Rabu, Desember 31, 2008

PERSOALAN BID'AH DALAM MAZHAB SYAFI'I


I. Ancaman terhadap Bid’ah dan Ahli Bid’ah
Banyak sekali ayat Al-Quran yang secara tidak langsung, maupun hadis-hadis Rasul Saw yang secara langsung, mengancam terhadap bid’ah dan ahli bid’ah. Sejumlah hadis dan ayat Al-Quran yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Rasul Saw bersabda: Tuhan Allah enggan menerima ibadah ahli bid’ah, kecuali bila ia telah meninggalkan bid’ahnya itu. H.R. Ibnu Majah—Sunan Ibnu Majah I, hal. 25.
2. Rasulullah bersabda: Tuhan tidak menerima amalan ahli bid’ah, baik puasanya, shalatnya, sedekahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, taubatnya, dan tebusannya. Ia keluar dari Islam laksana keluarnya sehelai rambut dari tepung. H.R. Ibnu Majah—Sunan Ibnu Majah I, hal. 25.
Hadis 1 dan 2 menjelaskan bahwa seluruh amal ibadah ahli bid’ah tidak diterima Allah hingga ia menghentikan perbuatan bid’ahnya.
3. Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a. beliau berkata: Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang mengerjakan amal ibadah yang tidak kami perintahkan, maka amalnya tertolak. H.R. Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari IV, hal. 189.
Hadis ini menerangkan bahwa seluruh ibadah yang tidak diperintahkan Rasul Saw akan ditolak Allah. Imam Nawawi ketika memberikan komentar atas hadis ini menyatakan bahwa pengertian ditolak itu adalah batal, tidak masuk hitungan. Hadis ini jelas, kata beliau, menolak seluruh ibadah yang diada-adakan, yakni ibadah yang bid’ah. (Syarah Muslim XII, hal. 16).
4. Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini (maksudnya urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak. H.R. Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16.
Amalan bid’ah, baik yang diada-adakan oleh diri sendiri maupun orang lain, seluruhnya batal dan tidak diterima oleh Allah Swt. Apabila Allah dan Rasul-Nya telah menolak suatu amalan, dan masih ada orang yang tetap mengamalkannya, maka ia akan menanggung dosa di akhirat kelak.
5. ‘Irbadh bin Sariyah berkata, bahwa suatu hari Rasul Saw memberikan pelajaran kepada kami yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami menetes. Kemudian Beliau Saw memberikan nasehat: Aku mewasiatkan kepada kalian seluruhnya agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan patuh kepada Ulil Amri sekalipun ia seorang yang berkulit hitam. Selanjutnya beliau mewasiatkan: siapa yang hidup lama di antara kamu setelah kehidupanku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Ketika itu hendaklah ia mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khalifah Rasyidin yang mendapat petunjuk yang benar. Pegang teguh semua itu dan gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (bid’ah), karena “semua” yang baru yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan “semua bid’ah” adalah sesat. H.R. Abu Daud—Sunan Abu Daud IV, hal. 201.
Imam An-Nawawi memasukkan hadis ini dalam kumpulan Hadis Arba’in.
6. Rasul Saw bersabda: Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang sudah dimatikan orang setelah kematianku, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya. Tidak sedikit pun dikurangi pahala itu baginya. Dan barangsiapa yang membuat suatu bid’ah yang sesat, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapatkan pula dosa-dosa yang mengamalkan bid’ah tersebut tanpa dikurangi sedikit pun. H.R. Tirmidzi—Sunan Tirmidzi X, hal. 147.
Menurut hadis ini barangsiapa yang mengada-adakan suatu bid’ah, maka ia berdosa dan ia juga mendapatkan dosa sebanyak orang yang mengamalkan bid’ah tersebut sampai hari kiamat.
II. Arti Bid’ah dalam Bahasa Arab
Dalam bahasa Arab, bid’ah berarti: sesuatu yang diadakan tanpa contoh sebelumnya. Tersebut dalam kitab-kitab kamus:
a. al-Muhith, yang ditulis oleh Syirazi, juz III, hal. 3: Sesuatu hal yang adanya untuk pertama kali.
b. Mukhtarus Shihah, yang ditulis oleh Ar-Razi, hal. 379: Mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya.
c. al-Mu’tamad, hal. 28: Diciptakan tanpa contoh.
d. Munjid, hal. 27: Menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh terdahulu.
Dari sejumlah kamus tersebut dapat disimpulkan bahwa bid’ah dalam bahasa Arab berarti suatu hal yang diciptakan dengan tidak ada contoh terlebih dahulu.
III. Bid’ah menurut Syari’at
Perlu diketahui bahwa definisi bid’ah menurut syari’at Islam tidaklah pernah disebut dalam hadis maupun ayat-ayat al-Quran. Yang membuat definisi (ta’rif) bid’ah tersebut adalah para ulama yang ahli setelah memperhatikan al-Quran, hadis, atsar para sahabat, dan lain-lain. Karena yang membuat definisi tersebut orangnya berbeda-beda, maka tidaklah mengherankan bila definisi yang dihasilkan juga berbeda-beda.
