Sabtu, Februari 07, 2009

MELACAK AKAR PERBEDAAN DALAM ISLAM

Pendahuluan
Mencermati eksistensi umat Islam akhir-akhir ini—terutama umat Islam di Indonesia—memunculkan apresiasi tersendiri (terutama bagi umat non-muslim) yang sepertinya lebih mengarah kepada hal yang bersifat negatif. Berbagai peristiwa berdarah, penghilangan nyawa, pengeboman, dukun santet, hingga pada isu teroris yang melibatkan oknum-oknum umat Islam menambah kentalnya apresiasi negatif itu lebih mengarah kepada Islam. Apa yang penulis sebutkan sebelumnya hanyalah sebagian kecil dari sejumlah isu yang dihembuskan kalangan non-muslim kepada umat Islam. Melihat realitas yang ada bahwa sebagian kecil dari isu yang ditiupkan itu benar-benar melibatkan oknum umat Islam—Amrozi, Ali Ghufron, Imam Samudera, dan lain-lain—ternyata menimbulkan apresiasi yang berbeda-beda pula di kalangan umat Islam sendiri. Ada sebagian yang menilai bahwa seharusnya umat Islam tidak terlibat dengan hal-hal seperti itu. Ada pula yang berpendapat bahwa hal yang demikian itu sah-sah saja dilakukan bila diniatkan demi untuk memberantas kemungkaran dan kemudhoratan serta demi menegakkan syari’at Islam di muka bumi ini. Ada juga yang kemudian mengambil sikap masa bodoh, tidak mau tahu dan menyerahkan seutuhnya persoalan itu pada penilaian Tuhan.
Di kalangan umat Islam pun muncul sejumlah perbedaan lainnya. Perbedaan yang penulis maksudkan di sini adalah perbedaan dalam pola sikap, sifat, dan pemikiran. Kita bisa melihat bagaimana intelektual muslim Nurcholis Madjid dengan Paramadina-nya menggelindingkan wacana Islam Liberal. Abdurrahman Wahid dengan humanisme-nya yang lintas religius, ras dan kultural. NU dengan pola tradisionalis-nya dan Muhammadiyah dengan modernis-nya. Di tingkat bawah pun muncul sebagian umat Islam yang mengamalkan ajaran Islam dalam bingkai kultural. Selain yang penulis sebutkan itu muncul pula tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Hassan Hanafi dengan Kiri Islam-nya, Hassan al-Banna dengan Ikhwan al-Muslimin-nya, Abul A’la al-Maududi dengan Khilafah Islamiyah-nya. Dalam fiqih, muncul pula ulama-ulama bernafaskan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah, Malikiyah dan Imamiyah. Dalam tasawwuf, muncul thoriqoh Qodiriyah-Naqsabandiyah, Sadziliyah, Adawiyyah, dan sebagainya. Seluruh yang muncul di permukaan itu mewarnai umat Islam dalam menjalani aktivitas keberagamaannya.
Di kalangan umat Islam Indonesia dewasa ini bermunculan beragam corak watak pemikiran. Selain dua organisasi Islam yang telah lama eksis—Muhammadiyah dan NU—terdapat pula organisasi lain yang memiliki kekhasannya sendiri. Ada yang menamakan diri dengan Ahmadiyah, Al-Wasliyah, LDII, Laskar Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, dan sebagainya. Terdapat pula sejumlah umat Islam yang melakukan dakwah dari rumah ke rumah dengan ciri-ciri tersendiri yang membedakan mereka dengan umat Islam yang lain. Dalam ranah perpolitikan, setelah tumbangnya rezim Orde Baru bermunculan sejumlah partai yang memakaikan ke tubuhnya seragam keislaman. Seluruh partai tersebut berjuang demi untuk kemaslahatan umat dengan niat mencari keridhoan Allah. Semua itu menggoreskan warna-warna tersendiri dalam matras pemikiran Islam.
