Kamis, Februari 26, 2009

KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT


Berbicara tentang kematian tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks filsafat, sebab kematian merupakan bahan kajian kefilsafatan yang tidak akan pernah usai dibicarakan. Sebelum kita menelusuri lebih jauh konsep kematian dalam perspektif filsafat, terlebih dahulu penulis akan paparkan bagaimana para filsuf Yunani memaknai kematian itu. Mengapa harus berangkat dari para filsuf Yunani? Karena di sanalah gudang-nya para filsuf sekaligus tempat lahirnya filsafat.
Pemahaman terhadap konsep kematian dilandasi oleh pandangan tentang manusia. Apabila kita memperhatikan berbagai sumber literatur yang ada, para filsuf Yunani yang hidup pada abad keenam sebelum masehi seperti Thales (624-548 S.M.), Anaximander (611-547 S.M.) dan Anaximenes (538-480 S.M.), masih tergolong sebagai filsuf alam. Mereka belum bersikap kritis terhadap pengenalan manusia. Baru kemudian setelah muncul Socrates (469-399 S.M.), pembicaraan mulai mengarah kepada diri manusia itu sendiri. Pembicaraan Socrates ini lebih difokuskan lagi oleh muridnya bernama Plato (427-347 S.M.). Dialah filsuf yang pertama kali memberi perhatian sepenuhnya kepada manusia.
Berangkat dari dikotomi dunia menjadi dunia ruhani (dunia idea, dunia immateri) dan dunia jasmani (dunia materi), Plato berbicara tentang manusia. Menurut Plato, sebelum seseorang lahir ke dunia dia berada dalam wujud sebagai jiwa murni dan hidup dalam kawasan yang lebih tinggi. Di kawasan ini dia dapat memandang suatu dunia ruhani. Di sinilah jiwa mengarungi pengetahuan tentang ide dalam cara hidup yang kontemplatif. Sejak dahulu jiwa telah berada di kawasan itu dan oleh karena itu, menurut Plato, jiwa itu baka.
Sebenarnya pandangan Plato yang demikian ini, merupakan warisan dari gurunya, Socrates. Bagi Socrates, jiwa manusia merupakan bagian dari Tuhan yang membimbing manusia dalam segala perbuatannya. Itulah yang dimaksud dengan daimonion (Hatta, 1986 : 84).
Kembali kepada Plato, selanjutnya dia menyatakan, semenjak kelahiran jiwa terperosok masuk ke dalam tubuh. Tubuh yang merupakan unsur materi ini, menjadi penghalang bagi jiwa. Jiwa yang selalu bergerak terhalang olehnya dan dalam hal ini jiwa bagaikan tahanan yang meringkuk dalam penjara tubuh. Pandangan jiwa menjadi terhalang. Pengamatan inderawi menghalangi pandangan jiwa dan mengakibatkannya semakin jauh dari kebenaran. Gerakan jiwa merupakan wujud dari keinginannya untuk lepas dari belenggu tubuh. Lalu, mengapa jiwa menginginkan keluar dari belenggu tubuh? Hal itu disebabkan jiwa memiliki asal-usul yang lebih luhur daripada kenyataan dunia ini. Karena itu dia tidak tergantung pada proses perubahan terus menerus tetapi dia dekat dengan dunia abadi yang terdiri atas ide-ide. Dunia konkret ini hanyalah sekedar bayangan dari dunia abadi itu. Bila tubuh musnah maka jiwa tetap hidup (van Peursen, 1988 : 42). Orientasi jiwa selalu ke dunia ruhani (dunia immateri), dia selalu memberontak terhadap tubuh dan pada akhirnya dia berhasil keluar dari belenggu materi, kembali ke asalnya yang baka. Keberhasilan jiwa lepas dari belanggu tubuh, itulah kematian.
Lalu, bagaimana Plato berbicara tentang kematian? Plato mengartikan kematian sebagai pemisahan bagian ruhaniah, yaitu jiwa, dari bagian fisik, yaitu badan. Setelah dipisahkan dari tubuh, jiwa dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan arwah orang lain yang telah meninggal, dan dibimbing oleh arwah pelindung melalui peralihan dari kehidupan fisik ke dunia selanjutnya. Dia menyebutkan bagaimana beberapa orang mengharapkan dijemput oleh sebuah perahu pada waktu kematian mereka, yang akan membawa mereka mengarungi lautan menuju “pantai seberang”. Lebih lanjut Plato menegaskan bahwa jiwa yang telah dipisahkan dari tubuh pada waktu kematian dapat berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan lebih jelas dari sebelumnya. Segera setelah kematian—kata Plato, jiwa menghadapi “pengadilan” tempat suatu “makhluk” Yang Agung memperlihatkan di hadapannya semua yang telah dilakukannya, apakah itu baik atau buruk, dan memaksa jiwa menghadapinya (Moody, 2001 : 145-147).
Dengan kata lain, tatkala jiwa sudah sampai kepada alam yang menjadi asal-usulnya, maka kepadanya akan diperlihatkan segala yang telah dia perbuat pada saat berada di dunia materi. Pada saat itu jiwa akan melihat segala yang terhalang baginya—disebabkan oleh terlingkupi jasad—di dunia. Jiwa akan sadar terhadap baik dan buruk perilaku yang telah diperbuatnya di dunia karena pengaruh jasad. Namun dalam hal ini, Plato tidak menjelaskan apakah jiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas semua yang terjadi di alam dunia, sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci agama-agama samawi.