1. Syekh Izzuddin bin Abdus Salam dalam kitabnya Qawa’idul Ahkam menyatakan: Bid’ah adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Artinya, seluruh urusan keagamaan yang belum ada atau tidak dikenal pada zaman Rasulullah adalah bid’ah, sekalipun urusan itu adalah urusan yang baik.
2. Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata: Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah tercela adalah yang tidak sesuai atau bertentangan dengan sunnah Nabi. (Fathul Bari, juz XVII, hal. 10). Imam Baihaqi dalam kitab Manaqib Syafi’i menerangkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata: Pekerjaan yang baru itu ada 2 macam: (1). Pekerjaan keagamaan yang berlainan dengan al-Quran, sunnah Nabi, Atsar dan Ijma’, itu dinamakan bid’ah dhalalah. (2). Pekerjaan keagamaan yang baik, yang tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya, itu juga bid’ah, tapi tidak tercela. (Fathul Bari, juz XVII, hal. 10).
Dari definisi nomor 2 ini, bisa dilihat bahwa Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi 2, yakni bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Dari sekian banyak rujukan yang dipakai oleh Imam Syafi’i untuk menetapkan 2 jenis bid’ah ini, tiga di antaranya adalah hadis-hadis berikut ini:
a). Rasul Saw bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini (urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan itu ditolak (tidak diterima) atau batal. (H.R. Imam Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16).
b). Rasul Saw bersabda: Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah, kemudian orang lain mengamalkan sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagaimana pahala orang yang mengamalkan tersebut dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala yang diperoleh orang yang mengamalkan sunnah itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyiah, kemudian orang lain mengamalkannya, maka diberikan kepadanya dosa seperti dosa orang yang mengerjakan sunnah sayyiah tersebut dengan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa orang yang mengerjakannya itu. (H.R. Imam Muslim—Syarah Muslim XIV, hal. 226).
c). Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama Umar bin Khaththab ra pada suatu malam di bulan Ramadhan menuju masjid. Didapati dalam masjid itu orang-orang shalat tarawih bercerai-berai. Ada yang shalat sendiri-sendiri, dan ada yang shalat dengan beberapa orang di belakangnya. Maka Umar berkata: ‘Aku berpendapat untuk mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam tentulah akan menjadi lebih baik, sama seperti shalat Rasulullah.’ Lalu beliau satukan orang-orang itu shalat di belakang seorang imam, yakni Ubai bin Ka’ab. Kemudian, suatu malam kami datang lagi ke masjid, saat itu kami dapati orang-orang melaksanakan shalat di belakang seorang imam. Umar lalu berkata: ‘Inilah bid’ah yang baik.’” (Shahih Bukhari I, hal. 242). Hadis ini juga dapat dilihat dalam kita Muwatha’ yang ditulis oleh Imam Malik, juz I, hal. 136-137.
Setidaknya, berdasarkan pada tiga hadis tersebut muncullah pendapat Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi 2: bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
3. Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata: Makna asal dari perkataan bid’ah adalah sesuatu yang baru diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syariat, bid’ah adalah lawan daru sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad Saw. Kemudian hukum bid’ah terbagi ke dalam hukum yang lima. (Tanwirul Halik, juz I, hal. 137). Beliau berpendapat bahwa hukum bid’ah itu takluk kepada hukum fiqh yang lima. Dengan demikian, beliau berpendapat bahwa bid’ah tersebut terdiri dari bid’ah wajib, bid’ah sunnat, bid’ah haram, bid’ah makruh, dan bid’ah jaiz. Pendapat yang demikian ini diperkuat oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dengan mengatakan: sebagian ulama membagi bid’ah ke dalam hukum yang lima. Dan memang demikianlah harusnya. (Fathul Bari, juz XVII, hal. 10).
IV. Bid’ah Terlarang Hanyalah Bid’ah Keagamaan
Bid’ah terlarang adalah bid’ah dalam urusan agama. Misalnya, shalat 5 waktu dijadikan 6, puasa diwajibkan 2 bulan dalam setahun, menunaikan ibadah haji tidak ke Mekkah, dan sebagainya yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Sedangkan dalam urusan dunia, tidak ada bid’ah yang terlarang. Kita bisa mengadakan sesuatu sekali pun belum pernah dilakukan pada zaman Nabi dan para sahabat. Asalkan perbuatan itu baik dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka tidak ada larangan untuk menerima dan melaksanakannya.