Tentu tidak ada salahnya terdapat perbedaan corak pemikiran di kalangan umat Islam. Bahkan di dalam Islam ditegaskan bahwa perbedaan itu sesungguhnya akan membawa rahmat. Tentu saja bila perbedaan itu bisa dijadikan sebagai sarana untuk saling melengkapi bukan untuk saling menyalahkan.
Berdasarkan uraian tersebut muncul pertanyaan sesungguhnya di mana letak akar perbedaan itu? Adakah muncul perbedaan yang demikian ini dalam bentangan sejarah masa lalu umat Islam?

Awalnya Persoalan Politik
Ahli sejarah berpendapat bahwa sejarah Islam yang murni adalah dari masa Rasulullah hingga berakhirnya masa Khalifah Umar bin Khattab (23 H/644 M). Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, muncul berbagai persoalan yang bernuansa politis terutama dengan apa yang saat ini kita kenal dengan nepotisme. Usman mengangkat sejumlah keluarganya yang terdekat sebagai pemegang tampuk jabatan strategis. Alasan yang digunakan Sang Khalifah mengangkat keluarga terdekatnya adalah bahwa orang-orang itulah yang setia dalam menjaga nama baik beliau sekaligus kepentingan negara. Sikap nepotisme yang diperlihatkan oleh Usman ini tidak bisa diterima oleh rakyat, karena hal itu akan merampas hak masyarakat untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan serta tugas yang pada dasarnya adalah hak bersama. Oleh karena itu sejumlah besar masyarakat meminta agar Usman menghentikan nepotismenya dan mengundurkan diri dari jabatan kekhalifahan. Menanggapi hal ini Usman berpendapat lain dengan menyatakan bahwa jabatan khalifah ibarat busana yang dipakaikan oleh Allah kepadanya. Maka demi mempertahankan tanggung jawab yang bersifat teologis, Usman enggan meletakkan jabatannya. Sikap Khalifah yang demikian ini menyulut api pemberontakan yang mencapai klimaksnya pada peristiwa terbunuhnya Usman saat membaca al-Quran.
Meninggalnya Khalifah Usman (35 H/644 M) membuka sejarah baru dalam wujud pertikaian sengit antara dua golongan; keluarga Usman dan keluarga Ali. Oleh keluarga Usman, Ali dituduh sebagai orang yang turut campur dalam peristiwa pembunuhan Usman. Alasan utama tuduhan itu adalah bahwa Ali sejak semula merasa dirinya lebih berhak untuk menjadi khalifah menggantikan Rasulullah. Setelah kematian Usman, Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah keempat. Pengangkatan Ali sebagai khalifah ditentang oleh Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Gubernur Damaskus sekaligus keluarga terdekat Usman bin Affan. Mu’awiyah mendesak agar Ali menghukum para pembunuh Usman yang salah satu di antaranya adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat Ali. Tetapi Ali tidak menghukumnya, justru mengangkat Muhammad Ibn Abi Bakr sebagai Gubernur Mesir. Perselisihan semakin memanas, suhu politik mulai membara hingga terjadi pertempuran kedua golongan ini di Siffin. Dalam pertempuran itu, pihak Mu’awiyah mengalami kekalahan dan minta berdamai dengan pihak Ali. Dalam arbitrase itu diputuskan bahwa kedua pemuka yang sedang bertentangan itu dijatuhkan. Untuk mengumumkan keputusan itu, dipilih dua orang, satu dari pihak Ali yakni Abu Musa al-Asy’ari dan satu lagi dari pihak Mu’awiyah yakni Amr Ibn al-‘As. Sejarah mencatat bahwa ketawadhuan Abu Musa al-Asy’ari dapat dikalahkan oleh kelicikan Amr Ibn al-‘As. Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa sebagai yang tertua, lebih dahulu mengumumkan putusan arbitrase itu ke khalayak ramai untuk menjatuhkan kedua pemuka yang sedang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Ibn al-‘As mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan oleh al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Tentu saja keputusan ini sangat merugikan pihak Ali. Khalifah Ali menolak untuk meletakkan jabatan hingga beliau terbunuh di tahun 661 M.
