Kamis, Februari 26, 2009

KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT


Berbicara tentang kematian tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks filsafat, sebab kematian merupakan bahan kajian kefilsafatan yang tidak akan pernah usai dibicarakan. Sebelum kita menelusuri lebih jauh konsep kematian dalam perspektif filsafat, terlebih dahulu penulis akan paparkan bagaimana para filsuf Yunani memaknai kematian itu. Mengapa harus berangkat dari para filsuf Yunani? Karena di sanalah gudang-nya para filsuf sekaligus tempat lahirnya filsafat.
Pemahaman terhadap konsep kematian dilandasi oleh pandangan tentang manusia. Apabila kita memperhatikan berbagai sumber literatur yang ada, para filsuf Yunani yang hidup pada abad keenam sebelum masehi seperti Thales (624-548 S.M.), Anaximander (611-547 S.M.) dan Anaximenes (538-480 S.M.), masih tergolong sebagai filsuf alam. Mereka belum bersikap kritis terhadap pengenalan manusia. Baru kemudian setelah muncul Socrates (469-399 S.M.), pembicaraan mulai mengarah kepada diri manusia itu sendiri. Pembicaraan Socrates ini lebih difokuskan lagi oleh muridnya bernama Plato (427-347 S.M.). Dialah filsuf yang pertama kali memberi perhatian sepenuhnya kepada manusia.
Berangkat dari dikotomi dunia menjadi dunia ruhani (dunia idea, dunia immateri) dan dunia jasmani (dunia materi), Plato berbicara tentang manusia. Menurut Plato, sebelum seseorang lahir ke dunia dia berada dalam wujud sebagai jiwa murni dan hidup dalam kawasan yang lebih tinggi. Di kawasan ini dia dapat memandang suatu dunia ruhani. Di sinilah jiwa mengarungi pengetahuan tentang ide dalam cara hidup yang kontemplatif. Sejak dahulu jiwa telah berada di kawasan itu dan oleh karena itu, menurut Plato, jiwa itu baka.
Sebenarnya pandangan Plato yang demikian ini, merupakan warisan dari gurunya, Socrates. Bagi Socrates, jiwa manusia merupakan bagian dari Tuhan yang membimbing manusia dalam segala perbuatannya. Itulah yang dimaksud dengan daimonion (Hatta, 1986 : 84).
Kembali kepada Plato, selanjutnya dia menyatakan, semenjak kelahiran jiwa terperosok masuk ke dalam tubuh. Tubuh yang merupakan unsur materi ini, menjadi penghalang bagi jiwa. Jiwa yang selalu bergerak terhalang olehnya dan dalam hal ini jiwa bagaikan tahanan yang meringkuk dalam penjara tubuh. Pandangan jiwa menjadi terhalang. Pengamatan inderawi menghalangi pandangan jiwa dan mengakibatkannya semakin jauh dari kebenaran. Gerakan jiwa merupakan wujud dari keinginannya untuk lepas dari belenggu tubuh. Lalu, mengapa jiwa menginginkan keluar dari belenggu tubuh? Hal itu disebabkan jiwa memiliki asal-usul yang lebih luhur daripada kenyataan dunia ini. Karena itu dia tidak tergantung pada proses perubahan terus menerus tetapi dia dekat dengan dunia abadi yang terdiri atas ide-ide. Dunia konkret ini hanyalah sekedar bayangan dari dunia abadi itu. Bila tubuh musnah maka jiwa tetap hidup (van Peursen, 1988 : 42). Orientasi jiwa selalu ke dunia ruhani (dunia immateri), dia selalu memberontak terhadap tubuh dan pada akhirnya dia berhasil keluar dari belenggu materi, kembali ke asalnya yang baka. Keberhasilan jiwa lepas dari belanggu tubuh, itulah kematian.