Berbeda dengan Plato, sang murid, Aristoteles, dalam memahami manusia menempuh jalan sendiri. Dia tidak lagi membutuhkan dunia ide (dunia ruhani) untuk menjelaskan alam semesta termasuk manusia di dalamnya. Mengamati alam semesta dengan segala isinya, Aristoteles mengajukan pertanyaan, apakah segala sesuatu mengalami perubahan yang terus menerus atau tetap dengan kepasivannya? Aristoteles sendiri kemudian memberikan jawaban bahwa segala sesuatu mengalami proses kelahiran, perubahan dan kebinasaan yang berlangsung tak henti-hentinya, namun ada juga yang tinggal tetap yakni perubahan itu sendiri sebagai subjek (Kabanga’,2002 : 165). Jawaban Aristoteles ini mengingatkan kita pada pendahulunya, Heraklitos (…-480 S.M.) dan Parmenides (abad 6-5 S.M.), yang berdebat seputar persoalan yang sama dan jawaban ini menyiratkan ketidakberpihakan Aristoteles pada salah satu dari mereka melainkan menjadi solusi tersendiri terhadap persoalan tersebut.
Mengenai perubahan, Aristoteles membedakannya menjadi dua jenis yakni aksidensial dan substansial. Perubahan aksidental adalah perubahan bentuk seperti yang terjadi pada batu pualam kemudian dijadikan patung, sedangkan perubahan substansial adalah sebagaimana yang terjadi pada saat manusia mati (Kabanga’, 2002 : 166).
Menurut Aristoteles, dalam diri manusia terdapat psykhe (jiwa) dan nous (roh, rasio). Psykhe (jiwa) dan nous (roh, rasio) ini merupakan dua hal yang berbeda. Jiwa tidak lain merupakan prinsip hidup yang dimiliki oleh manusia. Tentang keberadaan jiwa, Aristoteles tidak mengaitkannya dengan Tuhan, melainkan dengan perubahan yang muncul dari materi pertama. Ini yang membedakan pandangannya dari Plato. Bila diteliti lebih lanjut, Aristoteles sudah menjadi penganut evolusionisme yang pertama—seperti yang ditulis oleh van deir Weij (2000 : 43-44), dari potensi materi pertama itu mula-mula muncul berbagai bentuk substansial dari benda-benda anorganis. Kemudian dalam wilayah tumbuhan, materi itu menjadi landasan bagi suatu bentuk atau prinsip tumbuhan, lalu dari potensialitasnya muncul bentuk atau prinsip hidup dari wilayah binatang, dan akhirnya psykhe atau prinsip hidup manusia.
Mengenai nous, Aristoteles membaginya manjadi dua, yaitu nous poietikos (ruh aktif) yang bersifat ilahi atau yang ilahi dalam diri manusia, dan nous pathetikos (ruh pasif) yang bisa binasa serta muncul dari potensi organisme manusia. Jika manusia mati, maka nous poietikos—yang Ilahi pada manusia—akan kembali bersama dengan Tuhan. Artinya, ketika manusia mati ada sesuatu yang tetap abadi yakni ruh aktif (Kabanga’, 2002 : 167). Namun demikian, kehadiran nous poietikos ini menyebabkan Aristoteles mengalami masalah dalam menerapkan prinsip hilemorfistis-nya untuk memahami manusia secara utuh yang hingga kematiannya belum bisa terpecahkan.
Selain mengemukakan pendapat para filsuf Yunani berkenaan dengan kematian, penulis akan menelusuri lebih lanjut pendapat dari filsuf-filsuf yang lain. Filsuf besar terakhir yang hidup pada zaman Yunani kuno adalah Plotinos (204-270 S.M.), namun dia dilahirkan di Mesir (Mudhofir, 2001 : 404). Bagaimana dia berbicara tentang kematian? Untuk menjelaskannya akan ditelusuri terlebih dahulu titik tolak pemikiran filsafatnya.
Plotinos bertolak dari pemikiran Plato tentang dunia idea, sehingga pemikirannya dikenal dengan Neo-Platonisme. Dia memberanikan diri untuk memikirkan hingga kepada hal Yang Tak Terhingga karena dari sanalah segala gejala itu bermula. Tatkala ditanya bagaimana dia sampai kepada Yang Tak Terhingga, Plotinos menjawab dengan mengenal To Hen (Yunani, artinya Yang Satu). To Hen bukanlah Ada atau sesuatu yang ada, melainkan Adiada, Yang Mutlak, Yang Tak Terhingga. Mungkin yang dimaksudkan oleh Plotinos dengan Yang Satu itu adalah Allah. Hal ini ditegaskan oleh Hatta (1986 : 166) dengan menyatakan bahwa Plotinos dalam melihat segala yang ada dalam kosmos bertolak dari pemikiran adanya Allah sebagai Yang Tak Terhingga, pangkal segala-galanya.
Dari To Hen mengalir secara emanasi apa yang dinamakan dengan nous (ruh, rasio). Nous adalah Ada yang berpikir. Pemikiran yang berada dalam berpikir itu dia timba dari To Hen sebagai sumbernya. Dengan demikian, fungsi nous—seperti yang dinyatakan van der Weij (2000 : 36), sama dengan apa yang diistilahkan Plato dengan kosmos noetos (dunia yang tak terlihat, dunia yang dapat dipikirkan), hanya saja nous lebih dipersatukan.
