Senin, Februari 22, 2010

BEGINILAH PARA SAHABAT MENCINTAI RASULULLAH SAW

Ibn Qayyim al-Jawziyyah berkata: “Cinta tidak mungkin didefinisikan secara lebih jelas kecuali dengan cinta lagi. Definisi cinta sesungguhnya adalah wujud cinta itu sendiri. Cinta tidak mungkin bisa digambarkan secara lebih jelas dibandingkan apa yang digambarkan oleh cinta lagi.”

Meskipun cinta tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, namun menurut Ibn Qayyim, cinta bisa dirumuskan dengan memperhatikan turunan kata cinta, yang dalam bahasa Arab disebut mahabbah. Asal kata mahabbah adalah hubb. Terdapat lima makna untuk akar kata hubb ini. Pertama, al-shafaa wa al-bayaadh, yang artinya putih bersih. Kedua, al-‘uluww wa al-zhuhuur, artinya tinggi dan tampak. Ketiga, al-luzuum wa al-tsubuut, artinya terus-menerus dan menetap. Keempat, lubb, yakni inti sari sesuatu. Kelima, al-hifz wa al-imsaak, artinya menjaga dan menahan. Nah, sekarang kita akan menakar kadar cinta kita kepada Rasulullah SAW dengan lima hal tersebut.

Pertama, al-shafaa wa al-bayaadh, putih bersih. Cinta itu harus murni untuk sesuatu yang dicintai. Kemurnian cinta itu ditandai dengan adanya ketulusan, kejujuran dan kesetiaan. Anda tidak akan mengkhianati orang yang Anda cintai, bukan? Jika Anda mencintai Rasulullah SAW, tentunya Anda akan tetap setia padanya. Putih bersih cinta Anda kepadanya akan memberikan kekuatan dalam diri Anda untuk tidak mencampur kecintaan Anda itu dengan motif-motif duniawi. Pendek kata, Anda akan memberikan seluruh komitmen Anda kepada Rasulullah SAW.

Beberapa saat sebelum Perang Badar pecah, Rasulullah SAW pernah menguji cinta para sahabatnya. Kepada mereka dihadapkan dua pilihan: menyerang kafilah dagang dari Syam yang dipimpin oleh Abu Sufyan atau menyerang pasukan Quraisy Mekah yang dipimpin oleh ‘Utbah dan Abu Jahal? Ternyata di antara para sahabat banyak yang menghendaki kafilah dagang. Alasannya sederhana, kafilah dagang itu tak memiliki senjata yang mencukupi, tak terlatih berperang, dan tentunya lebih menguntungkan secara materi. Sementara itu, Rasulullah SAW atas petunjuk Allah SWT, lebih memilih menyerang pasukan Quraisy yang saat itu telah bergerak ke arah Madinah dengan jarak tempuh yang tinggal 3 hari lagi.

Peristiwa ini diinformasikan Allah SWT kepada kita lewat firman-Nya:
“Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (QS. Al-Anfal: 7)

Kepada para sahabat Rasulullah SAW bersabda: “Tuhan menjanjikan kepada kalian 2 pilihan—menyerang kafilah dagang atau menyerang pasukan Quraisy?” Mendengar ucapan Rasulullah SAW tersebut, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra berdiri seraya berkata: “Ya Rasul, kita serang pasukan Quraisy saja. Mereka itu tidak akan pernah beriman setelah kafir dan tidak akan pernah merendah setelah perkasa.” Beliau mempersilakan Abu Bakar duduk. Setelah itu beliau bersabda kepada Umar bin Khaththab ra: “Kemukakan pendapatmu kepadaku!” Umar berdiri dan mengatakan perkataan yang sama dengan Abu Bakar. Rasulullah SAW pun menyuruhnya duduk kembali.

Kemudian Miqdad ra berdiri: “Ya Rasulullah, kami sudah beriman kepadamu, sudah membenarkanmu, dan kami bersaksi bahwa yang engkau bawa itu adalah kebenaran dari sisi Allah. Demi Allah, jika engkau memerintahkan kami untuk menerjang pohon yang keras dan berduri, niscaya kami akan melakukannya, dan bergabung bersamamu. Kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Hai Musa, pergilah engkau bersama Tuhanmu, berperanglah kalian berdua, kami akan duduk di sini saja.’ Tapi kami akan berkata: ‘Pergilah engkau bersama Tuhanmu, berperanglah dan kami akan berperang bersamamu.”