Lalu, bagaimana Plato berbicara tentang kematian? Plato mengartikan kematian sebagai pemisahan bagian ruhaniah, yaitu jiwa, dari bagian fisik, yaitu badan. Setelah dipisahkan dari tubuh, jiwa dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan arwah orang lain yang telah meninggal, dan dibimbing oleh arwah pelindung melalui peralihan dari kehidupan fisik ke dunia selanjutnya. Dia menyebutkan bagaimana beberapa orang mengharapkan dijemput oleh sebuah perahu pada waktu kematian mereka, yang akan membawa mereka mengarungi lautan menuju “pantai seberang”. Lebih lanjut Plato menegaskan bahwa jiwa yang telah dipisahkan dari tubuh pada waktu kematian dapat berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan lebih jelas dari sebelumnya. Segera setelah kematian—kata Plato, jiwa menghadapi “pengadilan” tempat suatu “makhluk” Yang Agung memperlihatkan di hadapannya semua yang telah dilakukannya, apakah itu baik atau buruk, dan memaksa jiwa menghadapinya (Moody, 2001 : 145-147).
Dengan kata lain, tatkala jiwa sudah sampai kepada alam yang menjadi asal-usulnya, maka kepadanya akan diperlihatkan segala yang telah dia perbuat pada saat berada di dunia materi. Pada saat itu jiwa akan melihat segala yang terhalang baginya—disebabkan oleh terlingkupi jasad—di dunia. Jiwa akan sadar terhadap baik dan buruk perilaku yang telah diperbuatnya di dunia karena pengaruh jasad. Namun dalam hal ini, Plato tidak menjelaskan apakah jiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas semua yang terjadi di alam dunia, sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci agama-agama samawi.
Berbeda dengan Plato, sang murid, Aristoteles, dalam memahami manusia menempuh jalan sendiri. Dia tidak lagi membutuhkan dunia ide (dunia ruhani) untuk menjelaskan alam semesta termasuk manusia di dalamnya. Mengamati alam semesta dengan segala isinya, Aristoteles mengajukan pertanyaan, apakah segala sesuatu mengalami perubahan yang terus menerus atau tetap dengan kepasivannya? Aristoteles sendiri kemudian memberikan jawaban bahwa segala sesuatu mengalami proses kelahiran, perubahan dan kebinasaan yang berlangsung tak henti-hentinya, namun ada juga yang tinggal tetap yakni perubahan itu sendiri sebagai subjek (Kabanga’,2002 : 165). Jawaban Aristoteles ini mengingatkan kita pada pendahulunya, Heraklitos (…-480 S.M.) dan Parmenides (abad 6-5 S.M.), yang berdebat seputar persoalan yang sama dan jawaban ini menyiratkan ketidakberpihakan Aristoteles pada salah satu dari mereka melainkan menjadi solusi tersendiri terhadap persoalan tersebut.
Mengenai perubahan, Aristoteles membedakannya menjadi dua jenis yakni aksidensial dan substansial. Perubahan aksidental adalah perubahan bentuk seperti yang terjadi pada batu pualam kemudian dijadikan patung, sedangkan perubahan substansial adalah sebagaimana yang terjadi pada saat manusia mati (Kabanga’, 2002 : 166).
Menurut Aristoteles, dalam diri manusia terdapat psykhe (jiwa) dan nous (roh, rasio). Psykhe (jiwa) dan nous (roh, rasio) ini merupakan dua hal yang berbeda. Jiwa tidak lain merupakan prinsip hidup yang dimiliki oleh manusia. Tentang keberadaan jiwa, Aristoteles tidak mengaitkannya dengan Tuhan, melainkan dengan perubahan yang muncul dari materi pertama. Ini yang membedakan pandangannya dari Plato. Bila diteliti lebih lanjut, Aristoteles sudah menjadi penganut evolusionisme yang pertama—seperti yang ditulis oleh van deir Weij (2000 : 43-44), dari potensi materi pertama itu mula-mula muncul berbagai bentuk substansial dari benda-benda anorganis. Kemudian dalam wilayah tumbuhan, materi itu menjadi landasan bagi suatu bentuk atau prinsip tumbuhan, lalu dari potensialitasnya muncul bentuk atau prinsip hidup dari wilayah binatang, dan akhirnya psykhe atau prinsip hidup manusia.