Dari nous ini kemudian memancar psykhe (jiwa), yakni Jiwa Dunia. Psykhe merupakan daya hidup bagi kehidupan organis dan kosmis. Psykhe yang menciptakan alam semesta, karena itu disebut Jiwa Dunia. Dari Jiwa Dunia ini kemudian secara emanasi mengalir jiwa-jiwa yang masuk ke dalam diri manusia sebagai daya hidup baginya. Jiwa manusia itu—menurut Plotinos, bersifat ambivalen dan bipolar. Di satu pihak, jiwa itu mengalami dorongan ruhani untuk mengarahkan pikiran dan cintanya pada Jiwa Dunia sebagai asal mulanya; dan di pihak lain terdapat suatu daya di dalam dirinya untuk berkiblat kepada dunia yang lebih rendah (Hatta, 1986 : 171-172).
Apabila jiwa itu tetap bersatu dengan Jiwa Dunia maka akan terbebas dari penderitaan dan nafsu manusiawi. Namun, apabila sebaliknya, dia tenggelam dalam tubuh atau takluk pada tubuh, akan sukar baginya untuk berpikir murni lagi dan akan diburu oleh asmara, nafsu serta penderitaan. Akibatnya, akan semakin jauhlah dia dari tempat asal-usulnya. Jiwa yang sudah jauh itu hanya akan dapat menyucikan diri dari segala kotoran duniawi bila suatu saat dia mendapatkan pencerahan (Kabanga’, 2002 : 168).
Dari pemikiran Plotinos yang telah diuraikan tersebut, kita bisa dapatkan pandangannya tentang kematian. Jiwa itu bersifat Ilahiah karena berasal dari Yang Satu melalui Jiwa Dunia. Sedangkan tubuh berasal dari materi yang bisa menyebabkan jiwa dikuasai oleh nafsu dan penderitaan. Pada saat kematian manusia, maka jiwa berpisah dari tubuh. Jiwa meninggalkan tubuh dan dengan tanpa wujud kembali ke Jiwa Dunia. Pada saat kematian, jiwa menyisihkan yang jasmani dan kembali kepada yang ideal dan ruhani. Mungkin akan muncul pertanyaan, bukankah hal itu juga bisa terjadi pada saat kontemplasi atau saat ekstase? Plotinos membenarkan hal itu, namun sifatnya sementara atau tidak konstan. Lewat pintu kematian, jiwa menuju kepada kemungkinan ultim-nya. Kemungkinan ultim ini terbuka bagi setiap orang, sehingga pada saatnya semua makhluk yang berjiwa akan kembali kepada Yang Satu, yang oleh Plotinos disebut dengan apokatastasis panton (Yunani, apokatastasis, artinya pemulihan; panton, artinya semua, seluruhnya). Kemungkinan ultim manusia itu adalah manunggal dengan Yang Satu, dan menurut Plotinos hal itu hanya akan bisa dicapai secara konstan setelah kematian manusia.
Selanjutnya akan penulis paparkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para filsuf lainnya seputar kematian. Rene Descartes (1596-1650), yang diberi predikat sebagai Bapak Filsafat Modern, berbicara tentang manusia sesuai dengan pandangannya yang dualistis—sekalipun dia sendiri mengakui tak mungkin manusia bisa dipandang seratus persen demikian karena hal itu akan memunculkan banyak persoalan.
Menurut pendapatnya, jiwa dan tubuh adalah yang ruhani dan jasmani pada manusia. Tubuh dapat dilihat dalam bagian-bagiannya, sedangkan jiwa tidak. Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang tidak bersifat bendawi dan tidak dapat mati. Pemikiran merupakan sifat asasi dari jiwa. Yang termasuk pemikiran ialah segala sesuatu yang terjadi di dalam diri manusia dengan sepengetahuannya, yaitu segala perbuatan pengenalan inderawi, khayalan, akal, kehendak. Kesadaran menjadi sifat hakiki dari pemikiran. Sementara itu, tubuh pun memiliki sifat asasinya, yakni keluasan. Segala perbuatannya disebabkan oleh sebab-sebab mekanisnya sendiri.
Di antara tubuh dan jiwa ada pertentangan yang tidak terjembatani. Kesatuan yang tampak—menurut Descartes—hanya bersifat lahiriah saja, karena sesungguhnya masing-masing mewujudkan hal yang berdiri sendiri-sendiri. Hakikat manusia ada pada jiwanya dan tubuh diperalat oleh jiwa. Kondisi tubuh yang diperalat oleh jiwa dalam pikiran Descartes ini, digambarkan oleh Ryle sebagai the ghost in the machine, hantu di dalam mesin (Hamersma, 1990 : 8).
Walaupun tidak ada titik pertemuan antara pemikiran dan keluasan, namun antara jiwa dan tubuh terjadi saling mempengaruhi. Jiwa berada di dalam sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil (glandula pinealis). Secara tidak langsung jiwa mempengaruhi tubuh dengan mengambil alih gerak-gerak tubuh dengan perantaraan nafas hidup, yaitu bagian darah yang paling banyak geraknya, yang mengaliri semua syaraf dan otot. Berbagai rangsangan dari indera dibawa oleh nafas hidup ke kelenjar kecil di bawah otak kecil tadi. Lalu gerak kelenjar ini ditangkap oleh jiwa yang menjawabnya dengan pengamatan yang sesuai dengan perangsang-perangsang itu. Sebaliknya jiwa juga dapat menyebabkan adanya gerak di kelenjar kecil, yang akibatnya ada perubahan dalam jalan nafas hidup yang menggerakkan syaraf dan otot bagian tubuh yang beraneka jenis itu. Lebih lanjut Descartes menyatakan bahwa pengetahuan sejati tidak dapat dicapai pada saat terjadinya saling mempengaruhi antara jiwa dan tubuh. Pengetahuan sejati hanya bisa dicapai oleh jiwa karena jiwalah yang menemukan kebenaran (K. Bertens, 2000 : 24).
Dengan demikian, walaupun Descartes tidak berbicara secara langsung tentang kematian, namun dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa dia memaklumi ada yang abadi dalam diri manusia, yaitu jiwa. Jiwa tak berkeluasan dan bebas dari ikatan tubuh. Ketika manusia mengalami kematian, unsur tubuh akan musnah tetapi jiwa akan tetap kekal dan hanya jiwa yang akan dapat mencapai kebenaran tertinggi. Kebenaran tertinggi yakni kebenaran yang bukan merupakan hasil dari saling mempengaruhi antara jiwa dengan tubuh, melainkan kebenaran yang hanya diketahui oleh jiwa karena ketidakterikatannya terhadap tubuh.
Friedrich Nietzsche (1844-1900) memahami bahwa datangnya kematian itu sebagai sesuatu yang diputuskannya sendiri. Kedatangan maut adalah atas kehendaknya. Fuad Hassan (1992 : 59) mengutip kata-kata Nietzsche tentang kematian :
“Kematian kupujikan, maut yang bebas dan datang padaku oleh karena aku yang menghendakinya. Bebas untuk mati dan bebas dalam maut. Mampu berkata ‘tidak’ dengan ikhlas bilamana saat untuk berkata ‘ya’ telah lewat.”
Sementara itu, Martin Heidegger (1889-1976) menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki keterbatasan dalam hal waktu. Terbukti dari kenyataan bahwa dia dilemparkan—tanpa pilihannya—ke dalam kematian dan di belakangnya selalu menyertai bayangan akan ketiadaan-nya. “Segera setelah kelahirannya,” kata Heidegger, “manusia sudah cukup tua untuk mengalami kematian.” Masa akhir kehidupannya persis dengan permulaan kehidupannya. Keberadaan manusia merupakan keberadaan menuju mati (being towards death). Bagi Heidegger, kematian seyogyanya tidak hanya diartikan sebagai berhentinya kehidupan, atau dalam proses menuju akhir. Proses kematian adalah cara berada yang diterima manusia segera setelah kelahirannya. Kematian bukan hanya urusan di masa mendatang, namun selalu hadir di setiap saat masa sekarang. Maka sikap yang paling baik terhadap kematian adalah secara sadar dan dalam keputusan pribadi mempersiapkan diri sebaik-baiknya bagi kematian. Dengan demikian manusia menemukan dirinya yang utuh dan nyata (Hadi, 1996 : 174).
Berbeda dengan Heidegger yang meyakini bahwa kehidupan bertolak dari kematian, Jean Paul Sartre (1905-1980) menegaskan, justru kematianlah yang bertolak dari kehidupan. Dia tidak sependapat dengan Heidegger yang mengatakan bahwa kehidupan merupakan persiapan bagi kematian. Kematian, menurut Sartre, adalah suatu kenyataan yang muncul secara tiba-tiba dan buta, sehingga manusia tidak akan mampu untuk memahami dan mengontrolnya. Dia datang tanpa waktu yang jelas, menerobos dengan kejam dan selalu menggagalkan manusia dalam usahanya mengokohkan kehidupan. Kematian menjadi akhir kehidupan manusia yang penuh dengan kesia-siaan. Disebabkan kematian, semua kemungkinan yang telah kita realisasikan dalam kehidupan dimusnahkan. Kehidupan berubah menjadi kepingan-kepingan tiada makna. Hidup menjadi sia-sia belaka di dalam kematian. Kematian menjadi sesuatu yang absurd, karena kematian membuat kehidupan kita juga menjadi absurd.
Tidak ada satu pun yang bisa dimutlakkan dalam memahami kehidupan dan kematian. Bila kehidupan yang dimutlakkan, maka tidak akan ada lagi pemahaman akan hal yang transenden, yang ada hanyalah eksistensi yang diperpanjang hingga tanpa batas. Namun sebaliknya, bila kematian yang dimutlakkan, maka yang transenden akan terselubung, yang ada hanyalah kebinasaan. Maka jalan satu-satunya untuk memahaminya—menurut Karl Jaspers (1883-1969), (Hadi, 1996 : 177)—adalah dengan melibatkan suatu proses transendensi; kematian tidaklah seperti apa yang terlihat di dalam benda yang hidup dan mati atau di dalam jenazah yang tidak hidup lagi; hidup bukanlah sesuatu yang kelihatan sebagai kehidupan tanpa kematian atau kematian yang kelihatan sebagai tanpa kehidupan. Di dalam yang transenden kematian merupakan pemenuhan dari adanya sebagai hidup yang telah menjadi satu dengan ada. Kematian, sekalipun menjadi situasi batas yang paling dramatis namun akan memberikan keberanian dan intergritas sehingga pada akhirnya akan menyempurnakan eksistensi manusia.
Dari pandangan Karl Jaspers tersebut kita memahami bahwa kematian sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tanpa fungsi. Kematian membawa manusia kepada kesempurnaan eksistensinya. Selain sebagai penyempurna eksistensi manusia, kematian juga memiliki berbagai fungsi yang lain. Emmanuel Levinas (1906-….) mengemukakan setidaknya terdapat lima fungsi kematian, yaitu :
1. Kematian mendorong manusia untuk menciptakan struktur kehidupan, untuk menciptakan berbagai kemungkinan yang lebih manusiawi. Dengan demikian, kematian mengandung nilai edukatif yakni mendorong manusia untuk bertindak, mengatasi dan membangun segala-galanya. Manusia ingin menunda kematian, maka dia perlu untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan kematian dapat dielakkan dalam arti penangguhan kejadiaannya. Manusia dapat menggunakan sisa-sisa hidupnya dengan melakukan berbagai tindakan yang baik.
2. Kematian akan merealisir, mengkomparasikan, mengaitkan dengan barang-barang yang ada di dunia ini. Jika manusia mati, tidak satu pun barang-barang yang akan dibawa kecuali apabila itu disertakan oleh keluarganya ke liang kuburnya. Ketika manusia mati, maka segala yang dimiliki tidak akan berguna lagi dan ditinggalkan sebagai barang jarahan.
3. Kematian akan merealisir peranan manusia di dalam masyarakat. Kematian mengajarkan adanya kesamaan yang mutlak untuk setiap orang. Orang yang mati di tempat tidur yang empuk dengan orang yang mati merana adalah sama. Kedua-duanya sama-sama mati dengan terpisahnya jiwa sebagai substansi dengan tubuh.
4. Kematian menelanjangi manusia dari egoisme kekuasaan dan kejayaannya. Maka pada dasarnya manusia adalah sama dan hanya kematianlah yang dapat menunjukkan bahwa manusia mutlak sama. Adanya perbedaan kaya-miskin akan ditiadakan oleh kematian.
5. Kematian memberi makna bahwa manusia itu pada akhirnya memberi arti total pada sejarah hidupnya. Bila manusia sudah mati maka dia tidak dapat lagi mengubah orientasi hidupnya (Sudarminto, 1990 : 28-33).
Berbagai uraian seputar kematian dalam persperktif filsafat tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kematian bukan merupakan akhir eksistensi manusia. Kematian bukanlah peristiwa pasif yang terjadi pada manusia yang setelah itu tak memiliki makna apa pun lagi. Kematian hanyalah batas akhir dari garis waktu yang terbentang dalam sejarah hidupnya di dunia, setelah itu eksistensi manusia akan memasuki dimensi lainnya, yakni hidup dalam kehidupan yang abadi dalam alam kelanggengan.

KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF ILMU KEDOKTERAN


Kematian menjadi suatu fenomena yang selalu menarik untuk dibicarakan karena setiap manusia pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan bagian mutlak dalam sejarah manusia. Meskipun fenomena kematian telah akrab dengan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk menentukan kapan kematian itu benar-benar terjadi sehingga memunculkan banyak keraguan tentangnya. Di sisi lain juga memunculkan pertanyaan apakah kematian itu datang secara tiba-tiba atau ada tahapan-tahapan tersendiri yang dialami seseorang yang secara umum dapat dipahami sebagai suatu proses menjelang kematian? Untuk menjelaskan persoalan ini ada baiknya akan penulis kemukakan hasil observasi yang dilakukan oleh Elisabeth Kubler-Ross atas orang-orang yang berada dalam proses menjelang kematian mereka dalam bukunya On Death and Dying (1998).
Menurut Elisabeth Kubler-Ross (1998 : 48-134) terdapat lima tahapan yang dialami seseorang ketika menjelang kematiannya. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap Pertama : Penyangkalan dan Pengasingan Diri
Reaksi pertama dari mereka yang menyadari bahwa penyakit mereka benar-benar akan membawa pada kematian adalah suatu shock (keterkejutan) yang hebat. Setelah perlahan-lahan mengatasi keterkejutan itu, biasanya mereka menyangkal, “Tidak, bukan aku, itu tidak mungkin benar!” Penyangkalan awal ini berlaku, baik bagi mereka yang langsung diberitahu pada permulaan sakit maupun bagi mereka yang menyimpulkannya sendiri. Penyangkalan, sekurang-kurangnya penyangkalan parsial, dilakukan hampir oleh semua pasien, tidak hanya selama tahap-tahap pertama menderita sakit atau setelah konfrontasi, tetapi sikap ini setiap kali muncul kembali pada tahap-tahap berikutnya.
Sebagaimana kita tidak dapat menatap matahari sepanjang waktu, kita pun tidak dapat menghadapi kematian sepanjang waktu dengan hati yang pasrah. Untuk sementara waktu pasien dapat mempertimbangkan kemungkinan kematiannya dengan nalar, tetapi pada kesempatan lain dia menyingkirkan pertimbangan tersebut dan menggantikannya dengan perjuangan untuk mempertahankan kehidupannya. Penyangkalan biasanya menjadi pertahanan sementara dan akan segera disusul dengan sikap menerima, meskipun tidak sepenuhnya. Fungsi penyangkalan sebagai suatu penahan setelah mengetahui berita tak tersangka-sangka yang sangat mengejutkan itu. Penyangkalan ini membantu pasien untuk menyadari diri atau menguasai diri sepenuhnya dan sesuai dengan perkembangan waktu memunculkan sikap lain untuk mempertahankan diri secara tidak terlalu radikal.
Tahap Kedua : Marah
Kalau tahap pertama yang berupa penyangkalan tidak dapat dipertahankan lagi, maka biasanya diganti dengan perasaan marah, gusar, cemburu dan benci. Pada tahap kemarahan ini, pasien menjadi sulit diatasi, baik oleh keluarga maupun oleh tenaga medis. Sebab kemarahan ini terjadi di segala penjuru dan diproyeksikan kepada lingkungannya yang seringkali dengan cara sembarangan tanpa alasan yang memadai pada saat-saat yang tidak terduga. Para dokter dianggap tidak becus, mereka dicap tidak tahu pemeriksaan dan usaha mana yang diperlukan, serta diet mana untuk diterapkan. Sering kali para perawat menjadi sasaran kemarahan pasien. Mereka dianggap menahan pasien terlalu lama di rumah sakit atau tidak menghormati berbagai keinginan pasien sesuai dengan kedudukan khususnya. Pendek kata, pada tahapan ini, apa pun yang dilihat pasien akan menimbulkan keluhan dan kemarahan.
Tahap Ketiga: Tawar-Menawar
Tahap ketiga ini tidak terlalu dikenal namun sebenarnya sangat menolong pasien. Mungkin pasien tidak terlalu menyadari apa yang dilakukannya, tetapi tahap ini sangat membantu pasien, meskipun hanya untuk sementara waktu. Bila pasien menyadari bahwa dia tidak mampu lagi menghadapi kenyataan yang sangat menyedihkan pada awal periode dan mengambil sikap marah terhadap orang lain serta memberontak kepada Tuhan pada tahap kedua, boleh jadi dia kemudian mencoba mengupayakan jalan damai dengan membuat suatu jenis perjanjian yang dirasa dapat menunda kejadian yang tidak diharapkan. Keinginan pasien ini hampir selalu merupakan upaya untuk memperpanjang hidup. Kemudian keinginan ini diperlembek dengan memohon berkurangnya hari-hari yang penuh penderitaan atau dirasa tidak enak. Tawar-menawar merupakan usaha untuk menunda kematian dan dalam tawar-menawar ini si pasien menjanjikan imbalan “hidup dengan lebih baik”, bahkan memberi batas waktu bagi dirinya sendiri. Tawar-menawar biasanya dilakukan secara rahasia di hadapan Tuhan, atau di sela-sela pembicaraan, atau di ruang imam, atau orang yang dipercaya dalam hidup rohaninya.
Tahap Keempat: Depresi
Bila pasien tidak mampu lagi menghindari penyakitnya, bila dia terpaksa menjalani pembedahan atau masuk rumah sakit untuk perawatan, bila dia mulai mempunyai symptom lain atau menjadi lemah dan kurus, maka dia tidak dapat tersenyum lagi. Muncullah pada saat itu suatu perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan ini mungkin berhubungan langsung dengan penyakitnya. Mungkin pula perasaan kehilangan ini berhubungan dengan akibat sakitnya. Tetapi yang paling terasa sebagai suatu kesedihan adalah kedukaan yang mendalam karena dia harus bersiap-siap untuk berpisah dengan dunia seluruhnya untuk selama-lamanya. Dia bersedih karena harus berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, yang menjadi pusat perjuangan hidupnya, dengan peran yang dimainkan di dalam kehidupan keluarga maupun di masyarakatnya. Pada tahap ini, kalau dia diberi kesempatan untuk mengungkapkan kesedihannya, akan lebih mudah bagi dia untuk menerima nasibnya dengan pasrah. Dia akan berterima kasih kepada orang-orang yang dengan setia mendampinginya tanpa memberikan nasehat untuk tidak bersedih. Pada tahapan ini, umumnya pasien lebih banyak berdiam diri.
Tahap Kelima: Menerima dan Pasrah
Kalau seorang pasien sudah mempunyai cukup waktu—misalnya tidak mengalami kematian mendadak—dan telah dibantu di dalam mengolah langkah-langkah sebelumnya, dia akan sampai kepada tahap ketika dia tidak lagi merasa depresi maupun marah terhadap ‘nasib’nya. Dia akan selalu dapat mengekspresikan perasaan yang sebelumnya, kecemburuannya terhadap mereka yang masih sehat, kemarahannya terhadap mereka yang tidak harus menghadapi akhir hidupnya dengan segera. Dia akan mulai belajar untuk menerima segala kehilangan orang-orang dan tempat yang berarti baginya yang segera datang. Pada tahap ini si pasien merasa capek dan lemah. Dia sering tertidur. Namun tidurnya tersebut berbeda dengan kebutuhan tidur selama waktu depresi dan duka. Tidur ini bukan dimaksudkan untuk menghindari, atau sebagai kesempatan untuk istirahat dari rasa sakit, rasa tidak enak atau rasa terganggu. Kegiatan tidur ini bukanlah suatu keputusasaan atau sikap menyerah yang tanpa harapan atau sikap “aku sudah tidak bisa melawan lagi”, meskipun kadang-kadang ungkapan macam itu terucap pula. Saat penerimaan ini tidak selalu berarti bahagia pula. Tahap ini hampir kosong dari perasaan. Seolah-olah rasa sakit telah tiada, perjuangan sudah selesai, dan tiba saatnya untuk “istirahat terakhir sebelum perjalanan panjang yang segera dimulai.”