Hadis-hadis yang terkait dengan hal itu di antaranya:
1. Nabi Saw bersabda: Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak. (H.R. Imam Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16) dalam hadis ini, arti kata ‘dalam urusan kami ini’ adalah urusan keagamaan, karena Nabi Saw diutus untuk menyampaikan agama. Maka, bila yang dibuat-buat itu dalam urusan agama, pasti akan ditolak, tidak akan diterima. Dengan demikian, mafhum hadis ini dapat dikatakan bahwa kalau dalam urusan keduniaan boleh saja diada-adakan asal tidak bertentangan dengan hukum agama yang sudah ada.
2. Dari ‘Aisyah ra, beliau berkata Rasulullah bersabda: Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak kami perintahkan maka amalnya itu ditolak. (H.R. Muslim—Syarah Muslim XII, hal. 16)
3. Rasul Saw bersabda: Kamu yang lebih tahu tentang urusan duniamu. (H.R. Muslim—Syarah Muslim XV, hal. 118)
V. Sunnah Khulafaur Rasyidin
Ada sejumlah urusan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Nabi, tapi diadakan oleh para Khalifah Rasyidin. Misalnya, membukukan Al-Quran yang pada awalnya dilakukan oleh Abu Bakar, kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Usman bin Affan; shalat tarawih berjamaah sebulan penuh pada bulan Ramadhan, diadakan oleh Umar bin Khaththab; Azan pertama pada shalat Jumat, diperintahkan oleh Usman bin Affan; dan sebagainya. Semua itu adalah bid’ah, yakni bid’ah hasanah dan bukan bid’ah dhalalah.
Beberapa hadis terkait dengan persoalan ini:
1. Rasul Saw bersabda: Maka wajib atasmu memegang sunnahku dan sunnah Khalifah Rasyidin yang diberi hidayah. (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi—Sunan Abu Daud IV, hal. 201).
2. Nabi Saw bersabda: Ikutilah dua orang setelah aku wafat, yaitu Abu Bakar dan Umar. (H.R, Tirmidzi—Shahih Tirmidzi XIII, hal. 129).
3. Bahwasanya Zaid bin Tsabit berkata: Abu Bakar Siddiq memanggil saya setelah terjadi pertempuran Yamamah, di mana saat itu banyak sahabat Nabi yang mati syahid. Saya dapati di hadapan beliau ada Umar bin Khaththab. Berkata Abu Bakar: Hai Zaid, Umar mengatakan kepada saya bahwa banyak ahli-ahli Al-Quran (para penghafal Al-Quran) dalam pertempuran Yamamah. Saya khawatir kalau-kalau mereka banyak yang wafat dalam medan-medan pertempuran yang lain, sehingga ayat-ayat Al-Quran bisa hilang. Umar mendesak saya agar mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, lalu saya berkata kepadanya: Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Umar menjawab: Demi Allah, ini pekerjaan yang baik. Umar selalu mendesak saya dan akhirnya saya sependapat dengannya, kata Abu Bakar.
Berkata Zaid, berkata Abu Bakar kepadaku: Engkau seorang pemuda pintar yang dipercaya. Pada masa Nabi masih hidup, engkau menjadi penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulullah. Cobalah kumpulkan seluruh wahyu itu!
Demi Allah, jawab Zaid. Kalau engkau memerintahkan kepada saya untuk memindahkan sebuah bukit, barangkali tidak seberat ini. Bagaimana mungkin melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah?
Abu Bakar mendesak: Demi Allah, ini baik. Maka selalu Abu Bakar mendesak saya, kata Zaid, sehingga Tuhan membukakan hati saya seperti halnya hati Abu Bakar dan Umar. Maka saya pun mencari ayat-ayat Al-Quran itu dan saya kumpulkan di mana pada awalnya ayat-ayat tersebut terdapat di pelepah-pelepah tamar, batu-batu putih dan yang ada di dalam dada para sabahat Nabi. (H.R. Imam Bukhari—Fathul Bari X, hal. 385-390).