Wajah Nabi SAW berbinar mendengar perkataan itu. Beliau kemudian mendoakan Miqdad ra. Ketika beliau menghadap ke arah kalangan Anshar, berdirilah seorang pemuda bernama Sa’ad bin Mu’adz ra. Ia berkata: “Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, sungguh kami sudah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan menyaksikan bahwa apa yang engkau bawa adalah dari sisi Allah. Perintahkan kepada kami apa saja yang engkau kehendaki. Demi Allah, sekiranya engkau perintahkan kami untuk terjun ke dalam lautan, niscaya kami akan terjun ke dalamnya. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu segala yang menenteramkan hatimu. Berangkatlah bersama kami, wahai Rasulullah, dalam keberkahan Allah.”

Lalu berangkatlah Rasulullah SAW bersama para sahabat untuk menyongsong musuh yang datang dengan persenjataan lengkap. Peristiwa ini diabadikan Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu keluar dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (QS. Al-Anfal: 5)

Sikap Miqdad dan Sa’ad bin Mu’adz menunjukkan cinta setia mereka kepada Rasulullah SAW. Mereka segera menangkap kehendak kekasihnya dan mereka mengesampingkan berbagai tujuan duniawi demi membahagiakan Nabi SAW yang mereka sangat cintai. Di dalamnya juga terdapat tanda kedua dari cinta, al-‘uluww wa al-zhuhuur, tinggi dan tampak. Artinya, mereka menyaksikan dengan jelas kehendak Rasulullah SAW sebagai sang kekasih. Sehingga itulah yang mereka utamakan.

Abdullah bin Hisyam ra berkisah kepada kita: “Kami sedang bersama Nabi SAW. Beliau memegang tangan Umar bin Khaththab. Umar berkata: ‘Ya Rasul, engkau lebih aku cintai daripada apa pun selain diriku sendiri. Nabi SAW kemudian bersabda: ‘Tidak. Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, belum sempurna imanmu sebelum aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.’ Umar bekata: ‘Sekarang memang demikian. Demi Allah, aku lebih mencintaimu daripada diriku sendiri.’ Nabi SAW bersabda: ‘Sekaranglah, hai Umar.’”

Ali bin Abi Thalib ra di tanya: “Bagaimana kecintaan kelian kepada Rasul SAW?” Ia menjawab: “Demi Allah, beliau lebih kami cintai dari harta kami, anak-anak kami, orangtua kami, bahkan lebih kami cintai daripada air sejuk bagi orang yang kehausan.”

Kebenaran ucapan Ali itu memang terbukti. Pada saat perang Uhud, ada seorang sahabat perempuan Anshar yang keluarganya mengalami syahid. Mereka adalah ayah, saudara, dan suaminya sendiri. Sama sekali ia tidak menatap ke arah jenazah keluarganya itu. Ia justru mencari-cari Rasulullah seraya bertanya: “Mana Rasulullah dan bagaimana keadaannya?” Orang-orang menjawab: “Beliau baik-baik saja. Seperti yang engkau kehendaki.” Ia berkata lagi: “Tunjukkan beliau padaku agar aku bisa menatap wajah sucinya!” Tatkala Rasulullah tampil di hadapannya, ia berkata: “Ya Rasul, sesudah berjumpa denganmu, sungguh semua musibah terasa kecil bagiku.”

Sahabat lain bernama Zaid bin Ad-Datsanah ra pernah ditangkap oleh kaum musyrikin. Ia diseret dari Masjid al-Haram ke padang pasir yang sangat panas sambil tak henti-hentinya dihujani dengan berbagai siksaan. Abu Sufyan yang memerintahkan penangkapan dan penyiksaan itu berkata padanya: “Hai Zaid, maukah engkau Muhammad kami ambil dan kami pukul kuduknya di sini. Sedangkan engkau kami bebaskan dan bisa hidup tenang di tengah keluargamu?” Zaid yang telah berada di ambang kematian akibat siksaan itu, seakan-akan memperoleh energi yang sangat besar hingga ia bangkit dan berkata: “Hai Abu Sufyan, tidak…!! Demi Allah, aku tidak suka duduk di tengah keluargaku sementara sebuah duri menusuk telapak kaki Muhammad.” Mendengar ucapan Zaid itu, Abu Sufyang berkata: “Aku belum pernah menyaksikan manusia mencintai seseorang seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”
Kecintaan kepada Rasulullah SAW seperti yang ditampakkan oleh Zaid bin Ad-Datsanah adalah puncak keimanan. Nabi SAW telah bersabda: “Tidak beriman salah seorang dari kamu hingga ia mencintaiku melebihi cintanya kepada anaknya, orangtuanya, dan seluruh manusia.” Dalam hal ini sesungguhnya Rasulullah SAW hanya menengaskan makna firman Allah: “Katakanlah: ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Jika pecinta telah mendahulukan Rasulullah SAW ketimbang siapa pun dan apa pun, maka hatinya akan selalu terpaut padanya. Secara jasmaniah ia ingin selalu berdekatan dengan Nabi SAW, memandang wajah sucinya, dan menikmati kehadirannya. Secara ruhaniah, hatinya tidak dapat melepaskan diri dari ikatan kenangan kepadanya. Inilah tanda cinta ketiga al-luzum wa al-tsubut-tidak mau berpisah dan jauh dari sang kekasih.

Di Madinah, ada seorang pedagang minyak. Setiap pagi, sebelum berangkat ke warungnya, ia selalu singgah terlebih dahulu di halaman rumah Rasulullah. Ia menunggu sampai junjungannya muncul. Dengan penuh cinta ia memandang wajah sang Nabi yang mulia. Pada suatu hari, ia datang. Seperti biasa ia memuaskan hatinya dengan memandang wajah Rasulullah SAW. Setelah itu ia pergi ke tempat kerjanya. Tidak lama kemudian ia kembali lagi dan memohon izin kepada Nabi agar ia bisa sekali lagi memang wajah beliau. Setelah puas, ia pamit dan berangkat ke pasar. Selama seminggu setelah itu Rasul SAW tak pernah melihatnya lagi. Ketika beliau menanyakan perihal lelaki itu kepada para sahabat, beliau memperoleh jawaban bahwa ia telah meninggal dunia seminggu sebelumnya. Rupanya itulah pertemuan terakhir Nabi dengannya. Untuknya Rasulullah berkata: “Karena kecintaannya kepadaku, Allah mengampuni dosa-dosanya.”

Seorang laki-laki Anshar bernama Tsauban datang menemui Nabi SAW. Ia mengadu: “Ya Rasulallah, aku tidak tahan berpisah darimu. Jika aku masuk ke rumahku, lalu aku ingat dirimu, maka aku tinggalkan harta dan keluargaku untuk menemuimu. Aku lepaskan kerinduanku dengan memandang wajah sucimu. Lalu, aku ingat pada hari kiamat. Pada hari itu engkau dimasukkan ke surga dan menempati kedudukan yang paling tinggi. Lalu, bagaimana denganku, ya Rasul?” Beliau tak mampu menjawab pertanyaan Tsauban itu. Beliau hanya terdiam hingga Allah menurunkan firman-Nya:“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada, para shalihin, dan alangkah baiknya berteman dengan mereka.”

Begitu ayat ini turun, Nabi SAW memanggil Tsauban dan membacakan kepadanya ayat tersebut. Kepadanya Rasul memberikan kabar gembira bahwa akan digabungkan dengan Rasulullah SAW. Di sana, ia tidak akan pernah berpisah lagi dari beliau.

Tanda cinta yang keempat adalah al-lubb, yakni kesediaan untuk mempersembahkan sesuatu yang paling berharga yang dimilikinya kepada sang kekasih. Seseorang yang mencitai Rasulullah akan bersedia memberikan sesuatu yang paling berharga dari yang dimilikinya kepada beliau. Hal ini dibuktikan oleh sepupunya sendiri, Ali bin Abu Thalib ra. Kecintaan Ali kepada Nabi SAW ini menjadi tonggak sejarah Islam. Dalam perjuangannya, Nabi pernah sampai kepada keadaan yang paling kritis. Allah SWT mengabadikan itu dalam firman-Nya: “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” Musuh-musuh Nabi SAW bersepakat untuk menyerbu rumah beliau di malam hari. Semua kabilah mengirimkan wakil-wakilnya. Mereka memiliki missi utama: menghabisi nabi yang mulia.
Malam itu, Rasulullah menawarkan kepada Ali apakah ia bersedia untk berbaring di tempat tidur beliau. Ali balik bertanya: “Apakah dengan begitu engkau akan selamat, ya Rasul?” Nabi menjawab: “Ya, betul.” Mendengar hal itu, Ali bin Abu Thalib melonjak gembira. Ia merebahkan diri dan bersujud syukur kepada Allah Yang Maha Kasih. Ia diberi kesempatan untuk mempersembahkan nyawanya demi keselamatan Rasulullah yang sangat dikasihinya. Baginya, peluang untuk berkorban bagi Nabi SAW adalah anugerah terindah. Ia segera mengambil selimut hijau dari Yaman. Ke dalam selimut Nabi itu dengan bahagia ia memasukkan dirinya. Ia tidur dengan tenteram dan penuh rasa bahagia.

