Rabu, September 16, 2009

TAUBAT CARA KEMBALI KEPADA ALLAH


‘Taubat’ pasti bukan kata yang asing bagi pendengaran kita. Kata ini sudah lazim disebut-sebut dalam setiap pengajian. Apabila kita mendengat kata ‘taubat’ pastilah yang terbayang di benak kita keadaan seseorang yang lebih baik, lebih taat, lebih santun, dan lebih banyak beribadah daripada masa-masa sebelumnya. Namun di sisi lain kata ini pun sering dirangkai dengan kata lain untuk menunjukkan niat dan perilaku seseorang yang tidak serius untuk menjalani hidup secara lebih baik, yakni ‘taubat sambal’. Tentu saja kata yang terakhir ini tidak pernah kita temukan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan taubat?
Untuk memperjelas maknanya, sebaiknya kita coba menelusuri arti kata ‘taubat’ itu sendiri. Taubat berasal dari kata taaba-yatuubu-taubatan, yang berarti kembali. Taib adalah sebutan bagi seseorang yang kembali, sedangkan tawwab memperlihatkan perilaku atau tindakan seseorang yang banyak serta terus-menerus kembali.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang banyak bertaubat dan menyukai orang-orang yang memelihara kesucian diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Sering kali kita menemukan ayat ini digunakan untuk menunjukkan bahwa Allah menyukai orang-orang yang bertaubat, tentu saja hal itu tidak salah. Namun tentu Allah pun jauh lebih menyukai orang-orang yang banyak dan sering bartaubat kepadanya. Tidak tepat rasanya bila kita memaknai taubat sebagai proses yang hanya berlangsung satu kali saja. Itulah sebabnya ayat tersebut menggunakan kata at-tawwaabiina yang tidak sekedar menunjukkan orang-orang bertaubat dalam jumlah yang banyak, namun yang paling penting adalah seseorang yang bertaubat dan dia melaksanakan taubatnya itu secara berketerusan. Seseorang yang kembali kepada Allah dan terus-menerus kembali kepada-Nya, dialah at-tawwab. Perlu kita pahami bahwa kata at-tawwab ini tidak hanya digunakan untuk menunjuk manusia yang sering dan banyak bertaubat, namun juga dinisbatkan kepada Tuhan. Mari kita simak ayat berikut ini.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah, Dialah At-Tawwab dan Ar-Rahim.” (QS. At-Taubah [9]: 118)
Ayat ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa Allah adalah Dzat yang paling banyak bertaubat dan paling banyak menyayangi. Tentu akan banyak di antara kita yang merasa aneh dengan penerjemahan yang demikian itu, karena taubat identik dengan permohonan ampun, dan tak mungkin Tuhan adalah Dzat yang paling banyak memohon ampun. Adalah benar bahwa Tuhan bukanlah Dzat yang memohon ampun, karena taubat memang tidak berarti memohon ampun. Pemahaman seperti itu terjadi pasti akibat kata ‘taubat’ telah kehilangan makna kembalinya. Pikiran kita dipenuhi oleh gambaran orang yang sedang minta ampun ketika kata ‘taubat’ diucapkan. Makna kata ‘taubat’ itu sendiri telah bergeser dari makna yang sesungguhnya.
Untuk mendalami bagaimana taubat menjadi cara kembali kita kepada Tuhan, mari kita simak sekelumit uraian yang ada dalam kitab Manajilus Sairin. Di sana disebutkan bahwa ketika manusia menempuh perjalanan menuju Allah, maka dia harus melewati sejumlah maqam atau stasiun. Di antara maqam-maqam itu ada yang disebut yaqzhah dan taubat. Keduanya adalah maqam yang berbeda pada tingkatan pertama dan kedua.
Apa yang dimaksud dengan yaqzhah? Yaqzhah adalah kesadaran. Di maqam pertama inilah Allah dengan berbagai cara yang dimiliki-Nya menghadirkan kesadaran dalam diri manusia. Kesadaran terhadap apa? Kesadaran terhadap berbagai macam keburukan yang pernah kita lakukan; kesadaran akan sikap kita selama ini yang selalu menyia-nyiakan waktu; kesadaran terhadap kekeliruan cara pandang yang selama ini kita jadikan sebagai pedoman hidup; dan sebagainya. Singkat kata, di maqam pertama inilah kesadaran dalam diri mulai muncul.
Allah adalah Dzat yang tak pernah kehabisan cara untuk membuat hamba-Nya sadar. Berbagai macam situasi dan kondisi bisa diciptakan-Nya untuk tujuan itu. Kesadaran kita miliki bisa lewat pengajian yang kita dengarkan, peristiwa yang kita saksikan atau kita alami sendiri, program-program pencerahan yang kita ikuti, atau boleh jadi dari nasehat orang lain terhadap kita. Terkadang cara-cara yang membuat kita sadar tak pernah terlintas dalam pikiran kita. Di situlah letak kekuasaan Allah, Tuhan Sang Pemiliki berbagai macam siasat, yang dengannya kita bisa mengalami pencerahan. Di antara sekian banyak hal yang membuat manusia sadar, musibah adalah faktor paling sering yang memunculkan kesadaran dalam kehidupan manusia.
Allah berfirman: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun [64]: 11)
Musibah yang menimpa kita menjadi salah satu cara yang dipergunakan Tuhan agar kesadaran menghampiri kita. Menurut Tuhan, tidak ada satu pun musibah yang menimpa manusia kecuali di dalamnya ada izin dari-Nya. Artinya, Dia sudah mengetahui apa bentuk musibah, kepada siapa musibah itu ditimpakan, dan akibat yang dihasilkan oleh musibah tersebut.
Perhatikanlah orang yang sedang diuji Allah dengan suatu musibah, biasanya dia akan menyebut nama Tuhan sekalipun sebelum musibah itu terjadi dia tidak pernah melakukannya. Ketika kebakaran menghanguskan seluruh harta benda yang dimilikinya, dia datang kepada Allah untuk mengadukan persoalannya. Ketika gempa bumi mengguncang dan tsunami melanda, yang diteriakkannya adalah nama Tuhan. Ketika dia mengetahui akan berhadapan dengan suatu bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya, dia bisikkan permohonan pertolongan kepada Allah. Padahal sebelum peristiwa-peristiwa itu dia hadapi, dia jarang sekali mengingat Tuhan. Begitulah Tuhan berbuat, menjadikan musibah sebagai jalan bagi manusia untuk menyadari kekhilafannya. Nah, ketika kesadaran itu muncul di dalam diri kita dan kita merasakan betapa jauhnya jarak yang kita buat dengan Tuhan akibat perilaku maksiat yang kita jalani, lalu besar keinginan untuk kembali kepada-Nya, itulah yang dimaksud dengan yaqzhah. Apabila kita berada dalam kondisi ini, maka para sufi menyebutkan bahwa kita sedang berada pada maqam atau stasiun pertama, yakni maqam yaqzhah.
Kesadaran dan keinginan untuk kembali kepada Tuhan sama artinya dengan kembali kepada kefitrahan, karena secara fitrah kita memang bergantung kepada Tuhan. Tak satu pun di antara makhluk ini yang dapat lepas dari kebergantungan kepada Allah. Bahkan, tatkala kita sedang melupakan-Nya, Dia tetap memelihara kita dan memberikan segala yang menjadi hak kita sebagai makhluk. Di dalam ajaran Islam, kembali kepada Allah merupakan fitrah manusia. Lalu, di mana Allah menyembunyikan kehendak fitrah kita itu dan mengapa ia jarang sekali muncul? Sebelum kita menemukan jawabannya, simaklah ayat berikut ini.
Allah berfirman: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah misykat yang di dalamnya ada misbah…” (QS. An-Nur [24]: 35)
Dalam ayat tersebut Tuhan menjelaskan bahwa cahaya yang ada di langit dan di bumi adalah pemberian-Nya, dari Allah cahaya itu berasal. Perumpaan cahaya tersebut adalah laksana sebuah misykat yang di dalamnya ada misbah. Apa misykat dan apa pula misbah? Dalam bahasa Arab, misykat adalah sebuah tempat dengan bentuk seperti sebuah mangkuk terbalik. Agar Anda lebih mudah mengetahuinya, bayangkanlah sebuah kubah masjid. Seperti itulah bentuk misykat. Sedangkan misbah adalah lampu. Tentunya kita sering menemukan sebuah tempat lampu yang bentuknya seperti kubah masjid. Biasanya lampu-lampu seperti itu sering dipakai di pagar-pagar masjid atau sebagai lampu sekiligus hiasan di dalam masjid. Gambaran seperti itulah yang dimaksud pada kalimat kamisykaatin fiihaa misbaah.
Al-Qur’an memberikan gambaran tentang hati kita laksana sebuah misykat yang di dalamnya ada misbah. Misbah inilah sesungguhnya fitrah manusia, yang padanya tidak ada sesuatu pun yang menyimpang dari petunjuk Allah SWT. Persoalannya adalah cahaya misbah ini sering kali tidak muncul dan mendominasi kehidupan kita. Cahaya itu sepertinya tertutup oleh penutup yang amat tebal sehingga pancarannya tidak bisa keluar. Cahaya fitrah tidak menyinari setiap sudut relung jiwa kita sehingga kita hidup laksana di dalam ruang yang sangat gelap hingga kita menabrak apa pun yang kita hadapi, berjalan tanpa arah dan terombang-ambing tanpa tujuan yang jelas. Keadaan seperti itu kita alami karena cahaya fitrah yang disembunyikan Allah di kedalaman hati kita tertutupi oleh dosa-dosa yang kita lakukan dan diredupkan oleh kuatnya perhatian kita terhadap dunia. Jadi, banyaknya dosa yang kita lakukan dan besarnya pengharapan serta perhatian kita terhadap persoalan duniawi adalah hal-hal yang memperlemah serta meredupkan pancaran cahaya fitrah yang kita miliki. Sebaliknya, kalau kita menghindarkan diri dari segala macam bentuk maksiat, dan membebaskan pikiran dari ketertarikan yang berlebihan terhadap persoalan duniawi, serta membersihkan hati dengan penuh kesungguhan, maka misykat itu akan menjadi sangat bening sehingga cahaya misbah yang ada di dalamnya akan memancar dengan pancaran yang sangat cemerlang. Takkan ada lagi kegelapan yang kita temukan dan arah yang kita tuju pun akan terlihat sangat jelas.
Allah menggambarkan keadaan itu dalam firman-Nya: “Kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)…” (QS. An-Nur [24]: 35)
Sebaiknya beberapa saat kita kembali mengingat tentang diri kita pada saat-saat sebelum Tuhan mengizinkan kita untuk tinggal di dunia ini. Di dalam diri kita sesungguhnya Allah telah mempersiapkan suatu ‘alat’ yang membawa kita pada tahap kesucian dan menimbulkan getar-getar kerinduan untuk kembali kepada-Nya. ‘Alat’ itu adalah hati yang di dalamnya terdapat cahaya fitrah. Ketika kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang amat sulit, biasanya fitrah ini akan bersuara. Ketika kita sedang berada dalam kondisi untuk memutuskan antara yang salah dan benar, biasanya cahaya fitrah ini akan bersinar dan memperlihatkan pada kita mana yang benar. Namun, sejak kita hadir di dunia ini, tempat baru yang sebelumnya tak pernah kita ketahui, banyak hal yang membuat bisikan fitrah menjadi kurang terdengar dan membuat cahayanya menjadi redup. Kita kagum terhadap tampilan dunia dengan segala macam pesona yang diperlihatkannya. Karena sebelumnya hal-hal seperti yang ada di dunia ini tidak pernah kita temui, maka banyak di antara kita yang mencurahkan lahir-batinnya untuk meraih dunia. Fitrah dengan segala macam kebenaran yang dibisikkannya menjadi terlupakan. Reduplah sinarnya dan melemahlah suaranya. Akhirnya kita terperangkap oleh jejaring kehidupan dunia. Kita berjalan tanpa penerang dan tanpa petunjuk. Dosa demi dosa telah menyebabkan tempelan noda pada hati hingga seluruh bagiannya tertutupi oleh noda-noda yang sangat tebal. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, agar kita tersadar dari kekhilafan yang kita lakukan, maka Allah memberikan teguran pada kita dengan berbagai macam bentuk, dan kebanyakan darinya adalah musibah. Tujuannya adalah agar manusia sadar dan kembali kepada Allah SWT.
Musibah mengantarkan kita pada maqam yaqzhah, kesadaran. Oleh karena itu, apabila kita tidak pernah terkena musibah janganlah terlalu merasa bahagia. Sebab keadaan yang tanpa musibah itu boleh jadi menyiratkan bahwa Tuhan membiarkan kita dan tidak memperhatikan kita. Justru musibah adalah salah satu cara Allah dalam memberikan perhatian terhadap hamba-Nya. Ternyata, banyak di antara manusia yang melangkah ke maqam yaqzhan tatkala musibah menghampiri mereka. Di stasiun ini kita membersihkan kembali noda-noda yang telah menempeli hati. Misykat yang ada di dalamnya disucikan hingga mengkilap laksana bintang-bintang yang gemerlapan. Bila misykat telah bersih seperti sediakala, maka misbah akan memancarkan cahaya yang terang-benderang.
Allah menggambarkan dengan indah proses manusia yang melangkah ke maqam yaqzhah di dalam Al-Qur’an. Mari kita simak ayat berikut ini: “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan Kami dari bahaya ini, pastilah Kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur’. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar…” (QS. Yunus [10]: 22-23)
Allah menggambarkan proses manusia yang menapaki maqam yaqhah dengan seseorang yang menaiki perahu. Pada awalnya Tuhan memberikan kepadanya kenikmatan dalam pelayarannya dengan meniupkan angin yang baik, tidak terlalu kencang dan tidak pula terlalu pelan. Dengan tiupan angin yang seperti itu dia merasa bergembira. Dia melupakan segalanya karena menikmati pelayarannya, termasuk Tuhan pun dilupakannya. Namun tiba-tiba angin yang tadinya sangat bersahabat berubah menjadi sangat membahayakan. Angin bertiup kencang disertai gelombang laut yang meninggi. Mulailah dia ketakutan dan sangat berharap agar dia bisa selamat dari keadaan itu. Saat-saat seperti itu dia sadar tak ada apa pun yang bisa menyelamatkannya kecuali Tuhan. Maka dia datang menghadap Tuhan dengan mengikhlaskan ketaatan pada-Nya. Hingga Tuhan kemudian menyelamatkannya hingga ke daratan.
Proses kesadarannya untuk kembali kepada Allah dan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya adalah gambaran manusia yang menapaki yaqzhah. Seharusnya, dari tahap yaqzhah ini terus bergerak ke maqam berikutnya. Namun tidak semua manusia bisa melakukan hal itu. Kebanyakan dari kita justru tidak meneruskan perjalanan ke stasiun berikutnya. Termasuk yang digambarkan Allah dalam ayat tersebut. Setelah Allah menyelamatkannya hingga ke daratan, dia kembali melakukan kezaliman yang sangat bertentangan dengan fitrah manusia. Artinya, dia kembali meninggalkan kefitrahannya.
Pada ayat lain Allah menggambarkan: Katakanlah: "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya." (QS. Al-An’am [6]: 64)
Di ayat ini Allah menggambarkan orang yang telah menapaki maqam yaqzhah karena bencana dan kesusahan yang dialaminya, namun gagal meneruskan ke maqam berikutnya karena mempersekutukan Tuhan. Padahal musyrik bertentangan dengan fitrah dan melakukannya berarti menjauh dari fitrah.
Apabila kita berhasil di maqam yaqzhah atau di stasiun pertama dan terhindar dari segala macam hal yang menyebabkan kita jauh dari kefitrahan, selanjutnya adalah menapaki stasiun kedua, yakni maqam taubat. Di sini kita akan membicarakan kata lain yang sering juga disamakan maknanya dengan taubat, yaitu istighfar. Dari segi arti kata, sesungguhnya taubat dan istighfar tidaklah sama. Kalau taubat berarti kembali, lalu apa arti istighfar? Istighfar asal katanya adalah ghafara, artinya menutup. Alat yang digunakan untuk melindungi kepala agar tidak terbentur atau agar terhindar dari hal-hal yang membahayakannya disebut mughfar. Sedangkan istaghfara bermakna usaha kita dalam memohon agar ditutup dari segala hal yang menyakitkan. Bagaimana Al-Qur’an menjelaskan kepada kita perihal pelaksanaan istighfar dan taubat? Mari kita simak sejumlah firman Allah berikut ini: “…Hendaklah kamu beristighfar kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat”. (QS. An-Naml [27]: 46)
“…Dan beristighfarlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 199)
Dua ayat di atas memperlihatkan perintah Allah untuk beristighfar tanpa diiringi perintah bertaubat. Apabila kita beristighfar kepada Allah, maka kita bisa mendapatkan ampunan dan kasih sayang dari-Nya. Namun, ada juga firman Allah yang berisi perintah untuk beristighfar disertai dengan perintah bertaubat. Coba kita perhatikan ayat-ayat berikut.
“Dan hendaklah kamu beristighfar kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hud [11]: 3)
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, beristighfarlah kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (QS. Hud [11]: 52)
Kedua ayat ini menunjukkan perintah untuk beristighfar yang kemudian dilanjutkan dengan perintah bertaubat. Artinya, kita diperintahkan untuk beristighfar dan bertaubat kepada Allah SWT. Mari kita merenung sejenak, untuk apa sebenarnya kita beristighfar? Kita sering mendengar para ustadz mengatakan tujuan beristighfar adalah untuk memohon maghfirah dari Allah. Ya, demikianlah adanya. Istighfar memang untuk memohon maghfirah. Berdasarkan pada akar katanya, maghfirah berarti penutup. Pasti kita kembali akan mengajukan pertanyaan, apa yang mesti ditutup?
Untuk memahaminya perlu kita ketahui bahwa setiap dosa pasti akan menimbulkan akibat-akibatnya. Apa pun pekerjaan yang kita lakukan, kalau mengandung dosa maka pasti akan tiba saatnya kita menanggung akibat atau efek dari dosa tersebut. Dosa-dosa itu ada yang akibatnya mempercepat kecelakaan, ada pula yang menyempitkan rezki, dan sebagainya. Bertengkar dan memutus silaturrahim adalah jenis dosa yang akibatnya mempercepat kecelakaan. Memfitnah, mengadu domba, mendurhakai orangtua dan menyakiti orang-orang miskin adalah jenis-jenis dosa yang bisa mempersempit pintu rezki. Maka ketika kita beristighfar, sesungguhnya kita sedang memohon kepada Allah agar menghindarkan kita dari segala macam efek atau akibat dosa yang telah kita lakukan. Bisa juga dikatakan, dengan istighfar kita memohon kepada Tuhan agar menutup diri kita ini serapat-rapatnya dari segala macam akibat buruk dosa-dosa yang kita lakukan. Sekali lagi, akibat buruk pasti akan selalu mengikuti setiap dosa yang kita lakukan. Itulah mengapa Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah pernah berakata, “Ketika engkau beristighfar kepada Allah, sesungguhnya engkau sedang memohon agar Dia melindungimu dari segala keburukan sebagai akibat dari dosa yang kau lakukan sebelumnya.”
Kita sudah tahu apa itu istighfar dan untuk apa kita beristighfar. Sekarang kita akan mencari jawab, apa itu taubat dan untuk apa bertaubat? Telah dijelaskan sebelumnya bahwa taubat berarti kembali. Untuk menunjuk kata kembali juga dalam bahasa Arab sering digunakan kata ruju’. Tentu tidak sulit bagi kita untuk memahami kata ruju’. Kita sering mendengar seseorang yang telah bercerai lalu ruju’, artinya kembali bersatu lagi. Namun yang dimaksud dengan taubat adalah kembali kepada perbuatan baik setelah sekian lama bergelimang dalam perbuatan buruk. Sebagian ulama berkata bahwa taubat adalah al-ruju’ min al-mukhalafah ila al-muwafaqah, yakni kembali dari menentang Tuhan kepada penyesuaian diri dengan perintah Tuhan.
Jadi, bila istighfar memohon kepada Allah agar terhindar dari akibat buruk dosa yang kita lakukan, maka taubat berarti meninggalkan perbuatan buruk itu sendiri. Namun perlu dipahami bahwa bertaubat tidak menjamin kita selalu selamat dari semua bentuk perbuatan buruk. Adakalanya seseorang bertaubat dari perbuatan zina, dia tinggalkan segala hal yang mengarahkannya kepada perbuatan zina, namun dia terjerumus kepada perbuatan korupsi. Dia tidak berzina, namun korupsi. Maka Allah mencintai at-tawwabin, yakni orang-orang yang banyak bertaubat. Siapa mereka? Yaitu orang yang selalu kembali kepada Allah; orang yang selalu menyesuaikan diri dengan kehendak Allah dan situasi dan kondisi apa pun. Apabila ada orang yang bertaubat dari satu bentuk perbuatan buruk, namun beralih ke perbuatan buruk lainnya, tentulah dia bukan termasuk at-tawwabin yang dicintai Tuhan. Itu pula sebabnya dalam dzikir-dzikir yang kita gumamkan, kita menyebut Allah sebagai At-Tawwab, karena segala yang ada pada-Nya selalu membawa kebaikan, tak satu pun yang batil.
Dengan demikian, apabila kita menyatakan diri bertaubat, artinya kita harus semaksimal mungkin berusaha menyesuaikan diri dengan segala yang dikehendaki Allah. Alangkah bahagianya bila kita tidak pernah memaksakan kehendak kita kepada Tuhan, namun justru selalu memahami apa yang dikehendaki Tuhan kepada kita. Lalu, kalau keadaan kita sudah selaras dengan kehendak Allah, bukankah kita berada pada keadaan fitrah, yakni kembali bersama-Nya. Itulah taubat. Taubat menjadi jalan bagi kita untuk kembali kepada Allah, yang dari-Nya kita berasal, dalam pemeliharaan-Nya kita hidup, dan kelak kepada-Nya kita semua akan kembali.







TINGGALKAN HAWA NAFSU JUMPAI TUHAN


Abu Imran al-Wasithi adalah seorang sufi yang hidup pada abad ke-12 H. Ia pernah menceritakan pengalaman sufistiknya, dan berikut akan saya ceritakan kepada Anda. Katanya: “Suatu hari, aku dan istriku yang sedang hamil tua melakukan perjalanan laut dengan menggunakan sebuah perahu. Di tengah perjalanan tiba-tiba perahu itu bocor. Dalam keadaan yang mendebarkan seperti itu, istriku mengeluhkan keadaan perutnya dan katanya ia akan segera melahirkan. Tak berapa lama ucapannya itu terbukti. Anak kami lahir di tengah lautan dan di atas sebuah perahu bocor. Aku menyaksikan keadaan istriku yang melemah. Kemudian kuangkat kepalaku ke arah langit sambil memohon kepada Allah agar memberikan air minum yang segar untuk istriku. Beberapa saat kemudian, kusaksikan seorang lelaki datang ke arahku dengan membawa cawan air berwarna kemerah-merahan, namun berkilau laksana disapuh emas. Yang lebih mengherankanku ia duduk di atas awan yang menerbangkannya. ‘Ambillah cawan ini dan minumkan pada istrimu air yang ada di dalamnya,’ katanya kepadaku. Setelah kuterima lalu segera kuberikan pada istriku dan ia pun meminum air yang ada di dalamnya. Kuberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki itu, ‘Bagaimana engkau bisa melakukan hal yang demikian ini, berada di atas hawa[1] dan menjadikannya sebagai kendaraanmu?’ Lelaki itu menjawab: ‘Aku telah meninggalkan hawa nafsuku, sehingga Allah memberikan izin padaku untuk duduk di atas hawa.’”[2]
Apabila kita membaca kisah-kisah sufistik hendaklah tidak memahaminya seperti apa adanya, karena sering kali cara pemahaman yang seperti itu justru menyimpang dari makna kisah yang sebenarnya. Yang perlu kita lakukan setelah membaca kisah di atas, dan tentu saja kisah-kisah sufistik lainnya, adalah merenungkannya secara mendalam hingga diperoleh pemahaman yang benar tentang kisah tersebut.
Ketahuilah, setiap orang yang akan menuju perjumpaan dengan Tuhan tidak ada penghalang yang lebih berat yang akan ditemuinya, selain apa yang ada di dalam dirinya. Penghalang yang paling besar dan paling berat itu adalah hawa nafsu. Apa sebenarnya yang sering kita sebut sebagai hawa nafsu itu? Jenis makhluk apa dia sehingga menjadi musuh paling berat bagi setiap orang yang hendak berjumpa dengan Tuhan? Tidak sulit untuk mengatakan apa hawa nafsu itu. Hawa nafsu adalah keinginan-keinginan diri. Dewasa ini ada kata lain yang biasa dipakai untuk menunjukkan keberadaan hawa nafsu itu, yakni egoisme. Egoisme adalah kecenderungan manusia untuk menggapai atau meraih segala macam bentuk keinginan dirinya. Ada banyak wujud keinginan diri, di antaranya, sekedar untuk menyebutkan contoh, adalah kesenangan jasmani, keinginan untuk makan dan minum, hasrat seksual, hidup dengan pola bersenang-senang dan berfoya-foya, keinginan untuk diperhatikan, dihargai, diistimewakan, keinginan untuk dianggap sebagai orang penting yang paling berderajat, dan sebagainya. Singkat kata, segala macam yang muncul dari dalam diri dengan tujuan untuk memuaskan keinginan diri sendiri termasuk dalam kategori hawa nafsu.
Lalu mengapa hal-hal yang seperti itu menjadi penghalang manusia ketika ia ingin berjumpa dengan Tuhan? Jawabannya adalah karena Tuhan tidak bisa didekati manakala hawa nafsu masih berdiri kokoh laksanan gunung yang tinggi di dalam diri. Tuhan tidak mungkin di dekati oleh orang-orang yang hidupnya masih dikendalikan oleh hawa nafsu dan hawa nafsu itu sendiri tidak mungkin rela membiarkan diri seseorang patuh kepada selainnya. Maka, menundukkan dan merubuhkan hawa nafsu yang berdiri kokoh tersebut adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi seseorang apabila ia ingin berjumpa dengan Tuhan.
Allah SWT berfirman: “Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 100)
Ketika para sufi membaca ayat ini, mereka kemudian mengatakan bahwa yang dimaksud ‘rumah’ pada ayat di atas adalah hawa nafsu. Menurut tafsir para sufi, orang yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya hanya akan dapat melakukannya apabila ia telah keluar dari kungkungan hawa nafsunya. Tidak mungkin seseorang bisa melakukan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya selama ia masih berada di bawah kendali hawa nafsunya. Orang-orang yang berhijrah sama-sama keluar dari rumah mereka, tapi ada yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya dan ada pula yang hijrah karena sesuatu yang lain. Itulah sebabnya mengapa kaum sufi memaknai ‘rumah’ pada firman Allah tersebut sebagai hawa nafsu, bukan rumah dalam arti sebenarnya.
Mungkin kita jarang sekali menyadari bahwa setiap tindakan yang kita lakukan sesungguhnya karena ada dorongan yang berasal dari dalam diri. Kebaikan maupun keburukan yang dilakukan seseorang terjadi karena adanya dorongan tersebut. Dunia Psikologi Barat menyebut dorongan tersebut sebagai motive atau drive, sedangkan para sufi menamakannya sebagai kekuatan-kekuatan hawa nafsu. Lalu apa saja kekuatan-kekuatan hawa nafsu itu? Menurut para sufi ada empat kekuatan hawa nafsu: quwwatun bahimiyyah, quwwatun sab’iyyah, quwwatun syaithaniyya, dan quwwatun rabbaniyyah.


Quwwatun Bahimiyyah
Yang dimaksud quwwatun bahimiyyah adalah kekuatan kebinatangan. Ternyata, menurut para sufi, sekalipun kita jauh lebih mulia daripada binatang namun dalam diri kita ada dorongan-dorongan atau kekuatan-kekuatan yang bersifat kebinatangan. Mungkin itu pula sebabnya Imam Al-Ghazali pernah menyebut manusia dengan istilah al-hawayanun nathiq, yakni hewan yang berpikir. Tanpa kita sadari kita telah sering melakukan sesuatu yang sebenarnya sebagai akibat adanya dorongan atau kekuatan kebinatangan di dalam diri kita. Quwwatun bahimiyyah ini mendorong kita untuk mencari kepuasan lahiriah atau kenikmatan seksual.
Akitivitas makan, minum, tidur, bermalas-malasan, kawin adalah beberapa tindakan yang kita lakukan atas dorongan quwwatun bahimiyyah. Sebenarnya tidak salah ketika seseorang ingin makan, minum, tidur, dan kawin, karena hal-hal itu merupakan bagian kebutuhan fitrah manusia. Namun ketika semua hal itu menjadi prioritas dalam kehidupan kita maka akibatnya pasti tidak positif. Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada seseorang yang aktivitas hidupnya hanyalah makan saja, atau minum saja, atau tidur saja, atau bahkan kawin saja. Orang yang seperti itu pasti tidak akan mampu menjadikan hidupnya lebih mulia, lebih bermanfaat, dan lebih berderajat. Tidakkah perilaku yang demikian itu sama dengan perilaku binatang?
Bila makanan dan minuman yang menjadi miliknya telah habis, pasti dia akan mencari makanan dan minuman yang lain. Celakanya, apabila dia tidak memiliki sesuatu yang bisa dipakai untuk mendapatkan makanan dan minuman secara legal, maka dia akan mendapatkannya dengan cara-cara ilegal. Misalnya, mencuri, merampok, merampas, atau korupsi. Cara-cara buruk seperti itu dilakukan atas nama pemenuhan perut. Bila dia memiliki banyak uang untuk memperoleh makanan dan minuman, maka dia akan mencoba makanan atau minuman yang belum pernah dikonsumsinya, sehingga yang halal dan yang haram tak digubris lagi asalkan kebutuhan perut terpenuhi. Bukankah cara-cara seperti itu sama seperti yang dilakukan binatang?
Dengan demikian, menurut para sufi orang-orang yang hanya mengutamakan kebutuhan jasmani, seksual, dan segala macam kesenangan diri adalah orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, yakni quwwatun bahimiyyah.

Quwwatun Sab’iyyah
Bila quwwatun bahimiyyah adalah kekuatan kebinatangan dalam taraf biasa, maka quwwatun sab’iyyah adalah kekuatan kebinatangan buas. Dengan mendengar kata ‘buas’ tentu Anda akan dapat membedakan antara yang bimiyyah dan yang sab’iyyah. Para sufi berpendapat bahwa diri kita ini menyimpan sifat buas, dan sifat buas itu hadir karena manusia dikuasai oleh kekuatan kebinatangan buas atau quwwatun sab’iyyah. Apa buktinya kalau manusia itu menyimpan di dalam dirinya kekuatan kebinatangan buas? Kita pasti pernah merasa ingin memukul orang lain karena rasa kesal dalam diri akibat perbuatannya. Kita senang menyaksikan lawan bisnis kita bangkrut usahanya, bahkan kalau belum juga bangkrut kita berusaha dengan berbagai macam cara agar usahanya tidak berkembang agar usaha kita tidak tersaingi. Kita suka kalau bisa mendapatkan apa sebenarnya yang menjadi hak orang lain. Cobalah Anda banyangkan apa yang kita rasakan ketika menyaksikan tetangga kita usahanya berkembang, jabatannya di kantor naik, anak-anaknya sukses dalam meniti karir. Mendapati keadaan yang seperti itu, yang sering terlintas dalam benak kita adalah mengapa semua bentuk kebenhasilan itu tidak menjadi milik kita? Mengapa justru tetangga kita yang meraihnya? Ketidaksukaan yang demikian itu adalah benih-benih tumbuh kembangnya quwwatun sab’iyyah di dalam diri. Apabila yang demikian it uterus berlanjut, tidak mustahil kita akan melakukan sesuatu yang dapat menghancurkan keberhasilan tetangga kita tersebut.
Orang-orang yang dikuasai oleh quwwatun sab’iyyah akan berubah laksana harimau kelaparan yang siap menerkam siapa pun yang ada di hadapannya. Dia akan menjadi manusia yang seakan-akan dikuasai oleh kekuatan jahat yang selalu berhasrat untuk menyerang dan menghancurkan orang lain. Dia akan sangat bahagia bila penderitaan demi penderitaan dialami orang lain. Dia pasti merasa bangga bila menyaksikan siapa pun hancur akibat ulahnya. Hatinya akan membeku dan tidak mampu lagi merasakan penderitaan sesama. Lalu, tidakkah keadaan yang seperti itu sama dengan keadaan binatang buas?
Menurut para sufi, apabila kita senang menyerang orang lain, menghancurkan orang lain, merasa bahagia bila berhasil menyakiti orang lain, suka mengambil hak orang lain, membenci orang lain, mendengki orang lain, dan segala macam bentuk tindakan yang menyakiti orang lain, maka kita tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, yakni quwwatun sab’iyyah.

Quwwatun Syaithaniyyah
Menurut para sufi, ada kekuatan lain yang mendorong seseorang melakukan sesuatu, yakni quwwatun syaithaniyyah. Dorongan atau kekuatan inilah yang membuat seseorang merasa tidak bersalah ketika dia melakukan kejahatan. Bukankah kita juga pernah merasakan kehadiran quwwatun syaithaniyyah ini? Ketika kita melakukan korupsi, setan datang menghampiri dan membisikkan kepada kita bahwa tidaklah mengapa bila korupsi itu dilakukan demi membantu sesama. Atau setan menenangkan perasaan bersalah dalam diri kita dengan membisikkan, “Tidak ada dosa bagimu, bila sebagian uang yang kau korupsi itu kau sumbangkan untuk pembangunan masjid, pesantren atau madrasah.” Berbekal bisikan pembenaran dari setan itu, kita kemudian menyumbang pembangunan masjid 10 juta rupiah, padahal uang yang kita korupsi 1 milyar rupiah.
Mungkin kita pernah diutus perusahaan untuk membeli perlengkapan kantor. Seharusnya biaya yang dikeluarkan 1 juta rupiah, namun di nota kita tulis 1,2 juta rupiah. Hati kecil kita mungkin berbisik bahwa perbuatan itu merupakan salah satu bentuk korupsi. Muncul keraguan dalam diri. Saat itu datanglah setan membisikkan pembenaran kepada kita dengan berkata, “Tidak usah kau ragu melakukannya. Dua ratus ribu tidaklah sebanding dengan nilai yang dikorupsi oleh para pejabat. Lihatlah, mereka bermilyar-milyar rupiah berani mengorupsinya. Kau hanya dua ratus ribu, itu biasa saja.” Atas dasar pembenaran dari bisikan setan, akhirnya kejahatan itu kita lakukan juga. Itu hanyalah sebagian kecil contoh bagaimana setan memberikan pembenaran bagi setiap kejahatan yang kita lakukan.
Apabila kita sering berbuat seperti itu, selalu mendapat pembenaran pada setiap kejahatan yang kita lakukan, maka para sufi berkata bahwa kita termasuk dalam kelompok orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu, yakni quwwatun syaithaniyyah.

Quwwatun Rabbaniyyah
Tiga kekuatan atau pendorong dalam diri yang berasal dari hawa nafsu telah kita bicarakan. Selain dari yang tiga tersebut, ada satu kekuatan yang diselipkan Tuhan dalam diri kita, yakni quwwatun rabbaniyyah. Inilah yang menurut para sufi sebagai kekuatan Tuhan. Tuhan telah menyediakan satu kekuatan yang berasal dari percikan cahaya-Nya. Setiap diri manusia memiliki kekuatan itu.
Di mana kekuatan Tuhan atau quwwatun rabbaniyyah itu berada? Kekuatan itu berada pada akal sehat kita. Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Sempurna menyempurnakan keadaan kita dengan menganugerahi kita akal sehat. Akal sehat ini selalu jujur menyampaikan kebenaran dalam diri kita. Ia tidak pernah mengatakan yang salah sebagai kebenaran dan tidak pula mengatakan kesalahan sebagai hal yang benar. Kekuatan Tuhan inilah yang membedakan kita dari binatang.

Keberadaan quwwatun rabbaniyyah sesungguhnya menyiratkan bahwa Tuhan menghendaki kita selamat dalam menempuh hidup di dunia hingga akhirat. Tiga kekuatan yang berasal dari hawa nafsu menjadi ujian bagi kita untuk mengetahui seberapa besar kita memanfaat kekuatan Tuhan yang telah dianugerahkannya kepada kita. Apabila kita berada di bawah kendali tiga kekuatan yang berasal dari hawa nafsu, sesungguhnya kita telah menjadi binatang-binatang berwujud manusia. Apabila dendam, kebencian, amarah, perasaan iri, dan kemarahan terhadap yang lain kita pelihara di dalam diri, sungguh kita telah menjadi binatang-binatang secara ruhaniah, meskipun secara jasmaniah kita adalah manusia. Apabila kita selalu mencari dalil-dalil pembenar atas kekeliruan yang kita lakukan, sebenarnya lubuk hati kita telah dikuasi oleh bisikan-bisikan setan.
Agar manusia tidak semakin jauh melangkah pada arah yang salah, maka Tuhan menyertakan dalam diri kita kekuatan-Nya, yakni quwwatun rabbaniyyah. Fungsinya adalah untuk mengendalikan hawa nafsu. Dorongan atau kekuatan inilah seharusnya yang mendominasi hidup kita. Jika aktivitas yang kita lakukan seluruhnya atas dasar dorongan quwwatun rabbaniyyah niscaya antara yang benar dan yang salah akan sangat jelas dalam pandangan kita. Cahaya kebenaran akan senantiasa menyinari kita dan setiap tarikan dan hembusan nafas kita akan selalu dalam kebersamaan dengan Tuhan. Dengan demikian, pertemuan dengan Tuhan hanya akan tercapai apabila seluruh kekuatan hawa nafsu dapat ditumbangkan.
Inilah yang digambarkan oleh Jalaluddin Rumi pada sebuah kisah yang ditulisnya. Saya akan ceritakan kembali untuk Anda kisah tersebut. Katanya, “Dulu, ada seseorang yang sedang berada dalam kondisi kehausan, sementara ia berada di sebuah puncak bangunan yang sangat tinggi. Ketika ia mengarahkan pandangannya ke bawah, nampaklah di sana mengalir air yang sangat jernih. Menyaksikan aliran air itu, haus yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. Ia sangat ingin mendapatkan air itu, namun sayang ia tak mampu menjangkaunya. Kemudian dengan tenaganya yang masih tersisa, ia menjatuhkan bebatuan yang ada di atas bangunan itu satu persatu. Gemercik air yang ditimbulkan akibat kejatuhan batu tersebut terdengar sangat merdu di telinganya. Kemerduan itu betul-betul telah melupakan segala yang dirasakannya kecuali kemerduan itu sendiri. Bahkan rasa haus yang dirasakannya pun terlupakan oleh kemerduan dan keindahan gemercik air itu. Disebabkan gemercik air tersebut telah menawan hatinya, dengan semangat ia terus menjatuhkan bebatuan yang ada.”
Kata Rumi selanjutnya, “Air itu kemudian bertanya kepada, ‘Hai manusia, mengapa engkau menjatuhkan bebatuan itu ke arahku?’ Orang itu menjawab, ‘Gemercik air akibat kejatuhan bebatuan ini sungguh indah kudengar, dan aku menikmati keindahan itu sehingga kulupakan segalanya, termasuk rasa haus ini. Dan yang lebih penting dari itu, ketika aku terus menjatuhkan bebatuan ini, aku semakin dekat denganmu.’”
Sekali lagi saya ingatkan, hendaklah setiap kisah sufistik tidak kita pahami sebagaimana adanya. Karena kebenaran yang akan disampaikan sesungguhnya ada di balik kisah tersebut. Lalu, apa sebenarnya yang ingin disampaikan Rumi? Rumi ingin menggambarkan kepada kita proses perjalanan manusia untuk berjumpa dengan Tuhan. Kerinduan berjumpa dengan Tuhan hanya akan muncul di dalam diri setiap orang yang terus berusaha merobohkan kepongahan hawa nafsu yang berdiri tegak di dalam dirinya. Ketika susunan hawa nafsu itu dirobohkan sedikit demi sedikit, maka sedikit demi sedikit pula akan tersingkap keindahan jalan yang akan mengantarkan kita berjumpa dengan-Nya. Semakin banyak hawa nafsu yang kita robohkan, semakin banyak pula keindahan yang kita lihat, sehingga kerinduan pun semakin kuat. Jalan yang sudah nampak jelas itu apabila terus kita tempuh benar-benar akan membawa kita pada kedekatan dan pertemuan dengan-Nya. Hanya dengan cara itulah kita akan dapat merasakan kesyahduan yang luar biasa saat berduaan dengan Tuhan, yang tak mungkin dapat digambarkan dengan apa pun, kecuali dengan perasaan orang-orang yang telah mengalaminya. Marilah kita tinggalkan hawa nafsu demi pertemuan dengan Tuhan Yang Maha Kasih.
[1] Dalam bahasa Arab hawa bisa juga diartikan sebagai awan, dan arti lainnya adalah hawa nafsu.
[2] Taraktu hawaaya fa ajlasanii fil hawaa.

Sabtu, April 25, 2009

JANGAN SOK SUFI



Tatkala hari masih pagi, saat kebekuan embun masih menjalari bumi ini dan ketika hamba-hamba Tuhan masih banyak yang terlelap dalam dekapan selimut yang menghangatkan, renungkanlah bahwa sesungguhnya batas antara surga dan neraka, pahala dan dosa, serta ibadah dan kemusyrikan itu sangat tipis. Ya.., sangat tipis. Bahkan lebih tipis dari rambut dibelah tujuh.
Bukankah tidak ada jaminan, seorang kiai pasti masuk surga dan seorang pelacur pasti akan masuk neraka? Sebab, banyak kiai yang sudah merasa lebih pandai dari muridnya ketika ia berangkat mengajar. Jelas yang demikian ini takabur namanya. Tapi juga ada pelacur yang pada akhir hidupnya meraih husnul khatimah, bahkan diampuni dosanya.
Imam Al-Ghazali telah mengingatkan kita tentang hal ini secara panjang lebar dalam kitabnya Tanbihul Mughtarin fi Ghururil Khalqi Ajma’in. Di sana, Al-Ghazali mengungkap sejumlah tipudaya yang sering kali menyelimuti para hamba Allah dari berbagai level kehidupan mereka. Yang paling banyak terkena tipudaya adalah para ulama, kemudian para sufi, disusul ahli amal dan ahli ibadah.
Di sana, tak seorang pun bisa mengandalkan ilmunya, amalnya, prestasi ruhaninya, ataupun perasaan paling sucinya atau paling sufinya. Karena itulah, Al-Ghazali mengingatkan agar dalam perjalanan jiwa menuju kepada Allah benar-benar hati-hati. Sesungguhnya batas antara surga dan neraka itu sangat tipis. Bahkan batas antara tauhid dan kemusyrikan.
Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali menggambarkan potret perjalanan sufi, yang masih sangat relevan bila diungkap saat ini. Banyak orang merasa dirinya sufi, ketika mereka pandai menyelami khazanah kesufian. Banyak orang merasa sudah sampai kepada Allah, padahal masih berada di gerbang paling pinggir. Banyak orang merasa sufi ketika Allah memperlihatkan padanya sejumlah rahasia-Nya. Banyak orang mengaku sufi ketika ia begitu lincah bicara tentang metafisika dan ketuhanan. Dan lebih tragis lagi banyak orang mengaku sufi, lalu mempublikasikan ungkapannya sebangai ungkapan Ilahi, pandangan matanya sebagai pandangan mata Ilahi, pendengarannya sebagai pendengaran Ilahi, lalu dengan itu semua mereka mampu menyihir para pendukungnya.
“Astaghfirullahal ‘Azhim….Jangan-jangan aku sendiri juga jadi sok sufi, hanya karena pernah menyelami secuil debu kesufian dari kitab itu. Masya Allah….Jangan-jangan aku merasa sudah sampai pada Allah, ketika diriku begitu fasih bicara tentang fana dan baqa, bahkan bicara soal-soal hakikat wujud.”
Sesungguhnya sufi bukanlah itu semua. Sufi adalah getaran-getaran Ilahi yang hanya bisa diungkapkan oleh yang pernah mengalaminya. Bukan yang pernah mendengar kata-kata orang yang pernah mengalami. Sufi adalah menyelam di lautan Ilahi, tanpa kata-kata, tanpa bicara, tanpa daya, tanpa kekuatan, tanpa karsa dan gerak. Jika kelak ada kata-kata, gerak, kalimat-kalimat yang meluncur lewat tajamnya pena, semua itu hanyalah peradaban sufi, atau hanya sekedar pengalaman yang bercerita tentang “tenggelam” itu sendiri.
Sufi itu bukan pada penampilan, atau kecerdasan, bahkan kemampuan-kemampuan mengurai ilmu suci ini. Namun, sufi hanyalah gerak-gerak hati, kata hati, telinga hati dan mata hati. Sungguh buta orang yang sok sufi. Sikap itu benar-benar jahiliyah yang murakkab, jahiliyah yang bertumpuk-tumpuk.
“Astaghfirullahal ‘Azhim….Jangan-jangan hari ini aku lebih jahiliyah. Ampuni aku Ya Allah.” Pada hakikatnya, kemuliaan para sufi terletak pada kerendahan hati dan kejujuran kalbunya. Itulah yang menyibakkan tirai-tirai yang menghijab antara dirinya dengan Tuhan.

TAUBATNYA NABI SAW



Bagaimana perasaan Anda ketika tiba-tiba datang seseorang lalu bertanya tentang berapa kali Anda dalam satu hari ini telah beristighfar kepada Allah. Apakah wajah Anda akan berubah pucat dan seluruh tubuh Anda bergetar mendengar pertanyaan itu? Atau Anda hanya akan sekedar mengernyitkan dahi pertanda bingung memahami apa sebenarnya yang diinginkan oleh seseorang yang datang tersebut, kemudian berkata kepadanya, “Mengapa engkau tiba-tiba bertanya tentang itu. Bukankah akan lebih baik bila pertanyaan itu kau ajukan kepada dirimu sendiri?” Atau mungkin Anda akan berkata jauh lebih banyak lagi daripada itu. Membeberkan segala aibnya, meremehkannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia lebih layak untuk segera bertaubat dan beristighfar sebanyak-banyaknya kepada Allah daripada diri Anda sendiri. Padahal, boleh jadi kedatangannya untuk mengingatkan Anda justru membawa kebaikan bagi diri Anda sendiri. Mungkin juga cara yang demikian itu menjadi jalan baginya untuk mengingatkan dirinya sendiri terhadap dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
“Dosa manusia itu bertingkat-tingkat sesuai dengan maqomnya.” Begitulah keterangan yang sering kita dengar dari para ulama. Semakin tinggi maqom seseorang, semakin besar godaan yang dihadapkan setan kepadanya yang bisa membuatnya terjerumus ke jurang dosa. Semakin rendah maqom seseorang, semakin mudah setan menjerumuskannya sehingga hal kecil pun bisa menjadi dosa baginya. Memang tidak mudah bagi kita untuk menentukan maqom kita di hadapan Allah. Jalan terbaik bagi kita adalah selalu mengingatkan diri untuk beristighfar kepada Allah, sebanyak-banyaknya. Apabila setengah hari telah kita lalui, segeralah kembali melipat waktu untuk melihat saat kita di pagi hari. Telusuri kembali saat-saat itu. Apakah ada waktu yang terisi oleh dosa dan kemaksiatan yang takkan terhapus hanya dengan beristighfar 100 kali? Atau justru di antara waktu-waktu itu hanya ada 3 kali istighfar yang kita ucapkan, sementara dosa yang kita kerjakan jutaan kali? Atau bahkan seutuhnya waktu itu penuh dengan kemaksiatan?
Padahal Nabi SAW, yang sudah diampuni dosanya pada masa lalu maupun masa yang akan datang, masih terus beristighfar minimal 100 kali. Bukankah kita lebih pantas beristighfar dalam jumlah yang jauh lebih banyak? Mengenai istighfar Nabi ini, mari kita simak penafsiran berikut ini.
Al-Junaid pernah berkata tentang makna sabda Rasulullah SAW: “Beristighfar (memohon ampun)-lah kalian kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya, karena sesungguhnya aku beristighfar dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.” (HR Al-Hakim dan Ath-Thabrani dari Abu Musa).
Kaum Sufi mengatakan bahwa kondisi ruhani (haal) Nabi SAW dengan Allah dalam setiap detik, setiap hembusan-tarikan nafas, dan setiap kedipan mata akan selalu bertambah. Maka, ketika ruhani Rasulullah semakin bertambah dan semakin tinggi, maka semakin mulia pula daripada kondisi ruhani pada detik-detik sebelumnya. Dengan demikian, beliau senantiasa beristighfar dan bertaubat dari kondisi ruhani sebelumnya.
Al-Junaid Rahimahullah juga pernah ditanya tentang sabda Rasulullah SAW: “Semoga Allah senantiasa memberi rahmat kepada saudaraku Isa AS. Andaikan ia semakin bertambah yakin, ia akan berjalan di angkasa.” Maka Al-Junaid menjawab, maknanya adalah—dan Allah adalah Yang Maha Tahu—bahwa Isa AS berjalan di atas air karena keyakinan yang kuat. Sedangkan Nabi SAW berjalan di angkasa saat malam Isra’ dan Mikraj, karena beliau lebih yakin daripada Isa AS. Oleh karena itu beliau bersabda, “Andaikan ia semakin bertambah yakin, andaikan ia diberi keyakinan yang lebih sebagaimana yang diberikan kepadaku, niscaya ia akan berjalan di angkasa.” Dalam hal ini Rasulullah memberitahukan kondisi ruhaninya.
Al-Hushri Rahimahullah mengatakan tentang makna sabda Nabi SAW: “Aku memiliki waktu dengan Allah yang tidak cukup untuk apa pun selain Allah Azza wa Jalla.” (Sanadnya tidak diketahui). Jika ucapan ini benar (shahih) dari Rasulullah SAW dan beliau mengatakan hal itu, atau bahkan tidak shahih sekalipun, maka sesungguhnya seluruh waktu beliau tidaklah cukup untuk selain Allah SWT dengan rahasia jiwanya yang paling dalam. Namun dengan sifat-sifatnya, beliau dikembalikan kepada seluruh makhluk untuk tugas pendidikan dan memberitahu mereka. Dan, pada sifat-sifat beliau berlangsung seluruh bentuk hukum, agar mereka mengambil manfaat dan suritauladan darinya. Maka, apabila sinar-sinar rahasia hatinya tampak pada sifat-sifatnya, maka beliau akan menariknya dari manusia.
Aisyah RA pernah berkisah, “Aku pernah terbangun pada suatu malam, namun tidak kutemukan Rasulullah di tempat tidur. Lalu aku mencarinya. Ternyata tanganku menyentuh kedua kaki yang saat itu sedang tegak dalam posisi sujud kepada Allah Azza wa Jalla. Dan aku mendengar beliau berdoa dalam sujud, ‘Aku melindungkan diri dalam ridha-Mu dari murka-Mu dan dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu.” (Al-Hadits).
“Sesungguhnya, inilah waktu yang tampak dalam rahasia hatinya, sementara berbagai cahaya memancar pada sifat-sifatnya. Apabila ragam cahaya itu kembali ke rahasia hatinya, maka beliau mengembalikan dengan sifatnya kepada seluruh makhluk agar mereka bisa mengambil manfaat dan suritauladan. Maksud dari sifatnya adalah lahiriahnya, sedangkan rahasianya adalah batinnya.” Demikian As-Sarraj berkata.

Kamis, Februari 26, 2009

KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT


Berbicara tentang kematian tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks filsafat, sebab kematian merupakan bahan kajian kefilsafatan yang tidak akan pernah usai dibicarakan. Sebelum kita menelusuri lebih jauh konsep kematian dalam perspektif filsafat, terlebih dahulu penulis akan paparkan bagaimana para filsuf Yunani memaknai kematian itu. Mengapa harus berangkat dari para filsuf Yunani? Karena di sanalah gudang-nya para filsuf sekaligus tempat lahirnya filsafat.
Pemahaman terhadap konsep kematian dilandasi oleh pandangan tentang manusia. Apabila kita memperhatikan berbagai sumber literatur yang ada, para filsuf Yunani yang hidup pada abad keenam sebelum masehi seperti Thales (624-548 S.M.), Anaximander (611-547 S.M.) dan Anaximenes (538-480 S.M.), masih tergolong sebagai filsuf alam. Mereka belum bersikap kritis terhadap pengenalan manusia. Baru kemudian setelah muncul Socrates (469-399 S.M.), pembicaraan mulai mengarah kepada diri manusia itu sendiri. Pembicaraan Socrates ini lebih difokuskan lagi oleh muridnya bernama Plato (427-347 S.M.). Dialah filsuf yang pertama kali memberi perhatian sepenuhnya kepada manusia.
Berangkat dari dikotomi dunia menjadi dunia ruhani (dunia idea, dunia immateri) dan dunia jasmani (dunia materi), Plato berbicara tentang manusia. Menurut Plato, sebelum seseorang lahir ke dunia dia berada dalam wujud sebagai jiwa murni dan hidup dalam kawasan yang lebih tinggi. Di kawasan ini dia dapat memandang suatu dunia ruhani. Di sinilah jiwa mengarungi pengetahuan tentang ide dalam cara hidup yang kontemplatif. Sejak dahulu jiwa telah berada di kawasan itu dan oleh karena itu, menurut Plato, jiwa itu baka.
Sebenarnya pandangan Plato yang demikian ini, merupakan warisan dari gurunya, Socrates. Bagi Socrates, jiwa manusia merupakan bagian dari Tuhan yang membimbing manusia dalam segala perbuatannya. Itulah yang dimaksud dengan daimonion (Hatta, 1986 : 84).
Kembali kepada Plato, selanjutnya dia menyatakan, semenjak kelahiran jiwa terperosok masuk ke dalam tubuh. Tubuh yang merupakan unsur materi ini, menjadi penghalang bagi jiwa. Jiwa yang selalu bergerak terhalang olehnya dan dalam hal ini jiwa bagaikan tahanan yang meringkuk dalam penjara tubuh. Pandangan jiwa menjadi terhalang. Pengamatan inderawi menghalangi pandangan jiwa dan mengakibatkannya semakin jauh dari kebenaran. Gerakan jiwa merupakan wujud dari keinginannya untuk lepas dari belenggu tubuh. Lalu, mengapa jiwa menginginkan keluar dari belenggu tubuh? Hal itu disebabkan jiwa memiliki asal-usul yang lebih luhur daripada kenyataan dunia ini. Karena itu dia tidak tergantung pada proses perubahan terus menerus tetapi dia dekat dengan dunia abadi yang terdiri atas ide-ide. Dunia konkret ini hanyalah sekedar bayangan dari dunia abadi itu. Bila tubuh musnah maka jiwa tetap hidup (van Peursen, 1988 : 42). Orientasi jiwa selalu ke dunia ruhani (dunia immateri), dia selalu memberontak terhadap tubuh dan pada akhirnya dia berhasil keluar dari belenggu materi, kembali ke asalnya yang baka. Keberhasilan jiwa lepas dari belanggu tubuh, itulah kematian.
Lalu, bagaimana Plato berbicara tentang kematian? Plato mengartikan kematian sebagai pemisahan bagian ruhaniah, yaitu jiwa, dari bagian fisik, yaitu badan. Setelah dipisahkan dari tubuh, jiwa dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan arwah orang lain yang telah meninggal, dan dibimbing oleh arwah pelindung melalui peralihan dari kehidupan fisik ke dunia selanjutnya. Dia menyebutkan bagaimana beberapa orang mengharapkan dijemput oleh sebuah perahu pada waktu kematian mereka, yang akan membawa mereka mengarungi lautan menuju “pantai seberang”. Lebih lanjut Plato menegaskan bahwa jiwa yang telah dipisahkan dari tubuh pada waktu kematian dapat berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan lebih jelas dari sebelumnya. Segera setelah kematian—kata Plato, jiwa menghadapi “pengadilan” tempat suatu “makhluk” Yang Agung memperlihatkan di hadapannya semua yang telah dilakukannya, apakah itu baik atau buruk, dan memaksa jiwa menghadapinya (Moody, 2001 : 145-147).
Dengan kata lain, tatkala jiwa sudah sampai kepada alam yang menjadi asal-usulnya, maka kepadanya akan diperlihatkan segala yang telah dia perbuat pada saat berada di dunia materi. Pada saat itu jiwa akan melihat segala yang terhalang baginya—disebabkan oleh terlingkupi jasad—di dunia. Jiwa akan sadar terhadap baik dan buruk perilaku yang telah diperbuatnya di dunia karena pengaruh jasad. Namun dalam hal ini, Plato tidak menjelaskan apakah jiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas semua yang terjadi di alam dunia, sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci agama-agama samawi.
Berbeda dengan Plato, sang murid, Aristoteles, dalam memahami manusia menempuh jalan sendiri. Dia tidak lagi membutuhkan dunia ide (dunia ruhani) untuk menjelaskan alam semesta termasuk manusia di dalamnya. Mengamati alam semesta dengan segala isinya, Aristoteles mengajukan pertanyaan, apakah segala sesuatu mengalami perubahan yang terus menerus atau tetap dengan kepasivannya? Aristoteles sendiri kemudian memberikan jawaban bahwa segala sesuatu mengalami proses kelahiran, perubahan dan kebinasaan yang berlangsung tak henti-hentinya, namun ada juga yang tinggal tetap yakni perubahan itu sendiri sebagai subjek (Kabanga’,2002 : 165). Jawaban Aristoteles ini mengingatkan kita pada pendahulunya, Heraklitos (…-480 S.M.) dan Parmenides (abad 6-5 S.M.), yang berdebat seputar persoalan yang sama dan jawaban ini menyiratkan ketidakberpihakan Aristoteles pada salah satu dari mereka melainkan menjadi solusi tersendiri terhadap persoalan tersebut.
Mengenai perubahan, Aristoteles membedakannya menjadi dua jenis yakni aksidensial dan substansial. Perubahan aksidental adalah perubahan bentuk seperti yang terjadi pada batu pualam kemudian dijadikan patung, sedangkan perubahan substansial adalah sebagaimana yang terjadi pada saat manusia mati (Kabanga’, 2002 : 166).
Menurut Aristoteles, dalam diri manusia terdapat psykhe (jiwa) dan nous (roh, rasio). Psykhe (jiwa) dan nous (roh, rasio) ini merupakan dua hal yang berbeda. Jiwa tidak lain merupakan prinsip hidup yang dimiliki oleh manusia. Tentang keberadaan jiwa, Aristoteles tidak mengaitkannya dengan Tuhan, melainkan dengan perubahan yang muncul dari materi pertama. Ini yang membedakan pandangannya dari Plato. Bila diteliti lebih lanjut, Aristoteles sudah menjadi penganut evolusionisme yang pertama—seperti yang ditulis oleh van deir Weij (2000 : 43-44), dari potensi materi pertama itu mula-mula muncul berbagai bentuk substansial dari benda-benda anorganis. Kemudian dalam wilayah tumbuhan, materi itu menjadi landasan bagi suatu bentuk atau prinsip tumbuhan, lalu dari potensialitasnya muncul bentuk atau prinsip hidup dari wilayah binatang, dan akhirnya psykhe atau prinsip hidup manusia.
Mengenai nous, Aristoteles membaginya manjadi dua, yaitu nous poietikos (ruh aktif) yang bersifat ilahi atau yang ilahi dalam diri manusia, dan nous pathetikos (ruh pasif) yang bisa binasa serta muncul dari potensi organisme manusia. Jika manusia mati, maka nous poietikos—yang Ilahi pada manusia—akan kembali bersama dengan Tuhan. Artinya, ketika manusia mati ada sesuatu yang tetap abadi yakni ruh aktif (Kabanga’, 2002 : 167). Namun demikian, kehadiran nous poietikos ini menyebabkan Aristoteles mengalami masalah dalam menerapkan prinsip hilemorfistis-nya untuk memahami manusia secara utuh yang hingga kematiannya belum bisa terpecahkan.
Selain mengemukakan pendapat para filsuf Yunani berkenaan dengan kematian, penulis akan menelusuri lebih lanjut pendapat dari filsuf-filsuf yang lain. Filsuf besar terakhir yang hidup pada zaman Yunani kuno adalah Plotinos (204-270 S.M.), namun dia dilahirkan di Mesir (Mudhofir, 2001 : 404). Bagaimana dia berbicara tentang kematian? Untuk menjelaskannya akan ditelusuri terlebih dahulu titik tolak pemikiran filsafatnya.
Plotinos bertolak dari pemikiran Plato tentang dunia idea, sehingga pemikirannya dikenal dengan Neo-Platonisme. Dia memberanikan diri untuk memikirkan hingga kepada hal Yang Tak Terhingga karena dari sanalah segala gejala itu bermula. Tatkala ditanya bagaimana dia sampai kepada Yang Tak Terhingga, Plotinos menjawab dengan mengenal To Hen (Yunani, artinya Yang Satu). To Hen bukanlah Ada atau sesuatu yang ada, melainkan Adiada, Yang Mutlak, Yang Tak Terhingga. Mungkin yang dimaksudkan oleh Plotinos dengan Yang Satu itu adalah Allah. Hal ini ditegaskan oleh Hatta (1986 : 166) dengan menyatakan bahwa Plotinos dalam melihat segala yang ada dalam kosmos bertolak dari pemikiran adanya Allah sebagai Yang Tak Terhingga, pangkal segala-galanya.
Dari To Hen mengalir secara emanasi apa yang dinamakan dengan nous (ruh, rasio). Nous adalah Ada yang berpikir. Pemikiran yang berada dalam berpikir itu dia timba dari To Hen sebagai sumbernya. Dengan demikian, fungsi nous—seperti yang dinyatakan van der Weij (2000 : 36), sama dengan apa yang diistilahkan Plato dengan kosmos noetos (dunia yang tak terlihat, dunia yang dapat dipikirkan), hanya saja nous lebih dipersatukan.
Dari nous ini kemudian memancar psykhe (jiwa), yakni Jiwa Dunia. Psykhe merupakan daya hidup bagi kehidupan organis dan kosmis. Psykhe yang menciptakan alam semesta, karena itu disebut Jiwa Dunia. Dari Jiwa Dunia ini kemudian secara emanasi mengalir jiwa-jiwa yang masuk ke dalam diri manusia sebagai daya hidup baginya. Jiwa manusia itu—menurut Plotinos, bersifat ambivalen dan bipolar. Di satu pihak, jiwa itu mengalami dorongan ruhani untuk mengarahkan pikiran dan cintanya pada Jiwa Dunia sebagai asal mulanya; dan di pihak lain terdapat suatu daya di dalam dirinya untuk berkiblat kepada dunia yang lebih rendah (Hatta, 1986 : 171-172).
Apabila jiwa itu tetap bersatu dengan Jiwa Dunia maka akan terbebas dari penderitaan dan nafsu manusiawi. Namun, apabila sebaliknya, dia tenggelam dalam tubuh atau takluk pada tubuh, akan sukar baginya untuk berpikir murni lagi dan akan diburu oleh asmara, nafsu serta penderitaan. Akibatnya, akan semakin jauhlah dia dari tempat asal-usulnya. Jiwa yang sudah jauh itu hanya akan dapat menyucikan diri dari segala kotoran duniawi bila suatu saat dia mendapatkan pencerahan (Kabanga’, 2002 : 168).
Dari pemikiran Plotinos yang telah diuraikan tersebut, kita bisa dapatkan pandangannya tentang kematian. Jiwa itu bersifat Ilahiah karena berasal dari Yang Satu melalui Jiwa Dunia. Sedangkan tubuh berasal dari materi yang bisa menyebabkan jiwa dikuasai oleh nafsu dan penderitaan. Pada saat kematian manusia, maka jiwa berpisah dari tubuh. Jiwa meninggalkan tubuh dan dengan tanpa wujud kembali ke Jiwa Dunia. Pada saat kematian, jiwa menyisihkan yang jasmani dan kembali kepada yang ideal dan ruhani. Mungkin akan muncul pertanyaan, bukankah hal itu juga bisa terjadi pada saat kontemplasi atau saat ekstase? Plotinos membenarkan hal itu, namun sifatnya sementara atau tidak konstan. Lewat pintu kematian, jiwa menuju kepada kemungkinan ultim-nya. Kemungkinan ultim ini terbuka bagi setiap orang, sehingga pada saatnya semua makhluk yang berjiwa akan kembali kepada Yang Satu, yang oleh Plotinos disebut dengan apokatastasis panton (Yunani, apokatastasis, artinya pemulihan; panton, artinya semua, seluruhnya). Kemungkinan ultim manusia itu adalah manunggal dengan Yang Satu, dan menurut Plotinos hal itu hanya akan bisa dicapai secara konstan setelah kematian manusia.
Selanjutnya akan penulis paparkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para filsuf lainnya seputar kematian. Rene Descartes (1596-1650), yang diberi predikat sebagai Bapak Filsafat Modern, berbicara tentang manusia sesuai dengan pandangannya yang dualistis—sekalipun dia sendiri mengakui tak mungkin manusia bisa dipandang seratus persen demikian karena hal itu akan memunculkan banyak persoalan.
Menurut pendapatnya, jiwa dan tubuh adalah yang ruhani dan jasmani pada manusia. Tubuh dapat dilihat dalam bagian-bagiannya, sedangkan jiwa tidak. Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang tidak bersifat bendawi dan tidak dapat mati. Pemikiran merupakan sifat asasi dari jiwa. Yang termasuk pemikiran ialah segala sesuatu yang terjadi di dalam diri manusia dengan sepengetahuannya, yaitu segala perbuatan pengenalan inderawi, khayalan, akal, kehendak. Kesadaran menjadi sifat hakiki dari pemikiran. Sementara itu, tubuh pun memiliki sifat asasinya, yakni keluasan. Segala perbuatannya disebabkan oleh sebab-sebab mekanisnya sendiri.
Di antara tubuh dan jiwa ada pertentangan yang tidak terjembatani. Kesatuan yang tampak—menurut Descartes—hanya bersifat lahiriah saja, karena sesungguhnya masing-masing mewujudkan hal yang berdiri sendiri-sendiri. Hakikat manusia ada pada jiwanya dan tubuh diperalat oleh jiwa. Kondisi tubuh yang diperalat oleh jiwa dalam pikiran Descartes ini, digambarkan oleh Ryle sebagai the ghost in the machine, hantu di dalam mesin (Hamersma, 1990 : 8).
Walaupun tidak ada titik pertemuan antara pemikiran dan keluasan, namun antara jiwa dan tubuh terjadi saling mempengaruhi. Jiwa berada di dalam sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil (glandula pinealis). Secara tidak langsung jiwa mempengaruhi tubuh dengan mengambil alih gerak-gerak tubuh dengan perantaraan nafas hidup, yaitu bagian darah yang paling banyak geraknya, yang mengaliri semua syaraf dan otot. Berbagai rangsangan dari indera dibawa oleh nafas hidup ke kelenjar kecil di bawah otak kecil tadi. Lalu gerak kelenjar ini ditangkap oleh jiwa yang menjawabnya dengan pengamatan yang sesuai dengan perangsang-perangsang itu. Sebaliknya jiwa juga dapat menyebabkan adanya gerak di kelenjar kecil, yang akibatnya ada perubahan dalam jalan nafas hidup yang menggerakkan syaraf dan otot bagian tubuh yang beraneka jenis itu. Lebih lanjut Descartes menyatakan bahwa pengetahuan sejati tidak dapat dicapai pada saat terjadinya saling mempengaruhi antara jiwa dan tubuh. Pengetahuan sejati hanya bisa dicapai oleh jiwa karena jiwalah yang menemukan kebenaran (K. Bertens, 2000 : 24).
Dengan demikian, walaupun Descartes tidak berbicara secara langsung tentang kematian, namun dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa dia memaklumi ada yang abadi dalam diri manusia, yaitu jiwa. Jiwa tak berkeluasan dan bebas dari ikatan tubuh. Ketika manusia mengalami kematian, unsur tubuh akan musnah tetapi jiwa akan tetap kekal dan hanya jiwa yang akan dapat mencapai kebenaran tertinggi. Kebenaran tertinggi yakni kebenaran yang bukan merupakan hasil dari saling mempengaruhi antara jiwa dengan tubuh, melainkan kebenaran yang hanya diketahui oleh jiwa karena ketidakterikatannya terhadap tubuh.
Friedrich Nietzsche (1844-1900) memahami bahwa datangnya kematian itu sebagai sesuatu yang diputuskannya sendiri. Kedatangan maut adalah atas kehendaknya. Fuad Hassan (1992 : 59) mengutip kata-kata Nietzsche tentang kematian :
“Kematian kupujikan, maut yang bebas dan datang padaku oleh karena aku yang menghendakinya. Bebas untuk mati dan bebas dalam maut. Mampu berkata ‘tidak’ dengan ikhlas bilamana saat untuk berkata ‘ya’ telah lewat.”
Sementara itu, Martin Heidegger (1889-1976) menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki keterbatasan dalam hal waktu. Terbukti dari kenyataan bahwa dia dilemparkan—tanpa pilihannya—ke dalam kematian dan di belakangnya selalu menyertai bayangan akan ketiadaan-nya. “Segera setelah kelahirannya,” kata Heidegger, “manusia sudah cukup tua untuk mengalami kematian.” Masa akhir kehidupannya persis dengan permulaan kehidupannya. Keberadaan manusia merupakan keberadaan menuju mati (being towards death). Bagi Heidegger, kematian seyogyanya tidak hanya diartikan sebagai berhentinya kehidupan, atau dalam proses menuju akhir. Proses kematian adalah cara berada yang diterima manusia segera setelah kelahirannya. Kematian bukan hanya urusan di masa mendatang, namun selalu hadir di setiap saat masa sekarang. Maka sikap yang paling baik terhadap kematian adalah secara sadar dan dalam keputusan pribadi mempersiapkan diri sebaik-baiknya bagi kematian. Dengan demikian manusia menemukan dirinya yang utuh dan nyata (Hadi, 1996 : 174).
Berbeda dengan Heidegger yang meyakini bahwa kehidupan bertolak dari kematian, Jean Paul Sartre (1905-1980) menegaskan, justru kematianlah yang bertolak dari kehidupan. Dia tidak sependapat dengan Heidegger yang mengatakan bahwa kehidupan merupakan persiapan bagi kematian. Kematian, menurut Sartre, adalah suatu kenyataan yang muncul secara tiba-tiba dan buta, sehingga manusia tidak akan mampu untuk memahami dan mengontrolnya. Dia datang tanpa waktu yang jelas, menerobos dengan kejam dan selalu menggagalkan manusia dalam usahanya mengokohkan kehidupan. Kematian menjadi akhir kehidupan manusia yang penuh dengan kesia-siaan. Disebabkan kematian, semua kemungkinan yang telah kita realisasikan dalam kehidupan dimusnahkan. Kehidupan berubah menjadi kepingan-kepingan tiada makna. Hidup menjadi sia-sia belaka di dalam kematian. Kematian menjadi sesuatu yang absurd, karena kematian membuat kehidupan kita juga menjadi absurd.
Tidak ada satu pun yang bisa dimutlakkan dalam memahami kehidupan dan kematian. Bila kehidupan yang dimutlakkan, maka tidak akan ada lagi pemahaman akan hal yang transenden, yang ada hanyalah eksistensi yang diperpanjang hingga tanpa batas. Namun sebaliknya, bila kematian yang dimutlakkan, maka yang transenden akan terselubung, yang ada hanyalah kebinasaan. Maka jalan satu-satunya untuk memahaminya—menurut Karl Jaspers (1883-1969), (Hadi, 1996 : 177)—adalah dengan melibatkan suatu proses transendensi; kematian tidaklah seperti apa yang terlihat di dalam benda yang hidup dan mati atau di dalam jenazah yang tidak hidup lagi; hidup bukanlah sesuatu yang kelihatan sebagai kehidupan tanpa kematian atau kematian yang kelihatan sebagai tanpa kehidupan. Di dalam yang transenden kematian merupakan pemenuhan dari adanya sebagai hidup yang telah menjadi satu dengan ada. Kematian, sekalipun menjadi situasi batas yang paling dramatis namun akan memberikan keberanian dan intergritas sehingga pada akhirnya akan menyempurnakan eksistensi manusia.
Dari pandangan Karl Jaspers tersebut kita memahami bahwa kematian sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tanpa fungsi. Kematian membawa manusia kepada kesempurnaan eksistensinya. Selain sebagai penyempurna eksistensi manusia, kematian juga memiliki berbagai fungsi yang lain. Emmanuel Levinas (1906-….) mengemukakan setidaknya terdapat lima fungsi kematian, yaitu :
1. Kematian mendorong manusia untuk menciptakan struktur kehidupan, untuk menciptakan berbagai kemungkinan yang lebih manusiawi. Dengan demikian, kematian mengandung nilai edukatif yakni mendorong manusia untuk bertindak, mengatasi dan membangun segala-galanya. Manusia ingin menunda kematian, maka dia perlu untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan kematian dapat dielakkan dalam arti penangguhan kejadiaannya. Manusia dapat menggunakan sisa-sisa hidupnya dengan melakukan berbagai tindakan yang baik.
2. Kematian akan merealisir, mengkomparasikan, mengaitkan dengan barang-barang yang ada di dunia ini. Jika manusia mati, tidak satu pun barang-barang yang akan dibawa kecuali apabila itu disertakan oleh keluarganya ke liang kuburnya. Ketika manusia mati, maka segala yang dimiliki tidak akan berguna lagi dan ditinggalkan sebagai barang jarahan.
3. Kematian akan merealisir peranan manusia di dalam masyarakat. Kematian mengajarkan adanya kesamaan yang mutlak untuk setiap orang. Orang yang mati di tempat tidur yang empuk dengan orang yang mati merana adalah sama. Kedua-duanya sama-sama mati dengan terpisahnya jiwa sebagai substansi dengan tubuh.
4. Kematian menelanjangi manusia dari egoisme kekuasaan dan kejayaannya. Maka pada dasarnya manusia adalah sama dan hanya kematianlah yang dapat menunjukkan bahwa manusia mutlak sama. Adanya perbedaan kaya-miskin akan ditiadakan oleh kematian.
5. Kematian memberi makna bahwa manusia itu pada akhirnya memberi arti total pada sejarah hidupnya. Bila manusia sudah mati maka dia tidak dapat lagi mengubah orientasi hidupnya (Sudarminto, 1990 : 28-33).
Berbagai uraian seputar kematian dalam persperktif filsafat tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kematian bukan merupakan akhir eksistensi manusia. Kematian bukanlah peristiwa pasif yang terjadi pada manusia yang setelah itu tak memiliki makna apa pun lagi. Kematian hanyalah batas akhir dari garis waktu yang terbentang dalam sejarah hidupnya di dunia, setelah itu eksistensi manusia akan memasuki dimensi lainnya, yakni hidup dalam kehidupan yang abadi dalam alam kelanggengan.

KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF ILMU KEDOKTERAN


Kematian menjadi suatu fenomena yang selalu menarik untuk dibicarakan karena setiap manusia pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan bagian mutlak dalam sejarah manusia. Meskipun fenomena kematian telah akrab dengan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk menentukan kapan kematian itu benar-benar terjadi sehingga memunculkan banyak keraguan tentangnya. Di sisi lain juga memunculkan pertanyaan apakah kematian itu datang secara tiba-tiba atau ada tahapan-tahapan tersendiri yang dialami seseorang yang secara umum dapat dipahami sebagai suatu proses menjelang kematian? Untuk menjelaskan persoalan ini ada baiknya akan penulis kemukakan hasil observasi yang dilakukan oleh Elisabeth Kubler-Ross atas orang-orang yang berada dalam proses menjelang kematian mereka dalam bukunya On Death and Dying (1998).
Menurut Elisabeth Kubler-Ross (1998 : 48-134) terdapat lima tahapan yang dialami seseorang ketika menjelang kematiannya. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap Pertama : Penyangkalan dan Pengasingan Diri
Reaksi pertama dari mereka yang menyadari bahwa penyakit mereka benar-benar akan membawa pada kematian adalah suatu shock (keterkejutan) yang hebat. Setelah perlahan-lahan mengatasi keterkejutan itu, biasanya mereka menyangkal, “Tidak, bukan aku, itu tidak mungkin benar!” Penyangkalan awal ini berlaku, baik bagi mereka yang langsung diberitahu pada permulaan sakit maupun bagi mereka yang menyimpulkannya sendiri. Penyangkalan, sekurang-kurangnya penyangkalan parsial, dilakukan hampir oleh semua pasien, tidak hanya selama tahap-tahap pertama menderita sakit atau setelah konfrontasi, tetapi sikap ini setiap kali muncul kembali pada tahap-tahap berikutnya.
Sebagaimana kita tidak dapat menatap matahari sepanjang waktu, kita pun tidak dapat menghadapi kematian sepanjang waktu dengan hati yang pasrah. Untuk sementara waktu pasien dapat mempertimbangkan kemungkinan kematiannya dengan nalar, tetapi pada kesempatan lain dia menyingkirkan pertimbangan tersebut dan menggantikannya dengan perjuangan untuk mempertahankan kehidupannya. Penyangkalan biasanya menjadi pertahanan sementara dan akan segera disusul dengan sikap menerima, meskipun tidak sepenuhnya. Fungsi penyangkalan sebagai suatu penahan setelah mengetahui berita tak tersangka-sangka yang sangat mengejutkan itu. Penyangkalan ini membantu pasien untuk menyadari diri atau menguasai diri sepenuhnya dan sesuai dengan perkembangan waktu memunculkan sikap lain untuk mempertahankan diri secara tidak terlalu radikal.
Tahap Kedua : Marah
Kalau tahap pertama yang berupa penyangkalan tidak dapat dipertahankan lagi, maka biasanya diganti dengan perasaan marah, gusar, cemburu dan benci. Pada tahap kemarahan ini, pasien menjadi sulit diatasi, baik oleh keluarga maupun oleh tenaga medis. Sebab kemarahan ini terjadi di segala penjuru dan diproyeksikan kepada lingkungannya yang seringkali dengan cara sembarangan tanpa alasan yang memadai pada saat-saat yang tidak terduga. Para dokter dianggap tidak becus, mereka dicap tidak tahu pemeriksaan dan usaha mana yang diperlukan, serta diet mana untuk diterapkan. Sering kali para perawat menjadi sasaran kemarahan pasien. Mereka dianggap menahan pasien terlalu lama di rumah sakit atau tidak menghormati berbagai keinginan pasien sesuai dengan kedudukan khususnya. Pendek kata, pada tahapan ini, apa pun yang dilihat pasien akan menimbulkan keluhan dan kemarahan.
Tahap Ketiga: Tawar-Menawar
Tahap ketiga ini tidak terlalu dikenal namun sebenarnya sangat menolong pasien. Mungkin pasien tidak terlalu menyadari apa yang dilakukannya, tetapi tahap ini sangat membantu pasien, meskipun hanya untuk sementara waktu. Bila pasien menyadari bahwa dia tidak mampu lagi menghadapi kenyataan yang sangat menyedihkan pada awal periode dan mengambil sikap marah terhadap orang lain serta memberontak kepada Tuhan pada tahap kedua, boleh jadi dia kemudian mencoba mengupayakan jalan damai dengan membuat suatu jenis perjanjian yang dirasa dapat menunda kejadian yang tidak diharapkan. Keinginan pasien ini hampir selalu merupakan upaya untuk memperpanjang hidup. Kemudian keinginan ini diperlembek dengan memohon berkurangnya hari-hari yang penuh penderitaan atau dirasa tidak enak. Tawar-menawar merupakan usaha untuk menunda kematian dan dalam tawar-menawar ini si pasien menjanjikan imbalan “hidup dengan lebih baik”, bahkan memberi batas waktu bagi dirinya sendiri. Tawar-menawar biasanya dilakukan secara rahasia di hadapan Tuhan, atau di sela-sela pembicaraan, atau di ruang imam, atau orang yang dipercaya dalam hidup rohaninya.
Tahap Keempat: Depresi
Bila pasien tidak mampu lagi menghindari penyakitnya, bila dia terpaksa menjalani pembedahan atau masuk rumah sakit untuk perawatan, bila dia mulai mempunyai symptom lain atau menjadi lemah dan kurus, maka dia tidak dapat tersenyum lagi. Muncullah pada saat itu suatu perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan ini mungkin berhubungan langsung dengan penyakitnya. Mungkin pula perasaan kehilangan ini berhubungan dengan akibat sakitnya. Tetapi yang paling terasa sebagai suatu kesedihan adalah kedukaan yang mendalam karena dia harus bersiap-siap untuk berpisah dengan dunia seluruhnya untuk selama-lamanya. Dia bersedih karena harus berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, yang menjadi pusat perjuangan hidupnya, dengan peran yang dimainkan di dalam kehidupan keluarga maupun di masyarakatnya. Pada tahap ini, kalau dia diberi kesempatan untuk mengungkapkan kesedihannya, akan lebih mudah bagi dia untuk menerima nasibnya dengan pasrah. Dia akan berterima kasih kepada orang-orang yang dengan setia mendampinginya tanpa memberikan nasehat untuk tidak bersedih. Pada tahapan ini, umumnya pasien lebih banyak berdiam diri.
Tahap Kelima: Menerima dan Pasrah
Kalau seorang pasien sudah mempunyai cukup waktu—misalnya tidak mengalami kematian mendadak—dan telah dibantu di dalam mengolah langkah-langkah sebelumnya, dia akan sampai kepada tahap ketika dia tidak lagi merasa depresi maupun marah terhadap ‘nasib’nya. Dia akan selalu dapat mengekspresikan perasaan yang sebelumnya, kecemburuannya terhadap mereka yang masih sehat, kemarahannya terhadap mereka yang tidak harus menghadapi akhir hidupnya dengan segera. Dia akan mulai belajar untuk menerima segala kehilangan orang-orang dan tempat yang berarti baginya yang segera datang. Pada tahap ini si pasien merasa capek dan lemah. Dia sering tertidur. Namun tidurnya tersebut berbeda dengan kebutuhan tidur selama waktu depresi dan duka. Tidur ini bukan dimaksudkan untuk menghindari, atau sebagai kesempatan untuk istirahat dari rasa sakit, rasa tidak enak atau rasa terganggu. Kegiatan tidur ini bukanlah suatu keputusasaan atau sikap menyerah yang tanpa harapan atau sikap “aku sudah tidak bisa melawan lagi”, meskipun kadang-kadang ungkapan macam itu terucap pula. Saat penerimaan ini tidak selalu berarti bahagia pula. Tahap ini hampir kosong dari perasaan. Seolah-olah rasa sakit telah tiada, perjuangan sudah selesai, dan tiba saatnya untuk “istirahat terakhir sebelum perjalanan panjang yang segera dimulai.”
Apa yang telah dikemukakan oleh Elisabeth Kubler-Ross tersebut—sebagaimana yang diakuinya sendiri—bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi pada setiap orang. Namun secara umum seseorang yang akan mengalami kematian sebagai akhir dari proses penderitaan akibat penyakit yang menjangkitinya akan mengalami tahapan-tahapan semacam itu. Hal ini memang lebih bersifat psikologis. Tetapi kondisi psikologis seseorang ketika dia mengetahui bahwa suatu penyakit telah menjangkitinya akan sangat mempengaruhi cepat atau lambatnya kesembuhan yang akan dia dapatkan. Sehingga hal ini juga akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses kematian yang akan dia alami.
Penjelasan di atas memberikan jawaban atas persoalan seputar tahapan-tahapan yang dialami seseorang menjelang kematian. Berkaitan dengan kematian itu sendiri, Tabrani Rab (1985 : 1-2) mengatakan terdapat empat penyebab terjadinya kematian pada diri manusia yaitu : berhentinya pernapasan, matinya jaringan otak, tidak berdenyutnya jantung, serta adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri.
Selanjutnya muncul persoalan lebih jauh yakni tentang kapan saatnya dinyatakan bahwa seseorang telah mengalami kematian. Meskipun kematian merupakan hal yang fenomenal di tengah kehidupan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk memutuskan bahwa seseorang telah mengalami kematian.
Pada masa lampau—menurut ahli sejarah berkebangsaan Perancis, Philippe Aries—orang yang akan meninggal dunia secara resmi pamit kepada orang-orang yang dicintainya. Tetapi di sisi lain saat kematian itu sering kali tidak pasti, sehingga bila seseorang sedang mengalami kondisi tertentu yang secara umum dianggap mati, muncul keraguan apakah dia benar-benar telah mengalami kematian. Maka sering kali peti jenazah dilengkapi dengan berbagai peralatan teknis seperti selang untuk bernapas atau bel, sehingga orang yang dengan tidak sengaja dikubur hidup-hidup dapat memberi tanda kepada orang lain (Shannon, 1995 : 56). Hal ini menunjukkan betapa pada masa itu sangat sulit untuk menentukan kondisi kematian bagi seseorang, sehingga menimbulkan keragu-raguan apakah seseorang itu telah benar-benar mati atau belum.
Lalu, di masa sekarang mudahkah untuk menentukan bahwa kematian telah dialami seseorang? Ternyata tidak. Kemajuan ilmu dan teknologi telah menghasilkan berbagai peralatan canggih dalam dunia kedokteran. Pengandaian yang sudah cukup lama dianut oleh banyak orang bahwa, kematian dapat ditetapkan ketika jantung berhenti berdenyut dan pernafasan sudah tidak ada lagi, pada masa sekarang ini sudah tidak bisa dijadikan tolok ukur. Dengan bantuan life support system, orang yang pada masa lampau dianggap telah mati, bisa diyakinkan masih hidup, atau setidaknya diperpanjang masa kehidupannya. Namun benarkah dia hidup atau hanya ilusif belaka yang ditimbulkan oleh life support system itu. Boleh jadi, orang yang bernapas di hadapan kita dengan bantuan life support system itu hanyalah mayat, yakni mayat yang bernapas. Tentu hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri, apa tindakan yang harus diambil terhadap mayat yang seperti itu? Maka terasa perlu adanya definisi yang bisa diterima secara universal sebagai tolok ukur untuk menentukan bilakah seseorang dinyatakan telah mati.
Robert M. Veatch dalam bukunya Death, Dying and the Biological Revolution, sebagaimana yang dikutip oleh Shannon (1995 :58-60), mengemukakan empat pendekatan untuk mendefinisikan kematian. Empat pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, berkaitan dengan jantung dan paru. Definisi ini mencerminkan pengertian tradisional tentang kehidupan dan kematian. Karena napas dan darah merupakan bahan yang menandakan kehidupan. Maka bila pernapasan dan aliran darah tidak terjadi lagi berarti kematian telah menjadi kenyataan. Tetapi hal ini akan menjadi kabur karena pemakaian respirator.
Kedua, berkenaan dengan pemisahan tubuh dan jiwa. Definisi ini dilatarbelakangi oleh perspektif filosofis dan religius. Manusia dipahami sebagai kesatuan tubuh dengan jiwa.atau kesatuan tubuh dan bentuk. Jiwa atau bentuk menjiwai tubuh atau materi. Dari kondisi itu maka tersusunlah makhluk unik yang disebut manusia. Kematian berlangsung bila dua unsur ini dipisahkan. Kematian diartikan sebagai terputusnya kesatuan tubuh dengan jiwa. Definisi ini pun menimbulkan persoalan, yakni kapan saat terputusnya kesatuan itu.
Ketiga, kematian otak. Definisi ketiga berasal dari kriteria untuk koma ireversibel yang ditetapkan oleh sebuah panitia ad hoc pada Harvard Medical School tahun 1968. Kriteria ini adalah tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi atas rangsangan, tidak ada gerak spontan atau pernapasan, tidak ada refleks; dan situasi ini diteguhkan oleh electroencephalogram (EEG). Menurut pandangan ini, otak adalah tempat terjadinya kematian, karena otak adalah organ yang mengatur semua sistem organ lain dan merupakan dasar bagi kehadiran sosial seseorang di dunia. Dengan kematian otak atau ketidaksanggupannya yang ireversibel untuk berfungsi, maka prasyarat biologis bagi keberadaan seseorang sudah tersingkir. Kematian seluruh otak (batang otak, cortex dan neocortex) berarti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integrasi biologisnya dan karena itu juga integrasi sosialnya.
Keempat, kematian neocortex. Bisa terjadi, khususnya dalam kasus koma ireversibel, bahwa hanya batang otak seseorang yang masih aktif. Karena batang otak ini menjalankan sistem saraf kita yang spontan, bisa saja orang itu masih spontan bernapas dan jantungnya masih berdenyut. Menurut definisi ketiga tadi orang itu belum mati. Definisi keempat mencari jalan keluar dari situasi ini dengan hanya menganggap neocortex sebagi dasar bagi definisi kematian. Neocortex dipilih karena tampaknya merupakan prasyarat biologis bagi kesadaran dan kesadaran diri, yang menandai manusia sebagai ciri khasnya.
Ilmu kedokteran modern telah mengembangkan cara yang lebih baik untuk menentukan saat kematian, di antaranya dengan merekam kegiatan otak dengan menggunakan alat yang disebut electroencephalogram (EEG). Bila gambar EEG kelihatan datar, berarti semua aktivitas otak dianggap telah berhenti, maka orang yang bersangkutan dinyatakan mati. Tetapi, seringkali orang dalam keadaan demikian masih bisa dihidupkan lagi, misalnya dalam kasus hypothermia atau overdosis obat. Reanimation dan resuscitation dewasa ini sering dilakukan. Dalam dunia kedokteran dikenal adanya kematian klinis, yakni keadaan yang di situ kegiatan pernafasan, jantung dan reaksi otak kelihatan berhenti, tetapi resuscitation tidak dikesampingkan. Waktu untuk resuscitation umumnya lima menit, dan di dalam kasus istimewa seperti hypothermia diberi waktu tiga puluh menit. Tetapi lewat dari waktu itu akan terjadi kerusakan otak secara total dan diikuti dengan kematian bilologis, yakni saat ketika sekurang-kurangnya otak sudah kehilangan fungsinya secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali. Kematian biologis bersifat definitif: kehilangan fungsi vital dan rusaknya semua organ dan jaringan yang tidak dapat direparasi lagi.
Dalam konteks Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) telah mengeluarkan pernyataan tentang mati. Dalam pernyataan tersebut dikemukakan antara lain bahwa dalam tubuh manusia ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam penentuan kematian seseorang yaitu jantung, paru-paru, dan otak—khususnya batang otak (Kabanga’, 2002 : 160).
Jantung merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan kematian seseorang. Bila jantung berhenti maka akan mengakibatkan berhentinya pernapasan. Bila jantung berhenti bekerja maka pengedaran darah ke seluruh tubuh tidak akan berjalan dan pada gilirannya seluruh organ manusia menjadi kaku. Kemudian paru-paru, oksigen dan anoksemia bagian inilah yang menerimanya. Maka bila paru-paru ini berhenti bekerja, tidak ada lagi yang menarik oksigen masuk ke dalam tubuh manusia, sementara oksigen merupakan kebutuhan vital manusia untuk dapat bernapas. Otak dan segala syarafnya—menurut Soemiatno (1986 : 467)—sangat peka terhadap kekurangan oksigen dan anoksemia. Di sinilah terdapat hubungan yang erat antara otak dan paru-paru. Bila otak/batang otak mati, maka segala syarafnya tidak dapat lagi bekerja secara otomatis, dan dengan demikian secara total tidak lagi dapat berfungsi.
Gunawan dalam bukunya Memahami Etika Kedokteran (1992 : 46), mengutip PP No. 18 Tahun 1981, Bab 1 Pasal 1g yang menyebutkan bahwa meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Sunatrio menegaskan bahwa seseorang dinyatakan mati bila fungsi spontan pernapasan (paru-paru) dan jantung telah berhenti secara pasti atau telah terbukti terjadi kematian batang otak (Sunatrio, 1987 : 132). Menurut Pontifical Academy of Sciences 1995, seseorang dinyatakan mati bila secara ireversibel (berhentinya fungsi spontan secara total) dan dia kehilangan semua kemampuan untuk memadukan dan mengkoordinasikan fungsi fisis dan mental tubuh (Sunatrio, 1987 : 140).
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa dalam perspektif ilmu kedokteran, kematian terjadi bilamana fungsi spontan pernapasan (paru-paru) dan jantung telah berhenti secara pasti (ireversibel) atau otak, termasuk di dalamnya batang otak, telah berhenti secara total. Dengan demikian, kematian berarti berhentinya bekerja secara total paru-paru dan jantung atau otak pada suatu makhluk.
Namun demikian, selama proses meninggal dunia tetap berlangsung dalam konteks teknologis, berbagai definisi ini akan tetap diperdebatkan. Banyaknya definisi tentang mati memunculkan kesan yang tak terelakkan, yakni seolah-olah mati dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Sementara di pihak lain, proses kematian sejak manusia pertama hingga kini tidak pernah berubah sampai berakhirnya sejarah manusia. Maka sudah sewajarnya definisi mati juga tidak berubah-ubah.

Sabtu, Februari 07, 2009

MELACAK AKAR PERBEDAAN DALAM ISLAM

Pendahuluan
Mencermati eksistensi umat Islam akhir-akhir ini—terutama umat Islam di Indonesia—memunculkan apresiasi tersendiri (terutama bagi umat non-muslim) yang sepertinya lebih mengarah kepada hal yang bersifat negatif. Berbagai peristiwa berdarah, penghilangan nyawa, pengeboman, dukun santet, hingga pada isu teroris yang melibatkan oknum-oknum umat Islam menambah kentalnya apresiasi negatif itu lebih mengarah kepada Islam. Apa yang penulis sebutkan sebelumnya hanyalah sebagian kecil dari sejumlah isu yang dihembuskan kalangan non-muslim kepada umat Islam. Melihat realitas yang ada bahwa sebagian kecil dari isu yang ditiupkan itu benar-benar melibatkan oknum umat Islam—Amrozi, Ali Ghufron, Imam Samudera, dan lain-lain—ternyata menimbulkan apresiasi yang berbeda-beda pula di kalangan umat Islam sendiri. Ada sebagian yang menilai bahwa seharusnya umat Islam tidak terlibat dengan hal-hal seperti itu. Ada pula yang berpendapat bahwa hal yang demikian itu sah-sah saja dilakukan bila diniatkan demi untuk memberantas kemungkaran dan kemudhoratan serta demi menegakkan syari’at Islam di muka bumi ini. Ada juga yang kemudian mengambil sikap masa bodoh, tidak mau tahu dan menyerahkan seutuhnya persoalan itu pada penilaian Tuhan.
Di kalangan umat Islam pun muncul sejumlah perbedaan lainnya. Perbedaan yang penulis maksudkan di sini adalah perbedaan dalam pola sikap, sifat, dan pemikiran. Kita bisa melihat bagaimana intelektual muslim Nurcholis Madjid dengan Paramadina-nya menggelindingkan wacana Islam Liberal. Abdurrahman Wahid dengan humanisme-nya yang lintas religius, ras dan kultural. NU dengan pola tradisionalis-nya dan Muhammadiyah dengan modernis-nya. Di tingkat bawah pun muncul sebagian umat Islam yang mengamalkan ajaran Islam dalam bingkai kultural. Selain yang penulis sebutkan itu muncul pula tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Hassan Hanafi dengan Kiri Islam-nya, Hassan al-Banna dengan Ikhwan al-Muslimin-nya, Abul A’la al-Maududi dengan Khilafah Islamiyah-nya. Dalam fiqih, muncul pula ulama-ulama bernafaskan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah, Malikiyah dan Imamiyah. Dalam tasawwuf, muncul thoriqoh Qodiriyah-Naqsabandiyah, Sadziliyah, Adawiyyah, dan sebagainya. Seluruh yang muncul di permukaan itu mewarnai umat Islam dalam menjalani aktivitas keberagamaannya.
Di kalangan umat Islam Indonesia dewasa ini bermunculan beragam corak watak pemikiran. Selain dua organisasi Islam yang telah lama eksis—Muhammadiyah dan NU—terdapat pula organisasi lain yang memiliki kekhasannya sendiri. Ada yang menamakan diri dengan Ahmadiyah, Al-Wasliyah, LDII, Laskar Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, dan sebagainya. Terdapat pula sejumlah umat Islam yang melakukan dakwah dari rumah ke rumah dengan ciri-ciri tersendiri yang membedakan mereka dengan umat Islam yang lain. Dalam ranah perpolitikan, setelah tumbangnya rezim Orde Baru bermunculan sejumlah partai yang memakaikan ke tubuhnya seragam keislaman. Seluruh partai tersebut berjuang demi untuk kemaslahatan umat dengan niat mencari keridhoan Allah. Semua itu menggoreskan warna-warna tersendiri dalam matras pemikiran Islam.
Tentu tidak ada salahnya terdapat perbedaan corak pemikiran di kalangan umat Islam. Bahkan di dalam Islam ditegaskan bahwa perbedaan itu sesungguhnya akan membawa rahmat. Tentu saja bila perbedaan itu bisa dijadikan sebagai sarana untuk saling melengkapi bukan untuk saling menyalahkan.
Berdasarkan uraian tersebut muncul pertanyaan sesungguhnya di mana letak akar perbedaan itu? Adakah muncul perbedaan yang demikian ini dalam bentangan sejarah masa lalu umat Islam?

Awalnya Persoalan Politik
Ahli sejarah berpendapat bahwa sejarah Islam yang murni adalah dari masa Rasulullah hingga berakhirnya masa Khalifah Umar bin Khattab (23 H/644 M). Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, muncul berbagai persoalan yang bernuansa politis terutama dengan apa yang saat ini kita kenal dengan nepotisme. Usman mengangkat sejumlah keluarganya yang terdekat sebagai pemegang tampuk jabatan strategis. Alasan yang digunakan Sang Khalifah mengangkat keluarga terdekatnya adalah bahwa orang-orang itulah yang setia dalam menjaga nama baik beliau sekaligus kepentingan negara. Sikap nepotisme yang diperlihatkan oleh Usman ini tidak bisa diterima oleh rakyat, karena hal itu akan merampas hak masyarakat untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan serta tugas yang pada dasarnya adalah hak bersama. Oleh karena itu sejumlah besar masyarakat meminta agar Usman menghentikan nepotismenya dan mengundurkan diri dari jabatan kekhalifahan. Menanggapi hal ini Usman berpendapat lain dengan menyatakan bahwa jabatan khalifah ibarat busana yang dipakaikan oleh Allah kepadanya. Maka demi mempertahankan tanggung jawab yang bersifat teologis, Usman enggan meletakkan jabatannya. Sikap Khalifah yang demikian ini menyulut api pemberontakan yang mencapai klimaksnya pada peristiwa terbunuhnya Usman saat membaca al-Quran.
Meninggalnya Khalifah Usman (35 H/644 M) membuka sejarah baru dalam wujud pertikaian sengit antara dua golongan; keluarga Usman dan keluarga Ali. Oleh keluarga Usman, Ali dituduh sebagai orang yang turut campur dalam peristiwa pembunuhan Usman. Alasan utama tuduhan itu adalah bahwa Ali sejak semula merasa dirinya lebih berhak untuk menjadi khalifah menggantikan Rasulullah. Setelah kematian Usman, Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah keempat. Pengangkatan Ali sebagai khalifah ditentang oleh Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Gubernur Damaskus sekaligus keluarga terdekat Usman bin Affan. Mu’awiyah mendesak agar Ali menghukum para pembunuh Usman yang salah satu di antaranya adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat Ali. Tetapi Ali tidak menghukumnya, justru mengangkat Muhammad Ibn Abi Bakr sebagai Gubernur Mesir. Perselisihan semakin memanas, suhu politik mulai membara hingga terjadi pertempuran kedua golongan ini di Siffin. Dalam pertempuran itu, pihak Mu’awiyah mengalami kekalahan dan minta berdamai dengan pihak Ali. Dalam arbitrase itu diputuskan bahwa kedua pemuka yang sedang bertentangan itu dijatuhkan. Untuk mengumumkan keputusan itu, dipilih dua orang, satu dari pihak Ali yakni Abu Musa al-Asy’ari dan satu lagi dari pihak Mu’awiyah yakni Amr Ibn al-‘As. Sejarah mencatat bahwa ketawadhuan Abu Musa al-Asy’ari dapat dikalahkan oleh kelicikan Amr Ibn al-‘As. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa sebagai yang tertua, lebih dahulu mengumumkan putusan arbitrase itu ke khalayak ramai untuk menjatuhkan kedua pemuka yang sedang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Ibn al-‘As mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan oleh al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Tentu saja keputusan ini sangat merugikan pihak Ali. Khalifah Ali menolak untuk meletakkan jabatan hingga beliau terbunuh di tahun 661 M.
Sikap Ali yang menyetujui arbitrase dengan Mu’awiyah (sekalipun pada akhirnya gagal juga) menyisakan ketidaksetujuan pada sebagian pendukung Ali. Mereka berpendapat bahwa persoalan kekhalifahan tidak mungkin diputuskan lewat arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tiada hukum selain hukum Allah) atau la hakama illa Allah (tiada pengantara selain Allah). Itulah yang menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat dosa dengan menyetujui diadakannya arbitrase dengan Mu’awiyah. Akhirnya mereka meninggalkan Ali membentuk suatu barisan yang dikenal dengan al-Khawarij,2 yakni orang yang keluar dan memisahkan diri.