Mengenai nous, Aristoteles membaginya manjadi dua, yaitu nous poietikos (ruh aktif) yang bersifat ilahi atau yang ilahi dalam diri manusia, dan nous pathetikos (ruh pasif) yang bisa binasa serta muncul dari potensi organisme manusia. Jika manusia mati, maka nous poietikos—yang Ilahi pada manusia—akan kembali bersama dengan Tuhan. Artinya, ketika manusia mati ada sesuatu yang tetap abadi yakni ruh aktif (Kabanga’, 2002 : 167). Namun demikian, kehadiran nous poietikos ini menyebabkan Aristoteles mengalami masalah dalam menerapkan prinsip hilemorfistis-nya untuk memahami manusia secara utuh yang hingga kematiannya belum bisa terpecahkan.
Selain mengemukakan pendapat para filsuf Yunani berkenaan dengan kematian, penulis akan menelusuri lebih lanjut pendapat dari filsuf-filsuf yang lain. Filsuf besar terakhir yang hidup pada zaman Yunani kuno adalah Plotinos (204-270 S.M.), namun dia dilahirkan di Mesir (Mudhofir, 2001 : 404). Bagaimana dia berbicara tentang kematian? Untuk menjelaskannya akan ditelusuri terlebih dahulu titik tolak pemikiran filsafatnya.
Plotinos bertolak dari pemikiran Plato tentang dunia idea, sehingga pemikirannya dikenal dengan Neo-Platonisme. Dia memberanikan diri untuk memikirkan hingga kepada hal Yang Tak Terhingga karena dari sanalah segala gejala itu bermula. Tatkala ditanya bagaimana dia sampai kepada Yang Tak Terhingga, Plotinos menjawab dengan mengenal To Hen (Yunani, artinya Yang Satu). To Hen bukanlah Ada atau sesuatu yang ada, melainkan Adiada, Yang Mutlak, Yang Tak Terhingga. Mungkin yang dimaksudkan oleh Plotinos dengan Yang Satu itu adalah Allah. Hal ini ditegaskan oleh Hatta (1986 : 166) dengan menyatakan bahwa Plotinos dalam melihat segala yang ada dalam kosmos bertolak dari pemikiran adanya Allah sebagai Yang Tak Terhingga, pangkal segala-galanya.
Dari To Hen mengalir secara emanasi apa yang dinamakan dengan nous (ruh, rasio). Nous adalah Ada yang berpikir. Pemikiran yang berada dalam berpikir itu dia timba dari To Hen sebagai sumbernya. Dengan demikian, fungsi nous—seperti yang dinyatakan van der Weij (2000 : 36), sama dengan apa yang diistilahkan Plato dengan kosmos noetos (dunia yang tak terlihat, dunia yang dapat dipikirkan), hanya saja nous lebih dipersatukan.
Dari nous ini kemudian memancar psykhe (jiwa), yakni Jiwa Dunia. Psykhe merupakan daya hidup bagi kehidupan organis dan kosmis. Psykhe yang menciptakan alam semesta, karena itu disebut Jiwa Dunia. Dari Jiwa Dunia ini kemudian secara emanasi mengalir jiwa-jiwa yang masuk ke dalam diri manusia sebagai daya hidup baginya. Jiwa manusia itu—menurut Plotinos, bersifat ambivalen dan bipolar. Di satu pihak, jiwa itu mengalami dorongan ruhani untuk mengarahkan pikiran dan cintanya pada Jiwa Dunia sebagai asal mulanya; dan di pihak lain terdapat suatu daya di dalam dirinya untuk berkiblat kepada dunia yang lebih rendah (Hatta, 1986 : 171-172).
Apabila jiwa itu tetap bersatu dengan Jiwa Dunia maka akan terbebas dari penderitaan dan nafsu manusiawi. Namun, apabila sebaliknya, dia tenggelam dalam tubuh atau takluk pada tubuh, akan sukar baginya untuk berpikir murni lagi dan akan diburu oleh asmara, nafsu serta penderitaan. Akibatnya, akan semakin jauhlah dia dari tempat asal-usulnya. Jiwa yang sudah jauh itu hanya akan dapat menyucikan diri dari segala kotoran duniawi bila suatu saat dia mendapatkan pencerahan (Kabanga’, 2002 : 168).
Dari pemikiran Plotinos yang telah diuraikan tersebut, kita bisa dapatkan pandangannya tentang kematian. Jiwa itu bersifat Ilahiah karena berasal dari Yang Satu melalui Jiwa Dunia. Sedangkan tubuh berasal dari materi yang bisa menyebabkan jiwa dikuasai oleh nafsu dan penderitaan. Pada saat kematian manusia, maka jiwa berpisah dari tubuh. Jiwa meninggalkan tubuh dan dengan tanpa wujud kembali ke Jiwa Dunia. Pada saat kematian, jiwa menyisihkan yang jasmani dan kembali kepada yang ideal dan ruhani. Mungkin akan muncul pertanyaan, bukankah hal itu juga bisa terjadi pada saat kontemplasi atau saat ekstase? Plotinos membenarkan hal itu, namun sifatnya sementara atau tidak konstan. Lewat pintu kematian, jiwa menuju kepada kemungkinan ultim-nya. Kemungkinan ultim ini terbuka bagi setiap orang, sehingga pada saatnya semua makhluk yang berjiwa akan kembali kepada Yang Satu, yang oleh Plotinos disebut dengan apokatastasis panton (Yunani, apokatastasis, artinya pemulihan; panton, artinya semua, seluruhnya). Kemungkinan ultim manusia itu adalah manunggal dengan Yang Satu, dan menurut Plotinos hal itu hanya akan bisa dicapai secara konstan setelah kematian manusia.
Selanjutnya akan penulis paparkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para filsuf lainnya seputar kematian. Rene Descartes (1596-1650), yang diberi predikat sebagai Bapak Filsafat Modern, berbicara tentang manusia sesuai dengan pandangannya yang dualistis—sekalipun dia sendiri mengakui tak mungkin manusia bisa dipandang seratus persen demikian karena hal itu akan memunculkan banyak persoalan.
Menurut pendapatnya, jiwa dan tubuh adalah yang ruhani dan jasmani pada manusia. Tubuh dapat dilihat dalam bagian-bagiannya, sedangkan jiwa tidak. Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang tidak bersifat bendawi dan tidak dapat mati. Pemikiran merupakan sifat asasi dari jiwa. Yang termasuk pemikiran ialah segala sesuatu yang terjadi di dalam diri manusia dengan sepengetahuannya, yaitu segala perbuatan pengenalan inderawi, khayalan, akal, kehendak. Kesadaran menjadi sifat hakiki dari pemikiran. Sementara itu, tubuh pun memiliki sifat asasinya, yakni keluasan. Segala perbuatannya disebabkan oleh sebab-sebab mekanisnya sendiri.
Di antara tubuh dan jiwa ada pertentangan yang tidak terjembatani. Kesatuan yang tampak—menurut Descartes—hanya bersifat lahiriah saja, karena sesungguhnya masing-masing mewujudkan hal yang berdiri sendiri-sendiri. Hakikat manusia ada pada jiwanya dan tubuh diperalat oleh jiwa. Kondisi tubuh yang diperalat oleh jiwa dalam pikiran Descartes ini, digambarkan oleh Ryle sebagai the ghost in the machine, hantu di dalam mesin (Hamersma, 1990 : 8).
Walaupun tidak ada titik pertemuan antara pemikiran dan keluasan, namun antara jiwa dan tubuh terjadi saling mempengaruhi. Jiwa berada di dalam sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil (glandula pinealis). Secara tidak langsung jiwa mempengaruhi tubuh dengan mengambil alih gerak-gerak tubuh dengan perantaraan nafas hidup, yaitu bagian darah yang paling banyak geraknya, yang mengaliri semua syaraf dan otot. Berbagai rangsangan dari indera dibawa oleh nafas hidup ke kelenjar kecil di bawah otak kecil tadi. Lalu gerak kelenjar ini ditangkap oleh jiwa yang menjawabnya dengan pengamatan yang sesuai dengan perangsang-perangsang itu. Sebaliknya jiwa juga dapat menyebabkan adanya gerak di kelenjar kecil, yang akibatnya ada perubahan dalam jalan nafas hidup yang menggerakkan syaraf dan otot bagian tubuh yang beraneka jenis itu. Lebih lanjut Descartes menyatakan bahwa pengetahuan sejati tidak dapat dicapai pada saat terjadinya saling mempengaruhi antara jiwa dan tubuh. Pengetahuan sejati hanya bisa dicapai oleh jiwa karena jiwalah yang menemukan kebenaran (K. Bertens, 2000 : 24).
Dengan demikian, walaupun Descartes tidak berbicara secara langsung tentang kematian, namun dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa dia memaklumi ada yang abadi dalam diri manusia, yaitu jiwa. Jiwa tak berkeluasan dan bebas dari ikatan tubuh. Ketika manusia mengalami kematian, unsur tubuh akan musnah tetapi jiwa akan tetap kekal dan hanya jiwa yang akan dapat mencapai kebenaran tertinggi. Kebenaran tertinggi yakni kebenaran yang bukan merupakan hasil dari saling mempengaruhi antara jiwa dengan tubuh, melainkan kebenaran yang hanya diketahui oleh jiwa karena ketidakterikatannya terhadap tubuh.
Friedrich Nietzsche (1844-1900) memahami bahwa datangnya kematian itu sebagai sesuatu yang diputuskannya sendiri. Kedatangan maut adalah atas kehendaknya. Fuad Hassan (1992 : 59) mengutip kata-kata Nietzsche tentang kematian :
“Kematian kupujikan, maut yang bebas dan datang padaku oleh karena aku yang menghendakinya. Bebas untuk mati dan bebas dalam maut. Mampu berkata ‘tidak’ dengan ikhlas bilamana saat untuk berkata ‘ya’ telah lewat.”
Sementara itu, Martin Heidegger (1889-1976) menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki keterbatasan dalam hal waktu. Terbukti dari kenyataan bahwa dia dilemparkan—tanpa pilihannya—ke dalam kematian dan di belakangnya selalu menyertai bayangan akan ketiadaan-nya. “Segera setelah kelahirannya,” kata Heidegger, “manusia sudah cukup tua untuk mengalami kematian.” Masa akhir kehidupannya persis dengan permulaan kehidupannya. Keberadaan manusia merupakan keberadaan menuju mati (being towards death). Bagi Heidegger, kematian seyogyanya tidak hanya diartikan sebagai berhentinya kehidupan, atau dalam proses menuju akhir. Proses kematian adalah cara berada yang diterima manusia segera setelah kelahirannya. Kematian bukan hanya urusan di masa mendatang, namun selalu hadir di setiap saat masa sekarang. Maka sikap yang paling baik terhadap kematian adalah secara sadar dan dalam keputusan pribadi mempersiapkan diri sebaik-baiknya bagi kematian. Dengan demikian manusia menemukan dirinya yang utuh dan nyata (Hadi, 1996 : 174).
Berbeda dengan Heidegger yang meyakini bahwa kehidupan bertolak dari kematian, Jean Paul Sartre (1905-1980) menegaskan, justru kematianlah yang bertolak dari kehidupan. Dia tidak sependapat dengan Heidegger yang mengatakan bahwa kehidupan merupakan persiapan bagi kematian. Kematian, menurut Sartre, adalah suatu kenyataan yang muncul secara tiba-tiba dan buta, sehingga manusia tidak akan mampu untuk memahami dan mengontrolnya. Dia datang tanpa waktu yang jelas, menerobos dengan kejam dan selalu menggagalkan manusia dalam usahanya mengokohkan kehidupan. Kematian menjadi akhir kehidupan manusia yang penuh dengan kesia-siaan. Disebabkan kematian, semua kemungkinan yang telah kita realisasikan dalam kehidupan dimusnahkan. Kehidupan berubah menjadi kepingan-kepingan tiada makna. Hidup menjadi sia-sia belaka di dalam kematian. Kematian menjadi sesuatu yang absurd, karena kematian membuat kehidupan kita juga menjadi absurd.
Tidak ada satu pun yang bisa dimutlakkan dalam memahami kehidupan dan kematian. Bila kehidupan yang dimutlakkan, maka tidak akan ada lagi pemahaman akan hal yang transenden, yang ada hanyalah eksistensi yang diperpanjang hingga tanpa batas. Namun sebaliknya, bila kematian yang dimutlakkan, maka yang transenden akan terselubung, yang ada hanyalah kebinasaan. Maka jalan satu-satunya untuk memahaminya—menurut Karl Jaspers (1883-1969), (Hadi, 1996 : 177)—adalah dengan melibatkan suatu proses transendensi; kematian tidaklah seperti apa yang terlihat di dalam benda yang hidup dan mati atau di dalam jenazah yang tidak hidup lagi; hidup bukanlah sesuatu yang kelihatan sebagai kehidupan tanpa kematian atau kematian yang kelihatan sebagai tanpa kehidupan. Di dalam yang transenden kematian merupakan pemenuhan dari adanya sebagai hidup yang telah menjadi satu dengan ada. Kematian, sekalipun menjadi situasi batas yang paling dramatis namun akan memberikan keberanian dan intergritas sehingga pada akhirnya akan menyempurnakan eksistensi manusia.
Dari pandangan Karl Jaspers tersebut kita memahami bahwa kematian sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tanpa fungsi. Kematian membawa manusia kepada kesempurnaan eksistensinya. Selain sebagai penyempurna eksistensi manusia, kematian juga memiliki berbagai fungsi yang lain. Emmanuel Levinas (1906-….) mengemukakan setidaknya terdapat lima fungsi kematian, yaitu :
1. Kematian mendorong manusia untuk menciptakan struktur kehidupan, untuk menciptakan berbagai kemungkinan yang lebih manusiawi. Dengan demikian, kematian mengandung nilai edukatif yakni mendorong manusia untuk bertindak, mengatasi dan membangun segala-galanya. Manusia ingin menunda kematian, maka dia perlu untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan kematian dapat dielakkan dalam arti penangguhan kejadiaannya. Manusia dapat menggunakan sisa-sisa hidupnya dengan melakukan berbagai tindakan yang baik.
2. Kematian akan merealisir, mengkomparasikan, mengaitkan dengan barang-barang yang ada di dunia ini. Jika manusia mati, tidak satu pun barang-barang yang akan dibawa kecuali apabila itu disertakan oleh keluarganya ke liang kuburnya. Ketika manusia mati, maka segala yang dimiliki tidak akan berguna lagi dan ditinggalkan sebagai barang jarahan.
3. Kematian akan merealisir peranan manusia di dalam masyarakat. Kematian mengajarkan adanya kesamaan yang mutlak untuk setiap orang. Orang yang mati di tempat tidur yang empuk dengan orang yang mati merana adalah sama. Kedua-duanya sama-sama mati dengan terpisahnya jiwa sebagai substansi dengan tubuh.
4. Kematian menelanjangi manusia dari egoisme kekuasaan dan kejayaannya. Maka pada dasarnya manusia adalah sama dan hanya kematianlah yang dapat menunjukkan bahwa manusia mutlak sama. Adanya perbedaan kaya-miskin akan ditiadakan oleh kematian.
5. Kematian memberi makna bahwa manusia itu pada akhirnya memberi arti total pada sejarah hidupnya. Bila manusia sudah mati maka dia tidak dapat lagi mengubah orientasi hidupnya (Sudarminto, 1990 : 28-33).
Berbagai uraian seputar kematian dalam persperktif filsafat tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kematian bukan merupakan akhir eksistensi manusia. Kematian bukanlah peristiwa pasif yang terjadi pada manusia yang setelah itu tak memiliki makna apa pun lagi. Kematian hanyalah batas akhir dari garis waktu yang terbentang dalam sejarah hidupnya di dunia, setelah itu eksistensi manusia akan memasuki dimensi lainnya, yakni hidup dalam kehidupan yang abadi dalam alam kelanggengan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar