Minggu, November 16, 2008

CINTA KEPADA ALLAH

Cinta kepada Allah merupakan tujuan akhir dan titik klimaks dari seluruh tingkatan dan tahapan (maqamat) dalam kehidupan orang yang menapaki jalan menuju keridhaan Allah. Tidak satu pun tingkatan yang melebihi tingginya cinta (mahabbah) kepada Allah, kecuali semuanya merupakan hasil akhir dari perasaan cinta itu sendiri, seperti rindu kepada Allah (asy-syauq) dan rasa tenang bersama Allah (al-uns). Dan setiap tingkatan yang lebih rendah dari rasa cinta ini, merupakan pendahulu-pandahulunya saja, semisal taubat, sabar, zuhud, dan yang lain.
Cinta (mahabbah) adalah tingkatan yang paling tinggi, agung, bermanfaat, dan merupakan kewajiban manusia untuk mencintai Allah yang dengannya manusia akan tetap menuhankan-Nya. Karena Tuhan adalah Dzat yang dituhankan, atau sebagai sesembahan Tunggal, sehingga wajib bagi makhluk ciptaan-Nya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan perintah yang diberikan Allah, dan menjauhi semua larangan-Nya. Hakekat iabadah sendiri adalah totalitas (keseluruhan) cinta yang disertai oleh totalitas rasa tunduk dan merendahkan diri di hadapan Sang Khalik.
Cinta kepada Allah merupakan cinta yang berdiri sendiri dan sebagai sumber utama dari keseluruhan cinta kepada selain Allah. Hal ini diperkuat dengan adanya kitab-kitab samawi yang telah diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui para Rasul, sebagai suatu kenikmatan yang tiada tara. Dalam al-Qur’an Allah telah banyak memberikan penjelasan tentang hal tersebut. Diantaranya adalah firman Allah :
“Dan segala nikmat yang ada padamu, maka dari Allah datangnya, dan bila kamu ditimpa kemudharatan, maka kepada Allah saja kamu memohon pertolongan.” (Q.S. An-Nahl [16]: 53)
Dalam ayat lain diterangkan :
“Dan diantara manusia, ada golongan yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 165)
Dalam ayat lain diterangkan pula :
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut kepada orang-orang mukmin, yang bersikap keras kepada orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut terhadap celaan dari orang-orang yang mencela.” (Q.S. al-Maidah [5]: 54)
Mencintai Allah dan Rasul-Nya, dapat dijadikan tolok ukur bagi keimanan seseorang. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan :
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Kepada Rasulullah saja kita harus mencintai, apalagi kepada Allah. Tapi, kenyataannya kini terbalik. Allah senantiasa memberikan karunia kepada umat manusia, sementara manusia sendiri justru sering melanggar larangan-Nya. Allah mencintai manusia dengan segala kenikmatan yang Dia curahkan, sedangkan manusia hanya membuat timbulnya murka Allah dengan berbagai kemaksiatan. Padahal Allah tidak membutuhkan bantuan manusia, tetapi manusialah yang secara mutlak membutuhkan bantuan dari Allah. Namun demikian, karunia Allah yang demikian luas tidak banyak menghalangi manusia dari berbuat kemaksiatan, dan kemaksiatan serta dosa yang dipikul tidak pernah memutuskan kehendak Allah untuk mencurahkan kenikmatan kepada mereka.
Jika kita mencintai seseorang dan ia pun mengimbanginya, maka kecintaannya itu ada maksud-maksud tertentu yang akan menguntungkan dirinya. Lain halnya dengan kecintaan Allah terhadap kita, bukan untuk memenuhi kepentingan-Nya, tetapi justru untuk memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Biasanya, orang lain yang bergaul dengan kita, jika pergaulan itu ternyata tidak menguntungkannya, maka dia segera akan memutuskannya. Sebab dia hanya ingin mendapatkan keuntungan saja dari persahabatannya dengan kita. Namun Allah bersahabat dengan kita dengan maksud untuk memberikan kebahagiaan dan kesenangan yang hakiki. Allah memberikan ganti untuk satu dirham yang kita infakkan dengan sepuluh kali lipatnya, bahkan sampai tujuh ratus kali, atau sampai berlipat ganda dan tidak terhitung lagi oleh kita. Padahal setiap keburukan perbuatan yang kita lakukan hanya dibalas sesuai dengan keburukannya. Disamping itu, Allah sangat mudah memaafkan kesalahan dan menghapus dosa yang kita perbuat, jika ditebus dengan amal kebajikan. Allah menciptakan manusia untuk berbakti kepada-Nya dan dunia seisinya serta akhirat diciptakan untuk mereka. Karena itu, tidak ada sesuatu pun yang dengannya kita dapat mengharap ridha dan cinta, selain daripada Allah Subhanahuwata’ala.
Segala kebutuhan makhluk, berada dalam kekuasaan Allah. Dia Maha pemurah lagi Maha Pemberi. Mengabulkan segala permintaan hamba-Nya, lebih dari yang diminta oleh manusia. Dia-lah yang melipatgandakan balasan bagi amal kebajikan yang dilakukan sekalipun sedikit, serta mengampuni dan menghapus kesalahan yang besar. Allah itulah Tuhan sebagai tempat memohon pertolongan bagi seluruh penghuni langit dan bumi, dan setiap saat bergelimang dengan kesibukan mengatur makhluk-Nya. Tidak pernah merasa terganggu dan jemu oleh banyaknya permintaan mereka yang datang silih berganti. Bahkan Allah sendiri sangat senang dan memuji orang-orang yang meminta kepada-Nya, serta murka kepada mereka yang enggan berdoa. Sebab hanya orang yang enggan berdoa sajalah yang tergolong manusia yang sombong. Dia malu terhadap hamba-Nya, meskipun manusia tidak merasa malu kepada-Nya. Dan menutupi aib manusia, walaupun manusia enggan menutupi aibnya sendiri. Dan Dia menyayangi hamba-Nya, ironinya sang hamba tidak sayang pada dirinya sendiri. Dia mengajak mereka beribadah dengan berbagai imbalan kenikmatan dan kemuliaan, untuk menjaga kehormatan diri dan dan memperoleh ridha-Nya, tetapi tragisnya banyak yang menolak ajakan tersebut. Karena itu, diutuslah para Rasul untuk mengemban amanat, yang dibekali kitab-kitab sebagai tali perjanjian, kemudian Allah turun sendiri untuk memanggil hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan :
“Tuhan kita Yang Maha Luhur dan banyak karunia-Nya, turun setiap sepertiga malam yang terakhir ke langit dunia, seraya berseru, ‘Barangsiapa yang bermunajat (berdoa kepada-Ku), maka Aku kabulkan doanya.Dan barangsiapa memohon ampunan kepada-Ku, pasti Aku ampuni dosanya.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Boleh saja terjadi, hati manusia tidak sedikitpun tergores rasa cinta kepada Allah, yang tidak ada satu pun kebajikan kecuali berasal dari-Nya. Tidak ada Dzat lain yang dapat mengabulkan doa, menghapus noda, mengampuni dosa, menutupi semua aib dan cela, menghilangkan duka dan nestapa, menyelamatkan dari semua musibah yang menimpa, dan yang memberikan semua yang diminta oleh seorang hamba, kecuali Allah Subhanahuwata’ala. Sebab cinta kepada Allah merupakan air kehidupan bagi hati dan konsumsi pokok bagi setiap jiwa insani. Tidak ada kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan dan kehidupan bagi hati, kecuali dengan cinta kepada Allah. Apabila hati seseorang kehilangan cinta, maka ia akan merasakan sakit yang sangat dalam, melebihi sakitnya mata yang kehilangan kornea, telinga yang kehilangan kendang pendengaran, bahkan merasakan sakitnya kerusakan hati. Apabila hati telah kosong darai rasa cinta kepada Sang Khalik, maka dapat dipastikan bahwa rusaknya hati lebih parah daripada rusaknya raga ketika terpisah dari ruhnya. Hal semacam ini sulit dipercaya, kecuali bagi mereka yang memiliki cahaya hidayatullah. Sebab menurut pemahaman orang yang tidak mendapatkan petunjuk dari Allah, orang yang meninggal tidak lagi merasakan sakit, sekalipun dia dilukai.
Fatah al-Musili mengatakan, “Orang yang memiliki mahabbah (cinta), baginya dunia ini bukan tempat untuk mereguk semua kelezatan yang kekal, sehingga dia selalu mengingat Allah, walau sekejap mata.” Sebagian salafush-shalih menegaskan, “Orang yang bermahabbah, hatinya senantiasa melayang mencari Allah, banyak menyebut nama-Nya, mencari keridhaan-Nya dengan segala cara yang dia mampu untuk melakukannya, baik berupa amalan fardhu maupun sunnah, dengan merasakan rindu yang membara kepada-Nya.”
Ada seorang wanita dari kalangan salafush-shalih memberikan nasehat kepada putranya, “Anak-anakku, biasakanlah kamu mencintai dan taat kepada Allah. Sebab orang-orang yang bertakwa hatinya selalu tunduk pada ketaatan, sehingga seluruh anggota tubuhnya merasa asing ketika berbuat di luar itu. Jika Iblis, si laknatullah meniupkan angin kemaksiatan, maka maksiat itu akan berlalu begitu saja dari diri mereka, lantaran merasa malu kepada Allah, sehingga selamatlah diri mereka dari tipuan setan.” Abdullah bin Mubarak juga telah menyampaikan pesan dalam sebuah syair :
Engkau durhaka kepada Tuhanmu
tapi engkau mengaku
cinta kepada-Nya
alangkah naifnya dirimu,
seandainya cintamu tulus suci,
niscaya engkau akan taat kepada-Nya
karena
orang yang mencintai kekasihnya,
akan menuruti segala keinginannya
Jadi, hanya orang yang memiliki rasa keimanan yang mendalam lagi sempurna yang akan mampu mengerti tentang pentingnya rasa cinta (mahabbah) kepada Allah dan merealisasikannya dalam bentuk amal yang nyata dalam kehidupan beragama maupun masyarakat. Semoga kita termasuk ke dalamnya. Wallahu ‘alam… (J. Rinaldi, 2003)
Kata-kata bijaknya:
Agungnya Sang Khalik dalam perasaanmu pasti mengecilkan semua makhluk dalam pandanganmu.

MENGELUARKAN CINTA PADA DUNIA DARI DALAM HATI


Seseorang bertanya, “Bagaimana saya harus mengeluarkan cinta dunia dari dalam hati saya?” Jawabnya, “Hendaklah kamu memperhatikan cintamu pada ‘tuhan-tuhan’ hati dan ‘anak-anak’-nya. Bagaimana cinta pada dunia memperdaya dan menentang mereka di belakang hati. Kemudian cinta pada dunia menaikkan dunia satu tingkat di atas yang alin sehingga kedudukannya menjadi lebih tinggi di atas makhluk dan mengukuhkan kedudukannya. Dunia menampakkan berbagai khazanah dan keajaibannya. Pada saat demikian, mereka merasa berbahagia karena ketinggian mereka, karena kedudukan, dan senangnya kehidupan mereka, serta pengkhidmatan dunia kepada mereka. Sebab, dunia telah mengambil alih, mengendalikan, memperdaya, dan melemparkan mereka dari kedudukannya yang tinggi ke jurang paling bawah dari kedudukan mereka. Dengan begitu, mereka terputus, tercerai berai, dan hancur.
Pada kenyataan, kedudukan dunia ini nampak dengan banyaknya sultan, raja, dan orang kaya sejak zaman Nabi Adam as. hingga hari kiamat. Dengan demikian, dunia meninggi kemudian menurun; maju kemudian mundur; menjadi kaya lalu kembali menjadi fakir. Orang yang tidak lazim di antara mereka adalah orang yang selamat dari dunia dan dapat mengalahkannya, serta selamat dari keburukannya, bukan orang yang dikalahkan olehnya. Orang yang selamat dari keburukannya hanyalah orang yang mengenal serta selalu bersikap waspada dari bahaya dan tipu daya dunia.
Kepada orang yang bertanya, ingatlah, bila engkau memandang dengan mata hati berbagai kecacatan dunia, niscaya engkau akan mengeluarkan rasa cinta pada dunia dari hatimu. Tetapi bila engkau memandang dunia dengan mata kepala, niscaya akan disibukkan oleh pesonanya, dan akan melupakan cacatnya. Engkau tidak berdaya untuk mengeluarkan rasa cinta kepadanya dari dalam hati, tidak juga bersikap zuhud dalam menghadapinya. Dunia akan membunuhmu sebagaimana ia telah membunuh orang-orang sebelummu.
Bersikap zuhudlah dalam menghadapi dunia sampai engkaumerasa puas. Apabila telah merasa puas, niscaya akan mengetahui cacat dunia dan engkau bisa bersikap zuhud terhadapnya. Merasa puas berarti menerima dengan hati, selaras dengan batin, dan menaati apa yang diinginkan juga menjauhi yang dilarang keduanya (hati-batin). Hati akan puas dengan pemberian keduanya dan senantiasa berlaku sabar atas penolakannya. Kita melihat mahkota ketakwaan di atas kepalanya dan sikap taqarrub di dalam hatinya.
Hendaklah engkau beriman, bersikap jujur, dan meninggalkan dusta terhadap kaum Muslim. Janganlah menentang karena mereka adalah raja dunia dan akhirat. Hendaklah engkau memiliki kedekatan dengan mereka, niscaya bisa memiliki apa saja. Sesungguhnya Allah telah membuat hati mereka kaya, dan memenuhinya dengan kedekatan kepada-Nya dan dengan cahaya serta kemuliaan-Nya. Mereka tidak memandang awalnya, tetapi memandnag akibat dan akhirnya. Mereka menjadikan sebagai bagian dari mata batin. Mereka tidak beribadah karena rasa takut kepada kehancuran, bukan pula berharap pahala dari Allah. Allah menciptakan mereka untuk-Nya dan demi persahabatan dengan diri-Nya. Dia juga menciptakan apa yang tidak engkau ketahui. Dia melakukan apa saja yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya, orang munafik itu bila berkata dia berdusta; apabila berjanji dia ingkar; apabila dipercaya dia berkhianat. Barangsiapa yang berusaha melepaskan diri dari tiga perkara yang disabdakan Nabi saw., niscaya akan terlepas dari perbuatan munafik. Perkara tersebut merupakan alat ukur yang membedakan antara orang Mukmin denga orang munafik.
Ambillah alat ukur berupa cermin, lalu pandanglah hatimu melalui cermin itu. Perhatikanlah, apakah engkau seorang Mukmin atau seorang munafik; seorang muwahhid atau seorang musyrik?
Dunia adalah fitnah yang menyibukkan; kecuali diambil dengan niat yang benar semata-mata demi akhirat. Apabila seseorang berniat dengan benar dalam memanfaatkan dunia, jadilah akhiratuntuknya. Setiap nikmat dapat menafikan syukur kepada Allah. Oleh karena itu, hendaklah engkau mengarahkan nikmat Allah dengan cara bersyukur kepada-Nya. Ada dua cara bersyukur kepada Allah : (1) Memohon pertolongan, dengan nikmat itu, untuk berlaku taat dan melipur lara orang-orang yang fakir di dunia. (2) Mengakui, karena nikmat itu, kepada Pemberinya dan bersyukur kepada Zat Yang menurunkannya, yakni Allah.
Seorang ulama pernah bertutur, “Segala sesuatu yang menyibukkan dan memalingkanmu dari Allah adalah bencana. Sesungguhnya kesibukan yang memalingkan dari berdzikir kepada-Nya adalah bencana. Shalat, puasa, haji dan seluruh perbuatan yang baik; semua itu bisa menjadi bencana bagimu. Apabila nikmat yang diberikan Allah menyibukkanmu untuk mengingat-Nya, maka nikmat itu juga bisa mencelakakanmu. Engkau telah menerima nikmat yang telah Dia berikan, dan berlaku maksiat kepada-Nya serta kembali kepada kepentingan-kepentingan selain untuk-Nya. Dista dan kemunafikan demikian kukuh bertengger pada gerak dan diammu, sosok dan pikiranmu; malam dan siang. Setan telah memperdaya dirimu dan menghiasi dengan dusta dan amal buruk.
Engkau berdusta, bahkan dalam shalat. Engkau berkata, “Allahu Akbar” tetapi engkau berdusta, karena di dalam hatimu ada tuhan selain Allah. Sebab, segala sesuatu yang menjadi sandaranmu, dia berarti tuhan. Segala sesuatu yang kau takuti dan kau harapkan, berarti Tuhan. Hati tidak selaras dengan lisan. Amal tidak sesuai dengan perkataan. Hendaklah engkau mengatakan “Allahu Akbar” seribu kali di dalam hati dan sekali di dalam lisan. Tidakkah merasa malu, tatkala mengatakan “Laailaaha illa Allah”, sementara engkau memiliki ribuan tuhan selain Allah?
Hendaklah engkau bertobat kepada Allah dalam seluruh perkara yang kau lakukan.
Barangsiapa yang memiliki ilmu, dan telah merasa puas dengan ilmu itu, tapi tanpa amal, ingat! Tidaklah bermanfaat apabila engkau berkata, “Saya orang alim,” sementara kamu berdusta. Bagaimana mungkin kamu rela pada diri sendiri, bahwa kamu memerintahkan orang lain dengan perkara-perkara yang kamu sendiri tidak melaksanakannya?
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian sendiri tidak mengerjakannya? (Q.S. Ash-Shaf [61]: 2)
Celakalah, apabila memerintah manusia untuk berbuat jujur, sementara engkauberdusta; kau memerintah manusia untuk bertauhid, sementara kau berbuat syirik; engkau memerintah manusia untuk berbuat ikhlas, sementara engkau berbuat riya’ dan munafik; engkau memerintah manusia untuk meninggalkan berbagai kemaksiatan, sementara engkau melakukannya. Rasa malu telah hilang dari kedua matamu. Seandainya pada dirimu ada iman, niscaya kamu akan merasa malu. Rasulullah saw. bersabda, “Rasa malu adalah sebagian dari iman.”
Tidak ada keimanan; tidak ada keyakinan; dan tidak juga sikap amanah. Engkau telah mengkhianati ilmu sehingga hilanglah sikap amanah. Engkau telah menulis pengkhianatan di sisi Allah. Saya tidak tahu obatnya selain tobat dan keteguhan. Barangsiapa yang benar keimanannya kepada Allah dan takdir-Nya, berarti selamatlah segala urusan dengan-Nya dan dia tidak menjadikan bagi-Nya seorang sekutu pun.
Janganlah bersekutu dengan makhluk. Apabila benar dalam hal ini, Allah akan menyelamatkanmu dari berabagi bencana. Dia kemudian berpindah dari keimanan kepada keyakinan, lalu meraih kedudukan sebagai wali abdal dan kemudia wali ghaib. Boleh jadi, akhirnya menjadi wali quthb bagi seluruh makhluk-Nya; jin, manusia, malaikat, arwah. Dia mengedepankan, mendekatkan, memimpin makhluk-Nya. Dia memilikinya, mengokohkan, mencintai, dan menanamkan rasa cintanya. Semua itu didasari oleh keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, yang disertai dengan pembenaran. Dasarnya adalah Islam, kemudian iman, lalu amal yang dilandaskan kepada Kitab Allah dan syariat Rasul-Nya, Muhammad saw.; setelah itu sikap ikhlas di dalam amalnya yang disertai sikap tauhid, keimanannya menjadi sempurna. Orang Mukmin akan fana kepada dirinya, amalnya, dan segala sesuatu selain Allah. Dia kerjakan berbagai amal perbuatan semantara dia ber-i’tizal darinya. Dia senantiasa menerangi dirinya dan seluruh makhluk selain Allah sehingga Dia menunjukkan jalan-Nya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Orang-orang yang bermujahadah di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (Q.S. al-Ankabut [29]: 69)
Hendaklah engkau termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zuhud. Engkau mesti rela terhadap peraturan-Nya. Dia-lah Yang membolak-balikkan setiap jiwa di tangan takdir-Nya. Apabila selaras dengan-Nya, Allah akan mengalihkan kepada kehendak-Nya. Berbahagialah orang-orang yang senantiasa menerima takdir, menunggu perlakuan Pemegang takdir; dan tidak mengingkari nikmat yang telah ditakdirkan. Salah satu tanda kenikmatan dari Pemegang takdir adalah rahmat-Nya, kedekatan dengan-Nya, kecukupan dengan-Nya dari seluruh makhluk-Nya. Apabila hati seorang hamba telah sampai kepada Allah, Dia akan membuatnya cukup dari makhluk-Nya; mendekatkan dirinya kepada-Nya, mengokohkan dan memilikinya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Sesungguhnya engkau hari ini, di tangan Kami-lah tempat yang sangat aman. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 54)
Dia menempatkanmua dalam kerajaan-Nya sebagaimana telah menempatkan Yusuf as. untuk mengurus dan mengatur kerajaan di Mesir. Dia menjadikan Yusuf as. merasa aman dengan berbagai khazanahnya.
