Kamis, Februari 26, 2009

KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF ILMU KEDOKTERAN


Kematian menjadi suatu fenomena yang selalu menarik untuk dibicarakan karena setiap manusia pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan bagian mutlak dalam sejarah manusia. Meskipun fenomena kematian telah akrab dengan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk menentukan kapan kematian itu benar-benar terjadi sehingga memunculkan banyak keraguan tentangnya. Di sisi lain juga memunculkan pertanyaan apakah kematian itu datang secara tiba-tiba atau ada tahapan-tahapan tersendiri yang dialami seseorang yang secara umum dapat dipahami sebagai suatu proses menjelang kematian? Untuk menjelaskan persoalan ini ada baiknya akan penulis kemukakan hasil observasi yang dilakukan oleh Elisabeth Kubler-Ross atas orang-orang yang berada dalam proses menjelang kematian mereka dalam bukunya On Death and Dying (1998).
Menurut Elisabeth Kubler-Ross (1998 : 48-134) terdapat lima tahapan yang dialami seseorang ketika menjelang kematiannya. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap Pertama : Penyangkalan dan Pengasingan Diri
Reaksi pertama dari mereka yang menyadari bahwa penyakit mereka benar-benar akan membawa pada kematian adalah suatu shock (keterkejutan) yang hebat. Setelah perlahan-lahan mengatasi keterkejutan itu, biasanya mereka menyangkal, “Tidak, bukan aku, itu tidak mungkin benar!” Penyangkalan awal ini berlaku, baik bagi mereka yang langsung diberitahu pada permulaan sakit maupun bagi mereka yang menyimpulkannya sendiri. Penyangkalan, sekurang-kurangnya penyangkalan parsial, dilakukan hampir oleh semua pasien, tidak hanya selama tahap-tahap pertama menderita sakit atau setelah konfrontasi, tetapi sikap ini setiap kali muncul kembali pada tahap-tahap berikutnya.
Sebagaimana kita tidak dapat menatap matahari sepanjang waktu, kita pun tidak dapat menghadapi kematian sepanjang waktu dengan hati yang pasrah. Untuk sementara waktu pasien dapat mempertimbangkan kemungkinan kematiannya dengan nalar, tetapi pada kesempatan lain dia menyingkirkan pertimbangan tersebut dan menggantikannya dengan perjuangan untuk mempertahankan kehidupannya. Penyangkalan biasanya menjadi pertahanan sementara dan akan segera disusul dengan sikap menerima, meskipun tidak sepenuhnya. Fungsi penyangkalan sebagai suatu penahan setelah mengetahui berita tak tersangka-sangka yang sangat mengejutkan itu. Penyangkalan ini membantu pasien untuk menyadari diri atau menguasai diri sepenuhnya dan sesuai dengan perkembangan waktu memunculkan sikap lain untuk mempertahankan diri secara tidak terlalu radikal.
Tahap Kedua : Marah
Kalau tahap pertama yang berupa penyangkalan tidak dapat dipertahankan lagi, maka biasanya diganti dengan perasaan marah, gusar, cemburu dan benci. Pada tahap kemarahan ini, pasien menjadi sulit diatasi, baik oleh keluarga maupun oleh tenaga medis. Sebab kemarahan ini terjadi di segala penjuru dan diproyeksikan kepada lingkungannya yang seringkali dengan cara sembarangan tanpa alasan yang memadai pada saat-saat yang tidak terduga. Para dokter dianggap tidak becus, mereka dicap tidak tahu pemeriksaan dan usaha mana yang diperlukan, serta diet mana untuk diterapkan. Sering kali para perawat menjadi sasaran kemarahan pasien. Mereka dianggap menahan pasien terlalu lama di rumah sakit atau tidak menghormati berbagai keinginan pasien sesuai dengan kedudukan khususnya. Pendek kata, pada tahapan ini, apa pun yang dilihat pasien akan menimbulkan keluhan dan kemarahan.
Tahap Ketiga: Tawar-Menawar
Tahap ketiga ini tidak terlalu dikenal namun sebenarnya sangat menolong pasien. Mungkin pasien tidak terlalu menyadari apa yang dilakukannya, tetapi tahap ini sangat membantu pasien, meskipun hanya untuk sementara waktu. Bila pasien menyadari bahwa dia tidak mampu lagi menghadapi kenyataan yang sangat menyedihkan pada awal periode dan mengambil sikap marah terhadap orang lain serta memberontak kepada Tuhan pada tahap kedua, boleh jadi dia kemudian mencoba mengupayakan jalan damai dengan membuat suatu jenis perjanjian yang dirasa dapat menunda kejadian yang tidak diharapkan. Keinginan pasien ini hampir selalu merupakan upaya untuk memperpanjang hidup. Kemudian keinginan ini diperlembek dengan memohon berkurangnya hari-hari yang penuh penderitaan atau dirasa tidak enak. Tawar-menawar merupakan usaha untuk menunda kematian dan dalam tawar-menawar ini si pasien menjanjikan imbalan “hidup dengan lebih baik”, bahkan memberi batas waktu bagi dirinya sendiri. Tawar-menawar biasanya dilakukan secara rahasia di hadapan Tuhan, atau di sela-sela pembicaraan, atau di ruang imam, atau orang yang dipercaya dalam hidup rohaninya.