Sikap Ali yang menyetujui arbitrase dengan Mu’awiyah (sekalipun pada akhirnya gagal juga) menyisakan ketidaksetujuan pada sebagian pendukung Ali. Mereka berpendapat bahwa persoalan kekhalifahan tidak mungkin diputuskan lewat arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tiada hukum selain hukum Allah) atau la hakama illa Allah (tiada pengantara selain Allah). Itulah yang menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali telah berbuat dosa dengan menyetujui diadakannya arbitrase dengan Mu’awiyah. Akhirnya mereka meninggalkan Ali membentuk suatu barisan yang dikenal dengan al-Khawarij,2 yakni orang yang keluar dan memisahkan diri.

Kaum Khawarij
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa pihak Khawarij menganggap Ali telah berbuat dosa. Oleh karena itu mereka pun melawan kepada Khalifah Ali. Sejak saat itu, musuh Ali bertambah satu lagi selain Mu’awiyah dan pengikutnya.
Persoalan yang muncul dalam bentangan matras yang bersifat politis itu kemudian berubah menjadi persoalan teologis. Siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap berada dalam Islam mencuat pada masa itu. Khawarij memandang Ali, Abu Musa al-Asy’ari, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, dan semua yang terkait dengan pengadaan arbitrase itu sebagai golongan kafir. Karena mereka kafir, keluar dari Islam, murtad (apostate), maka mereka wajib dibunuh. Sejarah mencatat, tugas pembunuhan itu hanya satu yang berhasil, yakni yang ditujukan kepada Khalifah Ali Ibn Abi Thalib.
Dalam perjalanannya lebih lanjut, ternyata Khawarij mengalami perpecahan menjadi beberapa sekte. Seiring dengan itu, konsep tentang kekafiran pun mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan hanya orang yang tidak berhukum dengan al-Quran, tetapi juga orang yang melakukan dosa besar (murtakib al-kaba’i-capital sinners). Persoalan ini kemudian memunculkan tiga aliran teologi dalam Islam dengan pendirian yang berbeda-beda dalam menyikapi persoalan itu.
Pertama, Kaum Khawarij, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu adalah kafir, dianggap murtad (keluar dari Islam) dan oleh karena itu halal—bahkan wajib—untuk dibunuh.
Kedua, Kaum Murji’ah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tetap masih mukmin dan tidak tergolong sebagai orang kafir. Apakah Allah akan mengampuninya, semua diserahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Ketiga, Kaum Mu’tazilah, menolak kedua pendapat sebelumnya. Mereka mengaskan bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin. Orang yang berdosa besar berada di antara golongan mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-manzilitain).
Dalam tulisan ini tidak akan dibahas keseluruhan golongan itu. Di sini hanya akan disampaikan bagaimana kondisi pemahaman keislaman kaum khawarij beserta sekte-sekte lainnya yang merupakan hasil dari perpecahan kaum itu sendiri. Penulis memandang bahwa corak pemikiran keislaman yang berkembang dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari bentangan historis-teologis yang pernah mewarnai umat Islam dan salah satunya adalah pemikiran kaum Khawarij beserta sekte-sektenya.
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Baduwi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun pemikirannya. Mereka memiliki hati dan kemauan yang keras, pemberani, bersikap merdeka dan tidak bergantung pada orang lain. Kemajuan pemikiran keagamaan tidak mampu mengubah sifat asli mereka sebagai orang Baduwi. Walaupun mereka telah mengenal agama namun tetap memiliki sifatnya yang khas; bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Baduwi mereka tetap jauh dari sentuhan ilmu pengetahuan. Seluruh ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist mereka pahami menurut lafaznya belaka tanpa penafsiran dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan model pemahaman mereka adalah iman dan pemahaman yang dilandaskan pada pemikiran sederhana (tekstual), cupek, dan fanatik. Iman yang tebal, pemahaman yang sempit, ditunjang dengan kefanatikan membuta, menjadikan mereka sebagai orang-orang yang tidak dapat mentolerir adanya penyimpangan terhadap ajaran agama sebagaimana yang mereka pahami, walaupun itu hanya penyimpangan kecil. Ini pula yang menyebabkan perpecahan di kalangan mereka sendiri.