Menjelang subuh, para pembunuh dari berbagai kabilah datang dengan menghunus pedang-pedang mereka. Mereka yakin bahwa yang sedang berbaring di atas tempat tidur itu adalah Muhammad SAW. “Bangunkan dia lebih dahulu, supaya ia merasakan pedihnya tebasan pedang kita,” teriak mereka. Ketika mereka melihat Ali bangun, dengan kecewa mereka segera meninggalkan tempat itu untuk mencari Nabi. Malaikat Jibril turun di dekat kepala Ali dan Mikail di dekat kakinya. Jibril berkata: “Luar biasa, siapa yang bisa berbuat sepertimu, hai putra Abu Thalib?” Allah SWT membanggakannya di hadapan para malaikat. Hal ini diinformasikan Allah dalam firman-Nya: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Ayat ini turun untuk mendefinisikan kesediaan memberikan sesuatu yang paling berharga yang dimiliki kepada sang kekasih. Inilah kecintaan sejati. Dengan cinta seperti itu, maka makna cinta berikutnya muncul dengan sendirinya, yakni al-hifzh wa al-imsak, memelihara, menahan, dan mempertahankan kecintaannya. Bahkan pada saat sakratul maut sekalipun, nama Rasulullah tidak pernah lepas dari mulut dan jantungnya.

Thalhah bin Al-Barra adalah seorang pemuda Anshar. Ketika ia berjumpa dengan Nabi SAW, ia memeluknya dan menciumi telapak kakinya. “Ya Rasul, perintahkan aku untuk melakukan apa saja yang engkau sukai. Aku tidak akan membantah perintahmu!” Nabi SAW sangat takjub mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulut seorang pemuda yang masih sangat belia. Beliau kemudian bersabda: “Pergilah, bunuh ayahmu!” Pemuda itu segera keluar dan mempersiapkan pedang untuk dihunuskan kepada ayahnya. Melihat gelagat itu, Nabi SAW segera memanggilnya kembali. “Hai Thalhah, bukan ajaran kami untuk memutuskan kekeluargaan. Aku hanya ingin menguji keimanan dan cintamu padaku, agar engkau tak ragu lagi terhadap agamamu ini.” Tak lama setelah itu, Thalhah jatuh sakit. Pada musim digin dalam udara yang sangat sejuk, Nabi berkenan menjenguknya. Ketika hendak meninggalkan rumahnya, beliau berpesan kepada keluarga Thalhah: “Aku melihat Thalhah sudah djemput Izrail. Nanti bila ia sudah meninggal, beritahu aku. Aku akan menghadirinya dan berdoa untuknya. Segeralah sampaikan berita itu kepadaku.”

Ketika Nabi SAW sampai di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf, wafatlah Thalhah, sedangkan malam telah larut. Ketika Thalhah siuman dari pingsannya, ia bertanya: “Adakah Rasulullah mengunjungiku?” Keluarganya menjawab: “Betul, bahkan beliau berpesan agar menyampaikan padanya bila engkau bangun.” Thalhah berkata: “Jangan, jangan panggil Nabi SAW. Aku khawatir kalau kalian memanggil beliau pada malam seperti ini, beliau diganggu Yahudi atau binatang buas. Aku tidak ingin beliau terganggu karenaku.” Tidak berapa lama kemudian Thalhah pun meninggal dunia.

Usia shalat Subuh, Nabi pergi ke pusara Thalhah. Beliau berdiri di situ. Para sahabat berbaris bersamanya. Nabi mengangkat tangan seraya memanjatkan doa: “Ya Allah, sambutlah Thalhah. Ia tersenyum kepada-Mu dan Engkau tersenyum padanya!”

Alangkah bahagianya, sekiranya kita termasuk orang yang makamnya dikunjungi Baginda Rasul, lalu beliau memohonkan kepada Allah untuk kita sesuatu yang dimohonkannya untuk Thalhah bin Al-Barra. Allahumma shalli ‘alaa sayyidina wa maulana Muhammad….