Kaum Khawarij
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa pihak Khawarij menganggap Ali telah berbuat dosa. Oleh karena itu mereka pun melawan kepada Khalifah Ali. Sejak saat itu, musuh Ali bertambah satu lagi selain Mu’awiyah dan pengikutnya.
Persoalan yang muncul dalam bentangan matras yang bersifat politis itu kemudian berubah menjadi persoalan teologis. Siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap berada dalam Islam mencuat pada masa itu. Khawarij memandang Ali, Abu Musa al-Asy’ari, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, dan semua yang terkait dengan pengadaan arbitrase itu sebagai golongan kafir. Karena mereka kafir, keluar dari Islam, murtad (apostate), maka mereka wajib dibunuh. Sejarah mencatat, tugas pembunuhan itu hanya satu yang berhasil, yakni yang ditujukan kepada Khalifah Ali Ibn Abi Thalib.
Dalam perjalanannya lebih lanjut, ternyata Khawarij mengalami perpecahan menjadi beberapa sekte. Seiring dengan itu, konsep tentang kekafiran pun mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan hanya orang yang tidak berhukum dengan al-Quran, tetapi juga orang yang melakukan dosa besar (murtakib al-kaba’i-capital sinners). Persoalan ini kemudian memunculkan tiga aliran teologi dalam Islam dengan pendirian yang berbeda-beda dalam menyikapi persoalan itu.
Pertama, Kaum Khawarij, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu adalah kafir, dianggap murtad (keluar dari Islam) dan oleh karena itu halal—bahkan wajib—untuk dibunuh.
Kedua, Kaum Murji’ah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tetap masih mukmin dan tidak tergolong sebagai orang kafir. Apakah Allah akan mengampuninya, semua diserahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Ketiga, Kaum Mu’tazilah, menolak kedua pendapat sebelumnya. Mereka mengaskan bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin. Orang yang berdosa besar berada di antara golongan mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-manzilitain).
Dalam tulisan ini tidak akan dibahas keseluruhan golongan itu. Di sini hanya akan disampaikan bagaimana kondisi pemahaman keislaman kaum khawarij beserta sekte-sekte lainnya yang merupakan hasil dari perpecahan kaum itu sendiri. Penulis memandang bahwa corak pemikiran keislaman yang berkembang dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari bentangan historis-teologis yang pernah mewarnai umat Islam dan salah satunya adalah pemikiran kaum Khawarij beserta sekte-sektenya.
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Baduwi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun pemikirannya. Mereka memiliki hati dan kemauan yang keras, pemberani, bersikap merdeka dan tidak bergantung pada orang lain. Kemajuan pemikiran keagamaan tidak mampu mengubah sifat asli mereka sebagai orang Baduwi. Walaupun mereka telah mengenal agama namun tetap memiliki sifatnya yang khas; bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Baduwi mereka tetap jauh dari sentuhan ilmu pengetahuan. Seluruh ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist mereka pahami menurut lafaznya belaka tanpa penafsiran dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan model pemahaman mereka adalah iman dan pemahaman yang dilandaskan pada pemikiran sederhana (tekstual), cupek, dan fanatik. Iman yang tebal, pemahaman yang sempit, ditunjang dengan kefanatikan membuta, menjadikan mereka sebagai orang-orang yang tidak dapat mentolerir adanya penyimpangan terhadap ajaran agama sebagaimana yang mereka pahami, walaupun itu hanya penyimpangan kecil. Ini pula yang menyebabkan perpecahan di kalangan mereka sendiri.
Sub Sekte Khawarij
Perpecahan yang terjadi di tubuh Khawarij menyebabkan mereka terbagi ke dalam sejumlah sub sekte. Al-Syahrastani menyebutkan 18 sub sekte, Al-Baghdadi menyebutkan 20 sub sekte dan Al-Asy’ari menyebutkan jumlah yang lebih besar lagi. Di antara sekian banyak sub sekte itu yang dapat penulis cantumkan adalah sebagai berikut :
1. Al-Muhakkimah
Mereka inilah golongan Khawarij asli, yang sebelumnya mendukung Ali kemudian karena adanya arbitrase menjauh dari Ali bahkan menjadi musuh Ali setelah mereka menyematkan label kekafiran pada setiap orang yang terlibat dalam arbitrase itu. Mereka ini pula yang memperluas makna kekafiran hingga menjangkau kepada orang-orang yang berbuat dosa besar. Berzina dan membunuh adalah dosa besar. Setiap orang Islam yang melakukannya dalam pandangan mereka telah murtad (keluar dari Islam) dan termasuk dalam golongan orang kafir. Oleh karena itu halal bahkan wajib untuk dibunuh.
2. Al-Azariqah
Golongan ini muncul setelah al-Muhakkimah hancur. Daerah penyebaran mereka adalah perbatasan antara Irak dan Iran. Pemimpinnya adalah Nafi’ Ibn al-Azraq dan dari nama itu pula sebutan untuk sub sekte ini muncul. Al-Azariqah lebih radikal daripada al-Muhakkimah. Term kafir tidak lagi mereka gunakan, namun beralih kepada term musyrik (polytheist). Di dalam Islam syirk (polytheism) menempati kedudukan sebagai dosa yang lebih besar daripada kufr.
Selanjutnya yang dipandang musyrik adalah semua orang Islam yang tidak memiliki kesepahaman dengan mereka. Bahkan orang Islam yang sepaham dengan mereka namun tidak mau berhijrah—masuk—ke daerah kekuasaan mereka tetap dipandang sebagai orang musyrik. Apabila ada orang yang masuk ke wilayah mereka dan mengaku sebagai bagian dari mereka akan diadakan pengujian dengan cara menyerahkan kepadanya seorang tawanan untuk dibunuh. Bila ia bersedia membunuh tawanan itu maka ia diterima dan diakui sebagai golongan al-Azariqah. Apabila tidak bersedia maka kepalanya sendiri yang akan dipenggal.
Al-Azariqah menganggap daerah mereka sebagai darul Islam, sementara daerah lain sebagai darul kufr yang wajib diperangi. Orang yang mereka pandang telah musyrik bukan hanya terbatas pada orang-orang dewasa tetapi juga terhadap anak-anak dari orang yang dianggap musyrik itu. Paham mereka yang ekstrim seperti itu memunculkan anggapan bagi setiap anggotanya bahwa hanya merekalah yang benar-benar Islam, selebihnya dipandang sebagai orang musyrik yang wajib diperangi. Siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku sebagai orang Islam yang tidak termasuk ke dalam golongan al-Azariqah, mereka bunuh.
3. An-Najdat
Pemimpinnya bernama Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi. An-Najdat berbeda dengan dua golongan sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Ada pun anggota mereka yang melakukan dosa besar, sekalipun mendapat siksa tapi tidak di dalam neraka dan pada akhirnya akan masuk ke dalam syurga. Menurut pendapat mereka, dosa kecil akan menjadi dosa besar bila dilakukan secara terus menerus dan pelakunya sendiri akan menjadi musyrik.
Selanjutnya mereka juga menyatakan bahwa yang diwajibkan bagi setiap muslim adalah mengetahui Allah dan para rasul-Nya, mengetahui bahwa haram membunuh orang Islam dan percaya kepada seluruh yang diwahyukan Allah kepada rasul-Nya. Orang yang tidak mengetahui hal ini tidak dapat diampuni. Terhadap hal-hal selain yang mereka sebutkan itu, orang Islam tidak diwajibkan untuk mengetahuinya. Pendapat mereka lainnya menegaskan bahwa bila ada seseorang melakukan tindakan yang haram dengan tidak tahu bahwa hal itu haram, maka ia dapat dimaafkan. Tetapi tentu saja yang mereka maksudkan itu adalah golongan mereka sendiri.


4. Al-‘Ajaridah
Mereka ini adalah pengikut ‘Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad. Kaum ini bersifat lebih lunak karena menurut mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban—seperti yang diajarkan dalam al-Azraq dan An-Najdat—tetapi hanya merupakan kebajikan. Kaum ‘Ajaridah diperbolehkan tinggal di luar wilayah kekuasaan mereka—tidak dianggap kafir. Dalam hal kemusyrikan, anak kecil mereka anggap tidak bersalah dan tidak ikut dalam kemusyrikan sekalipun orang tuanya musyrik.
Pendapat mereka tentang al-Qur’an menyatakan bahwa tidak mungkin sebuah kitab suci mengandung cerita cinta. Surat Yusuf di dalam al-Qur’an mereka pandang sebagai unsur yang memuat cerita cinta itu, sehingga mereka tidak mengakui eksistensinya di dalam al-Qur’an.
5. As-Sufriah
Pemimpinnya adalah Ziad Ib al-Asfar. Menurut mereka, dosa besar itu terbagi dua. Pertama, dosa besar yang ada sanksinya di dunia, seperti berzina dan membunuh. Kedua, dosa besar yang tidak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa. Hanya dosa besar yang disebut terakhir ini yang dapat membawa pelakunya ke dalam kekafiran.
Mengenai kufr mereka membedakannya menjdi dua. Pertama, kufr bi inkar al-ni’mah (mengingkari rahmat Tuhan). Kedua, kufr bi inkar al-rububiah (mengingkari Tuhan). Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus bebararti keluar dari Islam. Pendapat mereka yang lebih spesifik lagi menyatakan bahwa perempuan Islam diperbolehkan kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan Islam. Alasan utamanya adalah demi keamanan dirinya.
6. Al-Ibadah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Pemimpinnya adalah ‘Abdullah Ibn Ibad yang memisahkan diri dari al-Azariqah pada tahun 686 M.
Menurut mereka, orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin ataupun musyrik, tetapi kafir. Terhadap orang Islam yang demikian itu, boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan. Syahadat mereka masih dapat diterima dan membunuh mereka adalah haram.
Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka tidak boleh diperangi karena itu merupakan dar tawhid (daerah orang yang mengesakan Tuhan). Sedangkan camp pemerintah mereka pandang sebagai dar kufr dan harus diperangi.
Terhadap orang yang berdosa besar mereka menyebutnya sebagai muwahhid (orang yang mengesakan Allah), tetapi bukan mukmin.

Refleksi
Lewat uraian di atas kita bisa melihat bahwa nuansa perbedaan pemikiran pada masa kaum Khawarij dengan sejumlah sub sektenya masih mewarnai perbedaan-perbedaan pemikiran pada masa sekarang ini. Sekalipun Khawarij beserta para pengikutnya an sich tidak ada saat ini, namun cara berpikir dan cara memahami Islam ala mereka masih kita temukan di sebagian umat Islam. Dewasa ini kita pun tidak jarang mengetahui bahwa ada orang Islam yang mengafirkan orang Islam lainnya. Mereka membuat kelompok sendiri, hidup diperkampungan dengan pola kehidupan dan pemikiran yang sama. Mendirikan masjidnya sendiri, memilih imamnya sendiri dan mengadakan interaksi sosial hanya dikalangan mereka sendiri. Apabila ada orang Islam lainnya yang singgah diperkampungan mereka dan menjalankan sholat di masjid yang mereka dirikan, maka mereka akan membersihkan kembali masjid itu karena mereka menganggap “najis” orang yang baru mengerjakan sholat di tempat itu. Mereka pun enggan untuk berjabat tangan dengan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Kita juga menemukan ada sebagian dari umat Islam yang tidak bersedia sholat jamaah selain di masjid yang telah ditentukan untuk mereka. Mereka tidak mau menjadi makmum kecuali bagi imam yang telah ditentukan bagi mereka. Kondisi yang demikian ini tentu sangat bertentangan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah.
Di era sekarang ini juga ditemukan sebagian umat Islam yang tidak membekali diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ajaran agama dipahami sesuai dengan teks belaka. Segala sesuatu yang tidak tercantum dalam al-Qur’an dan hadist, dianggap sebagai suatu kemungkaran. Sempitnya cara berpikir sebagian dari umat Islam, membuat mereka terbatas dalam ruang geraknya.
Islam sesungguhnya adalah agama yang membawa kepada kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan dunia-akhirat. Tetapi bila Islam dipahami tidak sesuai dengan konteksnya tentulah agama ini akan menjadi asing. Penafsiran Islam di era Rasulullah tentu perlu lebih ditafsirkan lagi di era global ini. Tidak semua penafsiran Islam di era kehidupan Nabi bisa digunakan sebagai kacamata untuk mengamati problematika hidup saat ini. Tentu dibutuhkan penafsiran yang lebih arif sehingga Islam mampu menjawab segala tantangan zaman dan menjadi solusi bagi setiap permasalahan umat.
Perbedaan cara berpikir dan pemahaman di kalangan umat Islam sesungguhnya bukan merupakan perpecahan. Lewat perbedaan ini akan ditemukan kesempurnaan. Bagaikan tubuh manusia yang di susun atas pola-pola yang berbeda tetapi saling melengkapi satu sama lain sehingga memunculkan harmoni dan kesempurnaan. Perbedaan akan membawa kesadaran bagi kita bahwa ada kekurangan yang harus kita sempurnakan. Orang yang tidak pernah berbeda pemahaman akan merasa bahwa pemahaman dirinya yang paling benar. Merasa serba tahu dan merasa telah sempurna caranya dalam melaksanakan ajaran agama. Hal ini akan mengakibatkan kemandegan berpikir, kurang kritis dalam menyikapi permasalahan hidup, kurang tanggap terhadap kondisi sosial yang pada akhirnya menjadikan dirinya terpinggirkan. Maka dalam Islam ditegaskan bahwa perbedaan pendapat dan pemahaman itu akan membawa rahmat apabila bisa dijadikan sebagai sarana untuk saling melengkapi kekurangan.


Penutup
Bila kita lihat realitas umat Islam, apakah saat ini perbedaan itu menjadi rahmat? Pertanyaan ini menjadi tugas bagi kita untuk merefleksikannya dan lewat itu kita akan menemukan jawabannya. Apabila jawaban itu telah kita temukan, pertanyaan selanjutnya adalah bersediakah kita untuk menerima perbedaan itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperkokoh tiang penopang kekuatan Islam ini? Kembali kita harus berefleksi lagi. (Wallahu a’lam)



2 Plural/jama’ dari kata “karijiy/exodus”, berarti mereka yang keluar, mengungsi dan mengasingkan diri. Kata ini diambil dari sumber kata “kharaja” yang berarti keluar.