Sub Sekte Khawarij
Perpecahan yang terjadi di tubuh Khawarij menyebabkan mereka terbagi ke dalam sejumlah sub sekte. Al-Syahrastani menyebutkan 18 sub sekte, Al-Baghdadi menyebutkan 20 sub sekte dan Al-Asy’ari menyebutkan jumlah yang lebih besar lagi. Di antara sekian banyak sub sekte itu yang dapat penulis cantumkan adalah sebagai berikut :
1. Al-Muhakkimah
Mereka inilah golongan Khawarij asli, yang sebelumnya mendukung Ali kemudian karena adanya arbitrase menjauh dari Ali bahkan menjadi musuh Ali setelah mereka menyematkan label kekafiran pada setiap orang yang terlibat dalam arbitrase itu. Mereka ini pula yang memperluas makna kekafiran hingga menjangkau kepada orang-orang yang berbuat dosa besar. Berzina dan membunuh adalah dosa besar. Setiap orang Islam yang melakukannya dalam pandangan mereka telah murtad (keluar dari Islam) dan termasuk dalam golongan orang kafir. Oleh karena itu halal bahkan wajib untuk dibunuh.
2. Al-Azariqah
Golongan ini muncul setelah al-Muhakkimah hancur. Daerah penyebaran mereka adalah perbatasan antara Irak dan Iran. Pemimpinnya adalah Nafi’ Ibn al-Azraq dan dari nama itu pula sebutan untuk sub sekte ini muncul. Al-Azariqah lebih radikal daripada al-Muhakkimah. Term kafir tidak lagi mereka gunakan, namun beralih kepada term musyrik (polytheist). Di dalam Islam syirk (polytheism) menempati kedudukan sebagai dosa yang lebih besar daripada kufr.
Selanjutnya yang dipandang musyrik adalah semua orang Islam yang tidak memiliki kesepahaman dengan mereka. Bahkan orang Islam yang sepaham dengan mereka namun tidak mau berhijrah—masuk—ke daerah kekuasaan mereka tetap dipandang sebagai orang musyrik. Apabila ada orang yang masuk ke wilayah mereka dan mengaku sebagai bagian dari mereka akan diadakan pengujian dengan cara menyerahkan kepadanya seorang tawanan untuk dibunuh. Bila ia bersedia membunuh tawanan itu maka ia diterima dan diakui sebagai golongan al-Azariqah. Apabila tidak bersedia maka kepalanya sendiri yang akan dipenggal.
Al-Azariqah menganggap daerah mereka sebagai darul Islam, sementara daerah lain sebagai darul kufr yang wajib diperangi. Orang yang mereka pandang telah musyrik bukan hanya terbatas pada orang-orang dewasa tetapi juga terhadap anak-anak dari orang yang dianggap musyrik itu. Paham mereka yang ekstrim seperti itu memunculkan anggapan bagi setiap anggotanya bahwa hanya merekalah yang benar-benar Islam, selebihnya dipandang sebagai orang musyrik yang wajib diperangi. Siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku sebagai orang Islam yang tidak termasuk ke dalam golongan al-Azariqah, mereka bunuh.
3. An-Najdat
Pemimpinnya bernama Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi. An-Najdat berbeda dengan dua golongan sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Ada pun anggota mereka yang melakukan dosa besar, sekalipun mendapat siksa tapi tidak di dalam neraka dan pada akhirnya akan masuk ke dalam syurga. Menurut pendapat mereka, dosa kecil akan menjadi dosa besar bila dilakukan secara terus menerus dan pelakunya sendiri akan menjadi musyrik.