Mushaf yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit tersebut disimpan oleh Abu Bakar Shiddiq hingga beliau wafat. Kemudian mushaf itu jatuh ke tangan Umar bin Khaththab, dan setelah beliau wafat mushaf kemudian disimpan oleh Hafsah, putri beliau.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan: Bahwasanya Huzaifah bin Yaman datang kepada Khalifah Usman bin Affan. Ketika itu Huzaifah memimpin jihad di daerah Syam dalam memerangi Armini dan Azarbaiyan. Huzaifah sangat terkejut mendengar berbagai perbedaan prajurit dalam membaca Al-Quran. Maka datanglah Huzaifah menghadap Khalifah Usman lalu berkata: “Wahai Khalifah, segeralah engkau menolong umat Islam sebelum mereka berselisih tentang kitab suci seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani.” Maka Khalifah Usman meminta kepada Hafsah agar mushaf Al-Quran yang ada di tangan beliau diberikan kepadanya untuk disalin dan kemudian dikembalikan. Setelah menerima mushaf tersebut dari Hafsah, Khalifah Usman menunjuk empat orang sahabat untuk menyalinnya, yakni Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harist bin Hisyam. Keempat sahabat ini menyalin mushaf dan menjadikannya dalam jumlah yang cukup banyak. Khalifah Usman memerintahkan kepada 3 orang anggota panitia yang berasal dari suku Quraysy: “Kalau kalian berbeda faham dengan Zaid bin Tsabit tentang tulisan-tulisan Al-Quran, maka pakailah menurut bahasa Quraysy karena Al-Quran diturunkan sesuai dengan bahasa Quraysy.” Setelah selesai menyalin mushaf itu, maka Khalifah Usman mengembalikan mushaf tersebut kepada Hafsah. Khalifah kemudian mengirim setiap naskah mushaf itu ke berbagai pelosok daerah dan memerintahkan agar menghapus atau membakar seluruh ayat-ayat Al-Quran yang telah ditulis di atas tulang, tembikar, dan sebagainya. (H.R. Bukhari—Fathul Bari X, hal. 390-396)
4. Dari Saib bin Yazid, beliau berkata: Adalah azan di waktu Jumat permulaannya apabila duduk imam di atas mimbar pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar. Ketika zaman Usman bin Affan, di mana jumlah orang sudah semakin banyak maka beliau menambah azan yang ketiga di atas zaura. (H.R. Bukhari—Shahih Bukhari I, hal. 116)
VI. Titik (Nuqthah) dan Baris (Syakl) Ayat-ayat Al-Quran
Titik dan baris pada ayat-ayat Al-Quran pada dasarnya adalah bid’ah karena tidak dikenal pada zaman Nabi Saw. Namun demikian tentulah ia merupakan bid’ah hasanah karena diadakan demi menjaga agar kitab suci Al-Quran tidak mengalami kekacauan ketika dibaca oleh orang-orang yang tidak pernah mendengarnya langsung dari Nabi Saw dan oleh orang-orang yang tidak memahami seluk-beluk dalam tata bahasa Arab.
Dalam sejarahnya, ketika Islam berkembang dan negeri-negeri Islam meluas ke Barat dan ke Timur; hingga ke Persia, India, Tiongkok, Kazakhtan (Timur); Moroko, Spanyol, dan Portugal (Barat), yang terdiri dari berbagai macam bangsa dan bahasa, yang tidak mengetahui ilmu Nahwu, Sharaf, Ma’ni dan Balaghah, maka sudah seharusnya ayat-ayat suci itu diberi titik dan baris supaya tidak terjadi kesalahan dalam membacanya.
Seorang Jenderal pada masa kekuasaan Khalifah Abdul Muluk bin Marwan (Bani Umaiyah) bernama Hajaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, sekitar tahun 70 H, memerintahkan kepada ahli qiraat bernama Nashar bin ‘Ashim agar membuat titik ayat-ayat Al-Quran, dan kepada Khalil bin Ahmad supaya membuat baris-baris pada ayat Al-Quran tersebut. Maka sejak saat itu, jadilah Al-Quran sebagaimana yang kita baca saat ini.
VII. Hasil-hasil Ijtihad
Berbagai hasil ijtihad para mujtahid tidak dikenal di zaman Nabi Saw. Tentu saja tidak selayaknya dikatakan bid’ah. Kalau pun akan dikatakan juga sebagai bid’ah, maka itu adalah bid’ah hasanah. Misalnya tentang zakat. Pada zaman Nabi Saw yang dizakati adalah gandum, lembu, kambing, emas dan perak. Sementara padi, kerbau, uang kertas, tidak dikenal pada masa itu. Para mujtahid lalu mengiaskan padi dengan gandum, kerbau dengan lembu, dan uang kertas dikiaskan dengan dirham dan dinar pada masa Beliau Saw. Melakukan ijtihad bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai seorang mujtahid diizinkan oleh Nabi Saw.
Dari Mu’adz bin Jabbal, bahwasanya Rasulullah Saw ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Muadz: “Bagaimana cara engkau memutuskan perkara yang dihadapkan kepadamu?” “Saya akan memutuskannya sesuai dengan yang tersebut dalam Kitabullah,” jawab Muadz. Nabi bertanya lagi: “Kalau engkau tidak menemukannya dalam Kitabullah, bagaimana?” “Saya akan memutuskannya sesuai dengan Sunnah Rasul,” jawab Muadz. Nabi bertanya lagi: “Kalau di dalam Sunnah Rasul Kau pun tak menemukannya, bagaimana?” “Saat itu, saya akan berijtihad tanpa kebimbangan sedikit pun,” jawab Muadz. Mendengar jawaban itu, Beliau Saw meletakkan tangannya ke dadanya sambil berucap: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya. (H.R. Imam Tirmidzi dan Abu Daud—Shahih Tirmidzi II, hal. 68-69; Sunan Abu Daud III, hal. 303)
VIII. Pengertian Hadis “Setiap Bid’ah adalah Dhalalah”
Rasul Saw bersabda: Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan, karena yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah dhalah (sesat). (H.R. Abu Daud)
Hadis ini dengan tegas mengatakan bahwa setiap bid’ah adalah dhalalah (sesat), lalu mengapa para ulama di kalangan mazhab Syafi’i membagi bid’ah menjadi hasanah dan dhalalah, bahkan lebih merincinya lagi menjadi 5 bagian sesuai dengan hukum yang ada dalam fiqh? Tidakkah hal ini bertentangan dengan hadis di atas?
