuan dirinya setelah mati. Dia juga mengatakan boleh jadi juga karena orang itu menyangka bila jasmaninya telah rusak, dirinya pun akan hilang pula. Kemungkinan lain, orang mengira bahwa alam ini akan terus lestari sementara dirinya telah musnah. Padahal diri dan jiwa itu kekal, kemudian kembali kepada Allah. Rasa takut kepada maut juga menghinggapi orang yang menyangka bahwa kematian itu menyebabkan rasa sakit yang tak terperikan, atau pada orang yang merasa bahwa setelah mati akan menerima siksa, atau pada orang yang merasa sedih bila berpisah dengan harta dan kesenangan duniawi (Miskawaih, 1994 : 185).
Bila diperhatikan penjelasan yang disampaikan oleh Ibn Maskawaih tersebut, kecemasan dan ketakutan akan kematian itu muncul sebagai akibat dari pemahaman yang disandarkan pada pola pikir kaum materialis. Kebanyakan manusia, alam pikirannya telah didominasi oleh corak berpikir ini, sehingga segala hal yang terjadi diukur secara materi. Louis Leahy (1991 : 66) mengutip pendapat Pascal yang menyatakan bahwa karena umat manusia tidak berhasil mengatasi kematian, kesengsaraan, ketidaktahuan, mereka memutuskan untuk tidak memikirkan tentangnya. Mereka menyerah pada tataran fenomena kematian itu saja dan tidak bersedia untuk berbicara lebih luas lagi mengenainya sekalipun dalam benak mereka tersisa kecemasan dan ketakutan. Materialisme berpandangan bahwa seluruh realitas adalah materi atau dapat direduksi pada materi sehingga memunculkan pemikiran skeptis seputar kemungkinan hidup sesudah mati atau tidak adanya unsur immaterial yang bertahan. Kematian manusia tidak lebih dari sekedar proses hancurnya struktur atom manusia, peleburan serta penyebaran unsur-unsur atom itu.
Pembuktian akan adanya hidup setelah mati bukan suatu pekerjaan yang mudah. Hukum-hukum berpikir rasional tidak akan dapat memverifikasi bagaimana kondisi alam kehidupan setelah mati, apa yang terjadi di sana dan sampai kapan itu akan berlangsung. Tetapi hal itu bukan berarti lantas meniadakan adanya hidup setelah mati. Bila dimensi rasio tidak mampu untuk memahaminya, sudah sepantasnya membangun pemahaman akan kematian itu dari dimensi ruhani. Lewat dimensi ruhani ini, maka pemahaman akan kematian—sebagaimana yang ditulis oleh Arif Widodo dalam kesimpulan skripsinya berjudul Laku Icip Pati Sebagai Langkah Metodis untuk Mencapai Derajat Kemulyaan Hidup (1995)—bukan lagi sebatas kejadian “pasif”, namun sampai kepada pemahaman akan kematian “aktif”. Dengan demikian pengetahuan yang didapatkannya adalah pengetahuan yang bersangkutan langsung dengan wilayah pengetahuan Allah.
Pengetahuan dan pemahaman tentang kematian yang semacam ini, tidak lagi menyisakan kecemasan dan ketakutan, melainkan memunculkan kerinduan untuk segera bertemu dengan kematian itu. Sebab, kematian akan membawa manusia kepada jatidirinya.
Pengetahuan tentang kematian yang disertai dengan sentuhan ruhani, mengubah image kematian yang penuh dengan kegelapan dan ketersesatan menjadi suasana yang dirindukan penuh kesyahduan. Karena alam kematian mengantarkan manusia kepada asal mula kodrat manusia itu sendiri.

Sabtu, Oktober 11, 2008

Akal dan Hati

Manusia adalah makhluk terbaik di antara ciptaan Allah. Keterbaikan manusia itu terletak pada ruh suci Allah yang Dia tiupkan ke dalam diri manusia. Siapa pun manusia, dengan segala perbedaan tampilan yang nampak di dunia ini, sesungguhnya dia adalah makhluk terbaik yang pernah ada. Untuk mengiringi kebaradaan ruh suci Tuhan tersebut, maka manusia dilengkapi dengan akal dan hati serta nafsu. Tiga komponen ini sangat menentukan apakah manusia akan semakin mulia, ataukah sebaliknya, derajatnya akan turun bahkan jauh lebih rendah daripada binatang.
Akal menjadi barometer yang sangat membedakan manusia dari binatang. Komponen ini tidak dimiliki binatang. Dengan akal manusia bukan hanya mampu mengenal dirinya, tapi juga semakin mempertegas dan memperjelas jalan untuk menemukan Tuhannya. Di antara sekian banyak makhluk ciptaan Allah, hanya manusia yang diserahi Allah tugas untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Mengapa manusia yang dipilih Allah? Karena manusialah yang mampu memaksimalkan penggunaan akal.
Dengan nafsu sebagai komponen yang selalu menjadi oposisi bagi akal, manusia semakin teruji. Malaikat, salah satu makhluk Allah yang lain, juga dianugerahi akal namun tidak nafsu. Akibatnya tak ada yang istimewa dalam kehidupan Malaikat. Mereka makhluk yang statis dalam kualitas dirinya. Mengapa demikian? Karena Malaikat tak memiliki tantangan apa pun dalam hidupnya. Mereka patuh kepada Allah bukan karena hasil kesadaran dan perjuangan, bukan pula karena keberhasilan mereka dalam menemukan jalan menuju Tuhan, tapi karena memang sudah dikodratkan Allah dalam diri mereka untuk senantiasa patuh pada-Nya. Mengapa saya katakan "dikodratkan", karena Allah tidak menganugerahi mereka nafsu.
Komponen lain yang dimiliki manusia adlah hati. Tentu saja yang dimaksud di sini bukanlah hati yang berbentuk fisik, yang bisa diperiksa secara medis. Hati di sini adalah hati yang bersifat lathifun, ruhaniyyun, wa rabbaniyyun. Hati yang dalam bahasa Rasul Saw. Qalbun mukminin baytullah, yakni hati yang menjadi alat bagi manusia untuk menghubungi dan berhubungan dengan Tuhannya. Hati yang menyimpan segala kefitrahan manusia. Hati yang bernuansa keilahian, yang tak pernah berbohong dan tak bisa dibohongi, yang senantiasa tertarik pada kebaikan dan membenci segala bentuk keburukan.
Komponen yang bernama hati ini selalu berebut dengan nafsu dalam mengarahkan manusia. Tatkala hati berhasil mengarahkan manusia, maka manusia terangkat derajatnya bahkan jauh melebihi Malaikat. Sebaliknya, ketika hati dikalahkan nafsu, dan manusia terjerumus dalam gejolak nafsu, maka derajatnya akan turun bahkan jauh lebih rendah dari binatang.
Manusia yang terbaik adalah manusia yang mampu memaksimalkan potensi akal dan hati yang dimilikinya. Nafsu ia tundukkan di bawah kendali akal dan hati. Dengan akal manusia membaca ayat-ayat kauniyah. Melalui pembacaan terhadap ayat-ayat tersebut manusia akan menemukan jalan untuk berjumpa dengan Tuhannya. Dengan hati, manusia menempuh jalan tersebut, menghubungi Tuhan dan berhubungan dengan-Nya. Alangkah indahnya menjadi manusia.