Demikian keadaan hati. Apabila telah bersih akan tampak kebersihan dan kesuciannya dari perkara-perkara selain Allah. Dia mengokohkan hati dan kerajaan-Nya dunia dan akhirat bagi para hamba-Nya. Jadilah dia kiblat bagi para murid. Jalan menuju keadaan ini adalah ilmu dan amal. Oleh karena itu, hendaklah engkau tidak membiasakan diri bersikap batil dan malas dari ketaatan kepada Allah, karena akan menjadi bencana.
Nabi saw. bersabda, “Apabila seorang hamba telah membatasi diri dalam amalnya, Allah niscaya akan mengujinya dengan keraguan.”
Allah mengujinya dengan keraguan terhadap seuatu yang bukan bagiannya; keraguan terhadap keluarga, sakitnya anggota keluarga, berkurangnya keuntungan dalam lapangan kehidupan, kedurhakaan anak kepada dirinya, dan penentangan istrinya. Semua itu merupakan hukuman karena ketaatan kepada Tuhannya dibatasi.
Allah berfirman:
Allah tidak akan pernah mengazab kalian apabila kalian bersyukur dan beriman. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 147)
Tidak seorang pun dibenarkan berhujjah atas-Nya dengan qadha dan taqdir-Nya; Tindakan dan hukum ada pada-Nya.
Celakalah, sampai kapan engkau akan disibukkan oleh diri dan keluarga dari mengingat Allah. Seorang ulama berkata, “Seandainya engkau mengetahui anak kalian, niscaya kalian akan berpaling dan menyibukkan diri bersama Tuhan.”
Hendaklah engkau tahu bahwa anak hanyalah ‘barang’ ciptaan dan sibukkanlah dirimu untuk beribadah kepada Allah. Sebab, keluarga dan anak-anak tidak akan mengantarkanmu sedikit pun kepada Allah. Hendaklah engkau bersama anak-anak dan keluarga, membiasakan bersikap qana’ah atas apa yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaklah engkau menyibukkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Apabila engkau diberi keluasan rizki, maka rizki itu datang pada waktu yang telah ditentukan Allah. Yakinlah bahwa rizki itu datang dari allah. Esakanlah Allah, dan jangan menyekutukan-Nya dengan makhluk. Apabila engkau tidak memiliki bagian dalam takdir-Nya, maka engkau akan merasa kaya karena zuhud dan sikap qana’ah.
Orang Mukmin yang bersikap qana’ah, apabila membutuhkan sesuatu, dia akan selalu menghadap Tuhannya, dengan mengajukanpermohonan seraya tunduk, merendahkan diri, dan bertobat kepada-Nya. Apabila Allah memberinya tobat—yang selama ini dia kehendaki—dia akan bersyukur kepada-Nya atas pemberian itu. Sementara itu, apabila Allah tidak memberinya, dia akan tetap menerimanya dan bersikap sabar atas segala kenhendak-Nya tanpa sedikit pun berpaling dan menentang-Nya. Dia tidak menuntut kekayaan dengan agamanya, sikap riya’, dan kemunafikan; sebagaimana yang dilakukan oleh orang munafik. Sebab, sikap riya’, kemunafikan, dan maksiat berakibat kefakiran, kehinaan, dan jauh dari pintu Allah. Orang yang gemar berbuat riya’ dan kemunafikan senantiasa mengambil bagian dari dunia ini dengan memperalat agama dan memperdaya orang-orang saleh. Dia berbicara dengan perkataan mereka, mengenakan pakaian dengan baju mereka, tetapi tidak beramal sebagaimana amal mereka. Dia mengklaim sebagai keturunan mereka padahal bukan termasuk keturunan mereka.
Ya Allah, hindarkanlah kami dari segala sesuatu selain Diri-Mu
dan hadirkanlah kami bersama-Mu
Ya Tuhan kami, limpahkanlah kepada kami kebajikan di dunia
dan di akhirat, serta lindungilah kami dari siksa api neraka
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk menggenggam dunia bukan meletakkannya di dalam hati. Wallahu a’lam…(Disarikan dari al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmani oleh J. Rinaldi)
Kata-kata bijak : “Kuasai dunia dalam genggaman tanganmu, jangan biarkan dunia menjadi penguasa dalam hatimu”