Tidak, itu tidak bertentangan dengan hadis tersebut. Demikian para ulama mazhab Syafi’i menjawab. Keterangannya sebagai berikut:
Hadis tersebut adalah ‘hadis umum’ yang telah ditakhsiskan (dikecualikan). Berikut ini diberikan contoh bagaimana memahami pernyataan tersebut:
1. Allah berfirman: Katakanlah (Hai Muhammad): Siapakah yang mengharamkan perhiasan Tuhan yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik. (Q.S. Al-A’raf: 32)
Ayat ini sifatnya umum, yaitu setiap perhiasan (pakaian) dan seluruh makanan yang baik adalah halal bagi kita. Tidak ada hak bagi siapa pun untuk mengharamkannya. Ayat yang sifatnya umum ini telah ditakhsiskan oleh hadis:
Bahwasanya Nabi melihat sebuah cincin emas pada jari seorang lelaki, maka beliau buka cincin itu dan beliau buang, lalu berkata: Mengambil seseorang darimu sepotong api dan ia letakkan di tangannya. (H.R. Muslim—Syarah Muslim XIV, hal. 65)
Dengan demikian, Q.S. Al-A’raf: 32 sudah ditakhsiskan: “Semua pakaian itu halal kecuali cincin emas bagi kaum lelaki”.
2. Allah berfirman: Diharamkan atasmu bangkai (Q.S. Al-Maidah: 3).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu semua bangkai adalah haram. Tapi ayat ini telah ditakhsiskan oleh hadis:
Seorang lelaki bertanya kepada Rasul Saw: Ya Rasulullah, kami menggunakan kendaraan laut sedang kami membawa air sedikit. Kalau kami gunakan untuk berwudhu tentulah kami akan kekurangan air untuk minum. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Nabi menjawab: Air laut itu bisa digunakan untuk bersuci dan bangkainya pun halal untuk dimakan. (H.R. Tirmidzi—Shahih Tirmidzi I, hal. 88)
Yang dimaksud bangkai di laut itu adalah bangkai ikan. Dengan demikian, Q.S. Al-Maidah: 3 telah ditakhsiskan: “Diharamkan atasmu bangkai kecuali bangkai ikan”.
3. Allah berfirman: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan (Q.S. An-Nisa: 11).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu seluruh anak lelaki memperoleh sama banyaknya dengan yang diperoleh oleh dua orang anak perempuan. Tetapi ayat ini telah ditakhsiskan oleh hadis:
Tidak ada pusaka dari seorang Muslim kepada orang kafir, dan tidak ada pusaka dari seorang kafir kepada seorang Muslim. (H.R. Bukhari-Muslim—Shahih Bukhari IV, hal. 120)
Dengan demikian, Q.S. An-Nisa: 11 tersebut telah ditakhsiskan: “Setiap anak lelaki mendapat 2/3 bagian, kecuali anak-anak kafir tidak memperoleh sama sekali”.
Dalam Ushul Fiqh ini dinamakan: Kitab ditakhsiskan dengan Sunnah.
4. Allah berfirman: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu tiga kali quru’ (tiga kali masa suci) (Q.S. Al-Baqarah: 228).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu seluruh wanita yang diceraikan oleh suaminya (ditalak), baik ketika suci maupun ketika hamil. Tetapi ayat ini telah ditakhsiskan oleh ayat:
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya (Q.S. Ath-Thalaq: 4).
Dengan demikian, Q.S. Al-Baqarah: 228 telah ditakhsiskan: “Wanita-wanita yang ditalak beriddah 3 kali quru’, kecuali wanita yang ditalak ketika sedang hamil maka iddahnya hingga ia melahirkan”.
Dalam Ushul Fiqh ini dinamakan: Kitab ditakhsiskan dengan Kitab.
5. Rasul Saw bersabda: Seluruh tanaman yang diairi dengan air hujan maka zakatnya 10% (H.R. Bukhari-Muslim).
Hadis ini sifatnya umum, yaitu seluruh tanaman yang diairi dengan air hujan zakatnya 10%. Tetapi hadis ini telah ditakhsiskan oleh hadis:
Kalau hasilnya kurang dari 5 ausuq tidak wajib zakat (H.R. Bukhari-Muslim—Syarah Muslim VII, hal. 50).
Dengan demikian, hadis pertama telah ditakhsiskan: “Seluruh tanaman yang diairi dengan air hujan, zakatnya 10%, kecuali jika hasilnya kurang dari 5 ausuq, zakatnya tidak wajib.
Dalam Ushul Fiqh ini dinamakan: Sunnah ditakhsiskan dengan Sunnah.
Dari sejumlah keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
“Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan itu masuk neraka, kecuali bid’ah dalam urusan dunia; kecuali bid’ah hasil-hasil ijtihad para mujtahid; kecuali yang diadakan oleh Khalifah Rasyidin; kecuali sunnah-sunnah baik yang diadakan oleh orang-orang Islam; kecuali hal-hal yang sangat mendesak dan dibutuhkan dalam agama”.
Demikianlah keterangan seputar bid’ah. Setiap orang berhak untuk berbeda pendapat, namun tentu saja tidak dibenarkan untuk saling menyalahkan, apalagi saling menyesatkan atau megafirkan.

WARA': MENINGGALKAN SEGALA YANG MERAGUKAN


“Perkara yang halal telah jelas dan perkara yang haram pun telah jelas. Sedang di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barangsiapa yang memelihara dirinya dari hal-hal yang syubhat berarti ia telah membersihkan agama dan harga dirinya; dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat sama halnya dengan menggembalakan ternaknya di dekat daerah yang terlarang, yang dalam waktu dekat pasti ia akan melanggarnya…” (HR Imam Bukhari-Muslim)
Wara’ adalah sikap tegas seorang mukmin untuk meninggalkan segala sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam dirinya. Ini juga merupakan sikap membuang segala sesuatu yang bisa membuat diri menjadi tercela, lalu memilih yang lebih baik dan lebih kuat, dan mendorong diri untuk selalu berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan sehingga tidak terperosok kepada sesuatu yang bersifat syubhat.
Syubhat adalah hal yang diragukan status hukumnya, halal atau haram, namun meninggalkannya adalah tindakan yang lebih baik daripada mengambilnya. Ini merupakan syarat yang perlu diperhatikan ketika berhadapan dengan hal-hal yang syubhat. Memudah-mudahkan untuk menerima yang syubhat berarti kekuranghati-hatian, dan ujungnya tentu akan berakhir pada kerugian. Sebaliknya, wara’ merupakan sikap kehati-hatian dan bisa dipastikan akan berakhir pada keadaan yang lebih baik daripada yang pertama. Menurut Ibnul Qayyim, wara’ merupakan sikap meninggalkan hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian dan bahaya di akhirat nanti.
Para ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud Allah dalam firmanNya pada Surat Al-Muddatsir [74] ayat 4: “Dan pakaianmu bersihkanlah” adalah membersihkan diri. Ada satu ungkapan dari Ghailan Ats-Tsaqafi yang maksudnya bisa dijadikan arti dari ayat tersebut. ia berkata: “Terpujilah Allah, Dia telah memberikan padaku kekuatan untuk tidak mengenakan pakaian khianat dan berbagai macam kedoknya.”
Membersihkan diri dari pakaian khianat dan segala macam bentuk kedoknya merupakan usaha mencapai kesempurnaan akhlak. Tidak perlu diragukan lagi bahwa wara’ menjadi salah satu cara yang dapat ditempuh menuju ke sana. Wara’ akan membimbing manusia untuk bisa melepaskan hatinya dari belenggu najis dan berbagai macam kotorannya. Laksana air yang membersihkan pakaian dari najis dan kotoran, wara’ adalah pembersih bagi hati dari najis dan kotorannya.
Menurut Ibrahim bin Adham ada tiga perilaku yang harus ditinggalkan agar seseorang bisa dikatakan sebagai seorang yang wara’. Pertama, meninggalkan perkara yang syubhat. Kedua, meninggalkan apa pun yang bukan menjadi urusan kita. Ketiga, meninggalkan segala perkara yang tidak menghasilkan manfaat. Bila ketiga hal itu bisa dipenuhi oleh seseorang, maka ia layak disebut sebagai seorang yang wara’. Menurut Imam At-Tirmidzi, Rasul Saw pernah memberi nasehat kepada Abu Hurairah ra agar bersikap wara’, dan beliau mengatakan bahwa sikap wara’ tersebut bisa membuat seseorang menjadi paling ahli dalam ibadah.
Tidak akan sampai pada sikap wara’ bila seseorang belum bisa membedakan yang terbaik di antara dua hal yang baik, dan yang terburuk di antara dua hal yang buruk. Kemampuan memilah di antara hal-hal yang seperti itu disyaratkan untuk bisa bersikap wara’. Kaitannya lebih lanjut tentulah dengan ilmu. Pemilahan hanya bisa dilakukan bila seseorang memiliki ilmu tentangnya. Bila ilmu belum dimiliki, bisa dipastikan pemilahan yang dihasilkan menjadi sebuah kekeliruan.
Dalam sebuah contoh bisa digambarkan keadaan keliru dalam memahami wara’. Misalnya, ada seorang lelaki tua meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang berstatus syubhat. Di sisi lain, ia masih memiliki utang pada beberapa orang tetangga. Ketika para tetangga tersebut meminta pelunasan utang tersebut, anak dari lelaki tua itu berakata: “Mana mungkin aku bisa membayar utang-utang ayahku dengan menggunakan harta syubhat.”
Dalam kasus ini mungkin anak tersebut menyangka bahwa dirinya adalah seorang yang wara’, seorang yang berjati-hati untuk tidak menggunakan barang syubhat. Tapi sungguh, pemahaman yang seperti itu merupakan pemahaman yang keliru. Ia tidak bisa membedakan mana yang terburuk di antara dua hal yang buruk. Membayar utang adalah kewajiban, dan ia meninggalkan kewajiban tersebut karena kebodohannya, lalu menyangka bahwa ia seorang yang wara’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan kaidah wara’ dengan mengatakan bahwa tidak ada zuhud maupun wara’ terhadap hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, tapi zuhud dan wara’ bisa dilakukan pada hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan.
Bila kaidah tersebut dijadikan untuk memahami kasus di atas, nyatalah kekeliruan si anak yang tidak mau melunasi utang-utang ayahnya karena yang ditinggalkannya adalah harta syubhat. Kedudukan utang adalah wajib untuk dilunasi, sehingga wara’ dan zuhud tidak berlaku dalam wilayah itu.
Di negeri akhirat, di mana setiap manusia hadir untuk pertama kalinya di sana, Allah akan menganugerahkan derajat yang berbeda-beda bagi mereka, dan derajat itu diperoleh manusia sesuai dengan tingkat kewara’an mereka semasa menjalani hidup di dunia. Semakin dalam kewara’an yang dimiliki seseorang akan semakin tinggi derajat yang kelak diterimanya di sisi Allah Swt. Semakin meningkat kewara’an seseorang, semakin cepat langkah yang bisa mereka lakukan ketika menyeberangi shirathal mustaqim, karena semakin ringan beban yang mereka pikul.
Ketahuilah bahwa wara’ dapat meringankan beban manusia ketika menempuh perjalan panjang kehidupan akhirat. Mengapa demikian? Karena di dunia ini wara’ membimbing manusia untuk menjauh dari keburukan dengan ketulusan niat, dan menggantinya dengan mengumpulkan banyak bekal berupa kebaikan, pemeliharaan iman, dan juga menjauh dari berbagai batasan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt karena pendekatan terhadap batasan-batasan tersebut dapat mendorong manusia untuk berbuat melampauinya. Itulah sebabnya Allah memerintahkan kepada kita untuk tidak mendekat kepada batasan-batasan larangan Allah, karena pada titik tersebut orang-orang yang tidak wara’ sering kali terdorong untuk melampauinya.
Di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah [2] ayat 187 Allah Swt berfirman: “…Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendektinya…”
Hal senada juga diungkapkan Allah dalam firmanNya pada Surat Al-Baqarah [2] ayat 229: “…Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya…”
Pada hakikatnya wara’ lahir dari perasaan takut kepada Allah Swt. Dalam tahapannya, rasa takut kepada Allah membuahkan wara’ dan wara’ melahirkan zuhud. Sikap-sikap inilah yang akan menyelamatkan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Apabila seseorang memilih untuk mengalihkan seluruh perhatian kalbunya hanya untuk kepentingan akhirat, lalu ia menghadapi semua persoalan dunia berlandaskan Al-Quran, maka terbukalah baginya pintu keridhaan Allah dan diberi Allah kemampuan padanya untuk mengemban kewara’an. Tidak ada yang ia kerjakan melainkan telah sangat jelas kehalalannya. Ia akan menjadi manusia yang sangat berhati-hati dalam berbuat. Ia akan menikah dengan akad nikah yang benar, menerima warisan dari harta yang halal, melakukan transaksi dengan cara yang halal, pendek kata ia hanya melakukan semua perkara yang sangat jelas hukum kehalalannya.
Kisah-kisah Para Pengemban Wara’
Mungkin tidak begitu mudah untuk menjelaskan secara gamblang apa sesungguhnya wara’ dan berbagai macam persoalan yang mengitarinya. Tapi melalui kisah-kisah yang bersumber dari hadits-hadist Rasulullah yang shahih barangkali kita akan mendapatkan pengertian apa hakikat wara’ tersebut. simaklah beberapa kisah berikut ini.
Bersumber dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, Rasul Saw berkisah bahwa dahulu ada dua orang lelaki yang telah menjalani transaksi jual beli tanah dengan cara yang benar. Kisahnya bermula ketika seorang lelaki membeli sebidang tanah milik lelaki yang lain. Setelah beberapa lama mengolah tanah yang baru dibelinya itu, ia menemukan di dalamnya terkubur sebuah gentong penuh beirisi emas. Ia kemudian menemui lelaki yang darinya tanah itu ia beli.
“Ambillah emas ini, karena ini adalah hakmu. Aku hanya membeli tanah darimu, bukan emas ini.”
Si penjual tanah menjawab: “Sesungguhnya aku menjual tanah beserta seluruh isi yang terkandung di dalamnya. Emas itu bukan milikku, tapi sudah menjadi hakmu.”
Masing-masing mereka enggan mengambil emas segentong itu. Mereka merasa emas itu bukan hak mereka. Lalu, keduanya sepakat membawa permasalahan itu kepada seorang hakim yang adil.
Setelah mendengar penjelasan dari kedua lelaki itu, sang hakim kemudian bertanya: “Apakah kalian berdua memiliki anak?”
Lelaki pertama menjawab: “Aku punya seorang anak lelaki.”
Lelaki kedua menjawab: “Aku punya seorang anak perempuan.”
Hakim itu kemudian berkata: “Nikahkanlah masing-masing anak kalian itu, lalu shadaqahkan emas itu kepada mereka berdua.”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, dikisahkan bahwa Nabi Saw menjumpai cucu beliau, Hasan bin Ali, mengambil sebiji kurma dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya. Melihat hal itu Nabi kemudian berkata: “Ukh..! Ukh..!” dengan maksud agar Hasan mengeluarkan kurma itu dari mulutnya. Kepadanya beliau bersabda: “Tidakkah kamu sadar bahwa kita tidak boleh memakan hasil zakat?”
Sikap wara’ tidak hanya ditunjukkan oleh Rasulullah, tapi juga oleh para sahabat. Berikut ini adalah kisah tentang sikap wara’ yang ditunjukkan oleh Zainab binti Jahsy ra. Ia adalah salah seorang istri Nabi Saw. Saat orang-orang munafik menyebarkan berita bohong tentang ‘Aisyah, dan banyak orang pada saat itu yang senang dengan tersebarnya berita bohong itu, Zainab binti Jahsy tidak terpengaruh oleh semua itu. Rasulullah pernah bertanya kepada Zainab: “Wahai Zainab, tentunya engkau mendengar berita yang dihembuskan oleh orang-orang munafik. Katakan padaku, apa yang kau ketahui tentang ‘Aisyah?”
Zainab kemudian menjawab: “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak mengetahui apa pun tentang ‘Aisyah melainkan hanya seorang yang baik.”
‘Aisyah sendiri bersaksi tentang Zainab: “Meskipun ia setara denganku di sisi Nabi Saw, namun ia tidak terpengaruh oleh berita bohong orang-orang munafik. Karena sikapnya itu, Allah memelihara dirinya berkat kewara’an yang dimilikinya.
Abu Bakar Ash-Shiddiq dikenal sebagai salah seorang sahabat yang wara’, bahkan kewara’an beliau dinilai banyak orang berada tepat di bawah kewara’an Rasulullah Saw. Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, disebutkan bahwa dahulu ia mempunyai seorang pelayan yang bertugas mengurus gajinya, sementara Abu Bakar selalu makan dari gajinya itu. Suatu hari, sang pelayan datang menemui Abu Bakar dengan membawa makanan untuknya. Abu Bakar kemudian memakan sebagian dari makanan tersebut. Belum sampai makanan itu habis, Abu Bakar kemudian bertanya: “Dari mana engkau memperoleh makanan ini?” Si Pelayan menjawab: “Dahulu pada masa jahiliyah, aku pernah meramal nasib seseorang, padahal sesungguhnya aku tidak memiliki pengetahuan tentang itu, aku hanya berpura-pura. Tadi aku kembali bertemu dengannya, dan memberikan padaku makanan yang baru saja sebagian darinya kau makan.”
Mendengar ucapan si pelayan itu, Abu Bakar segera memasukkan jari-jarinya ke mulutnya hingga semua makanan yang baru disantapnya itu dimuntahkannya. Kemudian ia berkata: “Aku mendengar kekasihku Muhammad Saw bersabda: ‘Daging yang tumbuh dari barang yang haram, tempat yang layak baginya hanyalah neraka’.
Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah Atsar yang bersumber dari Nafi’. Dahulu, Umar bin Khaththab ra telah menetapkan santunan untuk kaum Muhajirin pertama masing-masing 4000 dirham. Tapi untuk anaknya sendiri, Ibnu Umar, ia berikan hanya 3500 dirham. Ketika orang-orang berkata padanya bahwa Ibnu Umar adalah salah seorang Muhajirin dan berhak memperoleh 4000 dirham, Umar menjawab: “Sesungguhnya ia hijrah disebabkan oleh kedua orangtuanya yang membawanya. Saat itu ia masih kecil, sehingga hijrahnya bukanlah atas kehendak sendiri seperti halnya kaum Muhajirin yang lain.”
Itulah beberapa kisah tentang sikap wara’ yang diperlihatkan oleh Nabi dan para sahabat. Belumkah tiba saatnya bagi kita untuk mencontoh mereka?