Selanjutnya mereka juga menyatakan bahwa yang diwajibkan bagi setiap muslim adalah mengetahui Allah dan para rasul-Nya, mengetahui bahwa haram membunuh orang Islam dan percaya kepada seluruh yang diwahyukan Allah kepada rasul-Nya. Orang yang tidak mengetahui hal ini tidak dapat diampuni. Terhadap hal-hal selain yang mereka sebutkan itu, orang Islam tidak diwajibkan untuk mengetahuinya. Pendapat mereka lainnya menegaskan bahwa bila ada seseorang melakukan tindakan yang haram dengan tidak tahu bahwa hal itu haram, maka ia dapat dimaafkan. Tetapi tentu saja yang mereka maksudkan itu adalah golongan mereka sendiri.


4. Al-‘Ajaridah
Mereka ini adalah pengikut ‘Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad. Kaum ini bersifat lebih lunak karena menurut mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban—seperti yang diajarkan dalam al-Azraq dan An-Najdat—tetapi hanya merupakan kebajikan. Kaum ‘Ajaridah diperbolehkan tinggal di luar wilayah kekuasaan mereka—tidak dianggap kafir. Dalam hal kemusyrikan, anak kecil mereka anggap tidak bersalah dan tidak ikut dalam kemusyrikan sekalipun orang tuanya musyrik.
Pendapat mereka tentang al-Qur’an menyatakan bahwa tidak mungkin sebuah kitab suci mengandung cerita cinta. Surat Yusuf di dalam al-Qur’an mereka pandang sebagai unsur yang memuat cerita cinta itu, sehingga mereka tidak mengakui eksistensinya di dalam al-Qur’an.
5. As-Sufriah
Pemimpinnya adalah Ziad Ib al-Asfar. Menurut mereka, dosa besar itu terbagi dua. Pertama, dosa besar yang ada sanksinya di dunia, seperti berzina dan membunuh. Kedua, dosa besar yang tidak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa. Hanya dosa besar yang disebut terakhir ini yang dapat membawa pelakunya ke dalam kekafiran.
Mengenai kufr mereka membedakannya menjdi dua. Pertama, kufr bi inkar al-ni’mah (mengingkari rahmat Tuhan). Kedua, kufr bi inkar al-rububiah (mengingkari Tuhan). Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus bebararti keluar dari Islam. Pendapat mereka yang lebih spesifik lagi menyatakan bahwa perempuan Islam diperbolehkan kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan Islam. Alasan utamanya adalah demi keamanan dirinya.
6. Al-Ibadah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Pemimpinnya adalah ‘Abdullah Ibn Ibad yang memisahkan diri dari al-Azariqah pada tahun 686 M.
Menurut mereka, orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin ataupun musyrik, tetapi kafir. Terhadap orang Islam yang demikian itu, boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan. Syahadat mereka masih dapat diterima dan membunuh mereka adalah haram.
Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka tidak boleh diperangi karena itu merupakan dar tawhid (daerah orang yang mengesakan Tuhan). Sedangkan camp pemerintah mereka pandang sebagai dar kufr dan harus diperangi.
Terhadap orang yang berdosa besar mereka menyebutnya sebagai muwahhid (orang yang mengesakan Allah), tetapi bukan mukmin.