Tahap Keempat: Depresi
Bila pasien tidak mampu lagi menghindari penyakitnya, bila dia terpaksa menjalani pembedahan atau masuk rumah sakit untuk perawatan, bila dia mulai mempunyai symptom lain atau menjadi lemah dan kurus, maka dia tidak dapat tersenyum lagi. Muncullah pada saat itu suatu perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan ini mungkin berhubungan langsung dengan penyakitnya. Mungkin pula perasaan kehilangan ini berhubungan dengan akibat sakitnya. Tetapi yang paling terasa sebagai suatu kesedihan adalah kedukaan yang mendalam karena dia harus bersiap-siap untuk berpisah dengan dunia seluruhnya untuk selama-lamanya. Dia bersedih karena harus berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, yang menjadi pusat perjuangan hidupnya, dengan peran yang dimainkan di dalam kehidupan keluarga maupun di masyarakatnya. Pada tahap ini, kalau dia diberi kesempatan untuk mengungkapkan kesedihannya, akan lebih mudah bagi dia untuk menerima nasibnya dengan pasrah. Dia akan berterima kasih kepada orang-orang yang dengan setia mendampinginya tanpa memberikan nasehat untuk tidak bersedih. Pada tahapan ini, umumnya pasien lebih banyak berdiam diri.
Tahap Kelima: Menerima dan Pasrah
Kalau seorang pasien sudah mempunyai cukup waktu—misalnya tidak mengalami kematian mendadak—dan telah dibantu di dalam mengolah langkah-langkah sebelumnya, dia akan sampai kepada tahap ketika dia tidak lagi merasa depresi maupun marah terhadap ‘nasib’nya. Dia akan selalu dapat mengekspresikan perasaan yang sebelumnya, kecemburuannya terhadap mereka yang masih sehat, kemarahannya terhadap mereka yang tidak harus menghadapi akhir hidupnya dengan segera. Dia akan mulai belajar untuk menerima segala kehilangan orang-orang dan tempat yang berarti baginya yang segera datang. Pada tahap ini si pasien merasa capek dan lemah. Dia sering tertidur. Namun tidurnya tersebut berbeda dengan kebutuhan tidur selama waktu depresi dan duka. Tidur ini bukan dimaksudkan untuk menghindari, atau sebagai kesempatan untuk istirahat dari rasa sakit, rasa tidak enak atau rasa terganggu. Kegiatan tidur ini bukanlah suatu keputusasaan atau sikap menyerah yang tanpa harapan atau sikap “aku sudah tidak bisa melawan lagi”, meskipun kadang-kadang ungkapan macam itu terucap pula. Saat penerimaan ini tidak selalu berarti bahagia pula. Tahap ini hampir kosong dari perasaan. Seolah-olah rasa sakit telah tiada, perjuangan sudah selesai, dan tiba saatnya untuk “istirahat terakhir sebelum perjalanan panjang yang segera dimulai.”
Apa yang telah dikemukakan oleh Elisabeth Kubler-Ross tersebut—sebagaimana yang diakuinya sendiri—bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi pada setiap orang. Namun secara umum seseorang yang akan mengalami kematian sebagai akhir dari proses penderitaan akibat penyakit yang menjangkitinya akan mengalami tahapan-tahapan semacam itu. Hal ini memang lebih bersifat psikologis. Tetapi kondisi psikologis seseorang ketika dia mengetahui bahwa suatu penyakit telah menjangkitinya akan sangat mempengaruhi cepat atau lambatnya kesembuhan yang akan dia dapatkan. Sehingga hal ini juga akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses kematian yang akan dia alami.
Penjelasan di atas memberikan jawaban atas persoalan seputar tahapan-tahapan yang dialami seseorang menjelang kematian. Berkaitan dengan kematian itu sendiri, Tabrani Rab (1985 : 1-2) mengatakan terdapat empat penyebab terjadinya kematian pada diri manusia yaitu : berhentinya pernapasan, matinya jaringan otak, tidak berdenyutnya jantung, serta adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri.