Apa yang telah dikemukakan oleh Elisabeth Kubler-Ross tersebut—sebagaimana yang diakuinya sendiri—bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi pada setiap orang. Namun secara umum seseorang yang akan mengalami kematian sebagai akhir dari proses penderitaan akibat penyakit yang menjangkitinya akan mengalami tahapan-tahapan semacam itu. Hal ini memang lebih bersifat psikologis. Tetapi kondisi psikologis seseorang ketika dia mengetahui bahwa suatu penyakit telah menjangkitinya akan sangat mempengaruhi cepat atau lambatnya kesembuhan yang akan dia dapatkan. Sehingga hal ini juga akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses kematian yang akan dia alami.
Penjelasan di atas memberikan jawaban atas persoalan seputar tahapan-tahapan yang dialami seseorang menjelang kematian. Berkaitan dengan kematian itu sendiri, Tabrani Rab (1985 : 1-2) mengatakan terdapat empat penyebab terjadinya kematian pada diri manusia yaitu : berhentinya pernapasan, matinya jaringan otak, tidak berdenyutnya jantung, serta adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri.
Selanjutnya muncul persoalan lebih jauh yakni tentang kapan saatnya dinyatakan bahwa seseorang telah mengalami kematian. Meskipun kematian merupakan hal yang fenomenal di tengah kehidupan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk memutuskan bahwa seseorang telah mengalami kematian.
Pada masa lampau—menurut ahli sejarah berkebangsaan Perancis, Philippe Aries—orang yang akan meninggal dunia secara resmi pamit kepada orang-orang yang dicintainya. Tetapi di sisi lain saat kematian itu sering kali tidak pasti, sehingga bila seseorang sedang mengalami kondisi tertentu yang secara umum dianggap mati, muncul keraguan apakah dia benar-benar telah mengalami kematian. Maka sering kali peti jenazah dilengkapi dengan berbagai peralatan teknis seperti selang untuk bernapas atau bel, sehingga orang yang dengan tidak sengaja dikubur hidup-hidup dapat memberi tanda kepada orang lain (Shannon, 1995 : 56). Hal ini menunjukkan betapa pada masa itu sangat sulit untuk menentukan kondisi kematian bagi seseorang, sehingga menimbulkan keragu-raguan apakah seseorang itu telah benar-benar mati atau belum.
Lalu, di masa sekarang mudahkah untuk menentukan bahwa kematian telah dialami seseorang? Ternyata tidak. Kemajuan ilmu dan teknologi telah menghasilkan berbagai peralatan canggih dalam dunia kedokteran. Pengandaian yang sudah cukup lama dianut oleh banyak orang bahwa, kematian dapat ditetapkan ketika jantung berhenti berdenyut dan pernafasan sudah tidak ada lagi, pada masa sekarang ini sudah tidak bisa dijadikan tolok ukur. Dengan bantuan life support system, orang yang pada masa lampau dianggap telah mati, bisa diyakinkan masih hidup, atau setidaknya diperpanjang masa kehidupannya. Namun benarkah dia hidup atau hanya ilusif belaka yang ditimbulkan oleh life support system itu. Boleh jadi, orang yang bernapas di hadapan kita dengan bantuan life support system itu hanyalah mayat, yakni mayat yang bernapas. Tentu hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri, apa tindakan yang harus diambil terhadap mayat yang seperti itu? Maka terasa perlu adanya definisi yang bisa diterima secara universal sebagai tolok ukur untuk menentukan bilakah seseorang dinyatakan telah mati.
Robert M. Veatch dalam bukunya Death, Dying and the Biological Revolution, sebagaimana yang dikutip oleh Shannon (1995 :58-60), mengemukakan empat pendekatan untuk mendefinisikan kematian. Empat pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, berkaitan dengan jantung dan paru. Definisi ini mencerminkan pengertian tradisional tentang kehidupan dan kematian. Karena napas dan darah merupakan bahan yang menandakan kehidupan. Maka bila pernapasan dan aliran darah tidak terjadi lagi berarti kematian telah menjadi kenyataan. Tetapi hal ini akan menjadi kabur karena pemakaian respirator.
Kedua, berkenaan dengan pemisahan tubuh dan jiwa. Definisi ini dilatarbelakangi oleh perspektif filosofis dan religius. Manusia dipahami sebagai kesatuan tubuh dengan jiwa.atau kesatuan tubuh dan bentuk. Jiwa atau bentuk menjiwai tubuh atau materi. Dari kondisi itu maka tersusunlah makhluk unik yang disebut manusia. Kematian berlangsung bila dua unsur ini dipisahkan. Kematian diartikan sebagai terputusnya kesatuan tubuh dengan jiwa. Definisi ini pun menimbulkan persoalan, yakni kapan saat terputusnya kesatuan itu.
Ketiga, kematian otak. Definisi ketiga berasal dari kriteria untuk koma ireversibel yang ditetapkan oleh sebuah panitia ad hoc pada Harvard Medical School tahun 1968. Kriteria ini adalah tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi atas rangsangan, tidak ada gerak spontan atau pernapasan, tidak ada refleks; dan situasi ini diteguhkan oleh electroencephalogram (EEG). Menurut pandangan ini, otak adalah tempat terjadinya kematian, karena otak adalah organ yang mengatur semua sistem organ lain dan merupakan dasar bagi kehadiran sosial seseorang di dunia. Dengan kematian otak atau ketidaksanggupannya yang ireversibel untuk berfungsi, maka prasyarat biologis bagi keberadaan seseorang sudah tersingkir. Kematian seluruh otak (batang otak, cortex dan neocortex) berarti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integrasi biologisnya dan karena itu juga integrasi sosialnya.
Keempat, kematian neocortex. Bisa terjadi, khususnya dalam kasus koma ireversibel, bahwa hanya batang otak seseorang yang masih aktif. Karena batang otak ini menjalankan sistem saraf kita yang spontan, bisa saja orang itu masih spontan bernapas dan jantungnya masih berdenyut. Menurut definisi ketiga tadi orang itu belum mati. Definisi keempat mencari jalan keluar dari situasi ini dengan hanya menganggap neocortex sebagi dasar bagi definisi kematian. Neocortex dipilih karena tampaknya merupakan prasyarat biologis bagi kesadaran dan kesadaran diri, yang menandai manusia sebagai ciri khasnya.
Ilmu kedokteran modern telah mengembangkan cara yang lebih baik untuk menentukan saat kematian, di antaranya dengan merekam kegiatan otak dengan menggunakan alat yang disebut electroencephalogram (EEG). Bila gambar EEG kelihatan datar, berarti semua aktivitas otak dianggap telah berhenti, maka orang yang bersangkutan dinyatakan mati. Tetapi, seringkali orang dalam keadaan demikian masih bisa dihidupkan lagi, misalnya dalam kasus hypothermia atau overdosis obat. Reanimation dan resuscitation dewasa ini sering dilakukan. Dalam dunia kedokteran dikenal adanya kematian klinis, yakni keadaan yang di situ kegiatan pernafasan, jantung dan reaksi otak kelihatan berhenti, tetapi resuscitation tidak dikesampingkan. Waktu untuk resuscitation umumnya lima menit, dan di dalam kasus istimewa seperti hypothermia diberi waktu tiga puluh menit. Tetapi lewat dari waktu itu akan terjadi kerusakan otak secara total dan diikuti dengan kematian bilologis, yakni saat ketika sekurang-kurangnya otak sudah kehilangan fungsinya secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali. Kematian biologis bersifat definitif: kehilangan fungsi vital dan rusaknya semua organ dan jaringan yang tidak dapat direparasi lagi.
Dalam konteks Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) telah mengeluarkan pernyataan tentang mati. Dalam pernyataan tersebut dikemukakan antara lain bahwa dalam tubuh manusia ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam penentuan kematian seseorang yaitu jantung, paru-paru, dan otak—khususnya batang otak (Kabanga’, 2002 : 160).
Jantung merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan kematian seseorang. Bila jantung berhenti maka akan mengakibatkan berhentinya pernapasan. Bila jantung berhenti bekerja maka pengedaran darah ke seluruh tubuh tidak akan berjalan dan pada gilirannya seluruh organ manusia menjadi kaku. Kemudian paru-paru, oksigen dan anoksemia bagian inilah yang menerimanya. Maka bila paru-paru ini berhenti bekerja, tidak ada lagi yang menarik oksigen masuk ke dalam tubuh manusia, sementara oksigen merupakan kebutuhan vital manusia untuk dapat bernapas. Otak dan segala syarafnya—menurut Soemiatno (1986 : 467)—sangat peka terhadap kekurangan oksigen dan anoksemia. Di sinilah terdapat hubungan yang erat antara otak dan paru-paru. Bila otak/batang otak mati, maka segala syarafnya tidak dapat lagi bekerja secara otomatis, dan dengan demikian secara total tidak lagi dapat berfungsi.
Gunawan dalam bukunya Memahami Etika Kedokteran (1992 : 46), mengutip PP No. 18 Tahun 1981, Bab 1 Pasal 1g yang menyebutkan bahwa meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Sunatrio menegaskan bahwa seseorang dinyatakan mati bila fungsi spontan pernapasan (paru-paru) dan jantung telah berhenti secara pasti atau telah terbukti terjadi kematian batang otak (Sunatrio, 1987 : 132). Menurut Pontifical Academy of Sciences 1995, seseorang dinyatakan mati bila secara ireversibel (berhentinya fungsi spontan secara total) dan dia kehilangan semua kemampuan untuk memadukan dan mengkoordinasikan fungsi fisis dan mental tubuh (Sunatrio, 1987 : 140).
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa dalam perspektif ilmu kedokteran, kematian terjadi bilamana fungsi spontan pernapasan (paru-paru) dan jantung telah berhenti secara pasti (ireversibel) atau otak, termasuk di dalamnya batang otak, telah berhenti secara total. Dengan demikian, kematian berarti berhentinya bekerja secara total paru-paru dan jantung atau otak pada suatu makhluk.
Namun demikian, selama proses meninggal dunia tetap berlangsung dalam konteks teknologis, berbagai definisi ini akan tetap diperdebatkan. Banyaknya definisi tentang mati memunculkan kesan yang tak terelakkan, yakni seolah-olah mati dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Sementara di pihak lain, proses kematian sejak manusia pertama hingga kini tidak pernah berubah sampai berakhirnya sejarah manusia. Maka sudah sewajarnya definisi mati juga tidak berubah-ubah.