Refleksi
Lewat uraian di atas kita bisa melihat bahwa nuansa perbedaan pemikiran pada masa kaum Khawarij dengan sejumlah sub sektenya masih mewarnai perbedaan-perbedaan pemikiran pada masa sekarang ini. Sekalipun Khawarij beserta para pengikutnya an sich tidak ada saat ini, namun cara berpikir dan cara memahami Islam ala mereka masih kita temukan di sebagian umat Islam. Dewasa ini kita pun tidak jarang mengetahui bahwa ada orang Islam yang mengafirkan orang Islam lainnya. Mereka membuat kelompok sendiri, hidup diperkampungan dengan pola kehidupan dan pemikiran yang sama. Mendirikan masjidnya sendiri, memilih imamnya sendiri dan mengadakan interaksi sosial hanya dikalangan mereka sendiri. Apabila ada orang Islam lainnya yang singgah diperkampungan mereka dan menjalankan sholat di masjid yang mereka dirikan, maka mereka akan membersihkan kembali masjid itu karena mereka menganggap “najis” orang yang baru mengerjakan sholat di tempat itu. Mereka pun enggan untuk berjabat tangan dengan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Kita juga menemukan ada sebagian dari umat Islam yang tidak bersedia sholat jamaah selain di masjid yang telah ditentukan untuk mereka. Mereka tidak mau menjadi makmum kecuali bagi imam yang telah ditentukan bagi mereka. Kondisi yang demikian ini tentu sangat bertentangan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah.
Di era sekarang ini juga ditemukan sebagian umat Islam yang tidak membekali diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ajaran agama dipahami sesuai dengan teks belaka. Segala sesuatu yang tidak tercantum dalam al-Qur’an dan hadist, dianggap sebagai suatu kemungkaran. Sempitnya cara berpikir sebagian dari umat Islam, membuat mereka terbatas dalam ruang geraknya.
Islam sesungguhnya adalah agama yang membawa kepada kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan dunia-akhirat. Tetapi bila Islam dipahami tidak sesuai dengan konteksnya tentulah agama ini akan menjadi asing. Penafsiran Islam di era Rasulullah tentu perlu lebih ditafsirkan lagi di era global ini. Tidak semua penafsiran Islam di era kehidupan Nabi bisa digunakan sebagai kacamata untuk mengamati problematika hidup saat ini. Tentu dibutuhkan penafsiran yang lebih arif sehingga Islam mampu menjawab segala tantangan zaman dan menjadi solusi bagi setiap permasalahan umat.
Perbedaan cara berpikir dan pemahaman di kalangan umat Islam sesungguhnya bukan merupakan perpecahan. Lewat perbedaan ini akan ditemukan kesempurnaan. Bagaikan tubuh manusia yang di susun atas pola-pola yang berbeda tetapi saling melengkapi satu sama lain sehingga memunculkan harmoni dan kesempurnaan. Perbedaan akan membawa kesadaran bagi kita bahwa ada kekurangan yang harus kita sempurnakan. Orang yang tidak pernah berbeda pemahaman akan merasa bahwa pemahaman dirinya yang paling benar. Merasa serba tahu dan merasa telah sempurna caranya dalam melaksanakan ajaran agama. Hal ini akan mengakibatkan kemandegan berpikir, kurang kritis dalam menyikapi permasalahan hidup, kurang tanggap terhadap kondisi sosial yang pada akhirnya menjadikan dirinya terpinggirkan. Maka dalam Islam ditegaskan bahwa perbedaan pendapat dan pemahaman itu akan membawa rahmat apabila bisa dijadikan sebagai sarana untuk saling melengkapi kekurangan.


Penutup
Bila kita lihat realitas umat Islam, apakah saat ini perbedaan itu menjadi rahmat? Pertanyaan ini menjadi tugas bagi kita untuk merefleksikannya dan lewat itu kita akan menemukan jawabannya. Apabila jawaban itu telah kita temukan, pertanyaan selanjutnya adalah bersediakah kita untuk menerima perbedaan itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperkokoh tiang penopang kekuatan Islam ini? Kembali kita harus berefleksi lagi. (Wallahu a’lam)



2 Plural/jama’ dari kata “karijiy/exodus”, berarti mereka yang keluar, mengungsi dan mengasingkan diri. Kata ini diambil dari sumber kata “kharaja” yang berarti keluar.