Selanjutnya muncul persoalan lebih jauh yakni tentang kapan saatnya dinyatakan bahwa seseorang telah mengalami kematian. Meskipun kematian merupakan hal yang fenomenal di tengah kehidupan manusia, namun bukan hal yang mudah untuk memutuskan bahwa seseorang telah mengalami kematian.
Pada masa lampau—menurut ahli sejarah berkebangsaan Perancis, Philippe Aries—orang yang akan meninggal dunia secara resmi pamit kepada orang-orang yang dicintainya. Tetapi di sisi lain saat kematian itu sering kali tidak pasti, sehingga bila seseorang sedang mengalami kondisi tertentu yang secara umum dianggap mati, muncul keraguan apakah dia benar-benar telah mengalami kematian. Maka sering kali peti jenazah dilengkapi dengan berbagai peralatan teknis seperti selang untuk bernapas atau bel, sehingga orang yang dengan tidak sengaja dikubur hidup-hidup dapat memberi tanda kepada orang lain (Shannon, 1995 : 56). Hal ini menunjukkan betapa pada masa itu sangat sulit untuk menentukan kondisi kematian bagi seseorang, sehingga menimbulkan keragu-raguan apakah seseorang itu telah benar-benar mati atau belum.
Lalu, di masa sekarang mudahkah untuk menentukan bahwa kematian telah dialami seseorang? Ternyata tidak. Kemajuan ilmu dan teknologi telah menghasilkan berbagai peralatan canggih dalam dunia kedokteran. Pengandaian yang sudah cukup lama dianut oleh banyak orang bahwa, kematian dapat ditetapkan ketika jantung berhenti berdenyut dan pernafasan sudah tidak ada lagi, pada masa sekarang ini sudah tidak bisa dijadikan tolok ukur. Dengan bantuan life support system, orang yang pada masa lampau dianggap telah mati, bisa diyakinkan masih hidup, atau setidaknya diperpanjang masa kehidupannya. Namun benarkah dia hidup atau hanya ilusif belaka yang ditimbulkan oleh life support system itu. Boleh jadi, orang yang bernapas di hadapan kita dengan bantuan life support system itu hanyalah mayat, yakni mayat yang bernapas. Tentu hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri, apa tindakan yang harus diambil terhadap mayat yang seperti itu? Maka terasa perlu adanya definisi yang bisa diterima secara universal sebagai tolok ukur untuk menentukan bilakah seseorang dinyatakan telah mati.
Robert M. Veatch dalam bukunya Death, Dying and the Biological Revolution, sebagaimana yang dikutip oleh Shannon (1995 :58-60), mengemukakan empat pendekatan untuk mendefinisikan kematian. Empat pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, berkaitan dengan jantung dan paru. Definisi ini mencerminkan pengertian tradisional tentang kehidupan dan kematian. Karena napas dan darah merupakan bahan yang menandakan kehidupan. Maka bila pernapasan dan aliran darah tidak terjadi lagi berarti kematian telah menjadi kenyataan. Tetapi hal ini akan menjadi kabur karena pemakaian respirator.
Kedua, berkenaan dengan pemisahan tubuh dan jiwa. Definisi ini dilatarbelakangi oleh perspektif filosofis dan religius. Manusia dipahami sebagai kesatuan tubuh dengan jiwa.atau kesatuan tubuh dan bentuk. Jiwa atau bentuk menjiwai tubuh atau materi. Dari kondisi itu maka tersusunlah makhluk unik yang disebut manusia. Kematian berlangsung bila dua unsur ini dipisahkan. Kematian diartikan sebagai terputusnya kesatuan tubuh dengan jiwa. Definisi ini pun menimbulkan persoalan, yakni kapan saat terputusnya kesatuan itu.
Ketiga, kematian otak. Definisi ketiga berasal dari kriteria untuk koma ireversibel yang ditetapkan oleh sebuah panitia ad hoc pada Harvard Medical School tahun 1968. Kriteria ini adalah tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi atas rangsangan, tidak ada gerak spontan atau pernapasan, tidak ada refleks; dan situasi ini diteguhkan oleh electroencephalogram (EEG). Menurut pandangan ini, otak adalah tempat terjadinya kematian, karena otak adalah organ yang mengatur semua sistem organ lain dan merupakan dasar bagi kehadiran sosial seseorang di dunia. Dengan kematian otak atau ketidaksanggupannya yang ireversibel untuk berfungsi, maka prasyarat biologis bagi keberadaan seseorang sudah tersingkir. Kematian seluruh otak (batang otak, cortex dan neocortex) berarti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integrasi biologisnya dan karena itu juga integrasi sosialnya.
Keempat, kematian neocortex. Bisa terjadi, khususnya dalam kasus koma ireversibel, bahwa hanya batang otak seseorang yang masih aktif. Karena batang otak ini menjalankan sistem saraf kita yang spontan, bisa saja orang itu masih spontan bernapas dan jantungnya masih berdenyut. Menurut definisi ketiga tadi orang itu belum mati. Definisi keempat mencari jalan keluar dari situasi ini dengan hanya menganggap neocortex sebagi dasar bagi definisi kematian. Neocortex dipilih karena tampaknya merupakan prasyarat biologis bagi kesadaran dan kesadaran diri, yang menandai manusia sebagai ciri khasnya.
Ilmu kedokteran modern telah mengembangkan cara yang lebih baik untuk menentukan saat kematian, di antaranya dengan merekam kegiatan otak dengan menggunakan alat yang disebut electroencephalogram (EEG). Bila gambar EEG kelihatan datar, berarti semua aktivitas otak dianggap telah berhenti, maka orang yang bersangkutan dinyatakan mati. Tetapi, seringkali orang dalam keadaan demikian masih bisa dihidupkan lagi, misalnya dalam kasus hypothermia atau overdosis obat. Reanimation dan resuscitation dewasa ini sering dilakukan. Dalam dunia kedokteran dikenal adanya kematian klinis, yakni keadaan yang di situ kegiatan pernafasan, jantung dan reaksi otak kelihatan berhenti, tetapi resuscitation tidak dikesampingkan. Waktu untuk resuscitation umumnya lima menit, dan di dalam kasus istimewa seperti hypothermia diberi waktu tiga puluh menit. Tetapi lewat dari waktu itu akan terjadi kerusakan otak secara total dan diikuti dengan kematian bilologis, yakni saat ketika sekurang-kurangnya otak sudah kehilangan fungsinya secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali. Kematian biologis bersifat definitif: kehilangan fungsi vital dan rusaknya semua organ dan jaringan yang tidak dapat direparasi lagi.
Dalam konteks Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) telah mengeluarkan pernyataan tentang mati. Dalam pernyataan tersebut dikemukakan antara lain bahwa dalam tubuh manusia ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam penentuan kematian seseorang yaitu jantung, paru-paru, dan otak—khususnya batang otak (Kabanga’, 2002 : 160).
Jantung merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan kematian seseorang. Bila jantung berhenti maka akan mengakibatkan berhentinya pernapasan. Bila jantung berhenti bekerja maka pengedaran darah ke seluruh tubuh tidak akan berjalan dan pada gilirannya seluruh organ manusia menjadi kaku. Kemudian paru-paru, oksigen dan anoksemia bagian inilah yang menerimanya. Maka bila paru-paru ini berhenti bekerja, tidak ada lagi yang menarik oksigen masuk ke dalam tubuh manusia, sementara oksigen merupakan kebutuhan vital manusia untuk dapat bernapas. Otak dan segala syarafnya—menurut Soemiatno (1986 : 467)—sangat peka terhadap kekurangan oksigen dan anoksemia. Di sinilah terdapat hubungan yang erat antara otak dan paru-paru. Bila otak/batang otak mati, maka segala syarafnya tidak dapat lagi bekerja secara otomatis, dan dengan demikian secara total tidak lagi dapat berfungsi.
Gunawan dalam bukunya Memahami Etika Kedokteran (1992 : 46), mengutip PP No. 18 Tahun 1981, Bab 1 Pasal 1g yang menyebutkan bahwa meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Sunatrio menegaskan bahwa seseorang dinyatakan mati bila fungsi spontan pernapasan (paru-paru) dan jantung telah berhenti secara pasti atau telah terbukti terjadi kematian batang otak (Sunatrio, 1987 : 132). Menurut Pontifical Academy of Sciences 1995, seseorang dinyatakan mati bila secara ireversibel (berhentinya fungsi spontan secara total) dan dia kehilangan semua kemampuan untuk memadukan dan mengkoordinasikan fungsi fisis dan mental tubuh (Sunatrio, 1987 : 140).
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa dalam perspektif ilmu kedokteran, kematian terjadi bilamana fungsi spontan pernapasan (paru-paru) dan jantung telah berhenti secara pasti (ireversibel) atau otak, termasuk di dalamnya batang otak, telah berhenti secara total. Dengan demikian, kematian berarti berhentinya bekerja secara total paru-paru dan jantung atau otak pada suatu makhluk.
Namun demikian, selama proses meninggal dunia tetap berlangsung dalam konteks teknologis, berbagai definisi ini akan tetap diperdebatkan. Banyaknya definisi tentang mati memunculkan kesan yang tak terelakkan, yakni seolah-olah mati dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Sementara di pihak lain, proses kematian sejak manusia pertama hingga kini tidak pernah berubah sampai berakhirnya sejarah manusia. Maka sudah sewajarnya definisi mati juga tidak berubah-ubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar