Rabu, Desember 31, 2008

WARA': MENINGGALKAN SEGALA YANG MERAGUKAN


“Perkara yang halal telah jelas dan perkara yang haram pun telah jelas. Sedang di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat yang tidak diketahui kebanyakan orang. Barangsiapa yang memelihara dirinya dari hal-hal yang syubhat berarti ia telah membersihkan agama dan harga dirinya; dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat sama halnya dengan menggembalakan ternaknya di dekat daerah yang terlarang, yang dalam waktu dekat pasti ia akan melanggarnya…” (HR Imam Bukhari-Muslim)
Wara’ adalah sikap tegas seorang mukmin untuk meninggalkan segala sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam dirinya. Ini juga merupakan sikap membuang segala sesuatu yang bisa membuat diri menjadi tercela, lalu memilih yang lebih baik dan lebih kuat, dan mendorong diri untuk selalu berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan sehingga tidak terperosok kepada sesuatu yang bersifat syubhat.
Syubhat adalah hal yang diragukan status hukumnya, halal atau haram, namun meninggalkannya adalah tindakan yang lebih baik daripada mengambilnya. Ini merupakan syarat yang perlu diperhatikan ketika berhadapan dengan hal-hal yang syubhat. Memudah-mudahkan untuk menerima yang syubhat berarti kekuranghati-hatian, dan ujungnya tentu akan berakhir pada kerugian. Sebaliknya, wara’ merupakan sikap kehati-hatian dan bisa dipastikan akan berakhir pada keadaan yang lebih baik daripada yang pertama. Menurut Ibnul Qayyim, wara’ merupakan sikap meninggalkan hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian dan bahaya di akhirat nanti.
Para ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud Allah dalam firmanNya pada Surat Al-Muddatsir [74] ayat 4: “Dan pakaianmu bersihkanlah” adalah membersihkan diri. Ada satu ungkapan dari Ghailan Ats-Tsaqafi yang maksudnya bisa dijadikan arti dari ayat tersebut. ia berkata: “Terpujilah Allah, Dia telah memberikan padaku kekuatan untuk tidak mengenakan pakaian khianat dan berbagai macam kedoknya.”
Membersihkan diri dari pakaian khianat dan segala macam bentuk kedoknya merupakan usaha mencapai kesempurnaan akhlak. Tidak perlu diragukan lagi bahwa wara’ menjadi salah satu cara yang dapat ditempuh menuju ke sana. Wara’ akan membimbing manusia untuk bisa melepaskan hatinya dari belenggu najis dan berbagai macam kotorannya. Laksana air yang membersihkan pakaian dari najis dan kotoran, wara’ adalah pembersih bagi hati dari najis dan kotorannya.
Menurut Ibrahim bin Adham ada tiga perilaku yang harus ditinggalkan agar seseorang bisa dikatakan sebagai seorang yang wara’. Pertama, meninggalkan perkara yang syubhat. Kedua, meninggalkan apa pun yang bukan menjadi urusan kita. Ketiga, meninggalkan segala perkara yang tidak menghasilkan manfaat. Bila ketiga hal itu bisa dipenuhi oleh seseorang, maka ia layak disebut sebagai seorang yang wara’. Menurut Imam At-Tirmidzi, Rasul Saw pernah memberi nasehat kepada Abu Hurairah ra agar bersikap wara’, dan beliau mengatakan bahwa sikap wara’ tersebut bisa membuat seseorang menjadi paling ahli dalam ibadah.
Tidak akan sampai pada sikap wara’ bila seseorang belum bisa membedakan yang terbaik di antara dua hal yang baik, dan yang terburuk di antara dua hal yang buruk. Kemampuan memilah di antara hal-hal yang seperti itu disyaratkan untuk bisa bersikap wara’. Kaitannya lebih lanjut tentulah dengan ilmu. Pemilahan hanya bisa dilakukan bila seseorang memiliki ilmu tentangnya. Bila ilmu belum dimiliki, bisa dipastikan pemilahan yang dihasilkan menjadi sebuah kekeliruan.
Dalam sebuah contoh bisa digambarkan keadaan keliru dalam memahami wara’. Misalnya, ada seorang lelaki tua meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang berstatus syubhat. Di sisi lain, ia masih memiliki utang pada beberapa orang tetangga. Ketika para tetangga tersebut meminta pelunasan utang tersebut, anak dari lelaki tua itu berakata: “Mana mungkin aku bisa membayar utang-utang ayahku dengan menggunakan harta syubhat.”
Dalam kasus ini mungkin anak tersebut menyangka bahwa dirinya adalah seorang yang wara’, seorang yang berjati-hati untuk tidak menggunakan barang syubhat. Tapi sungguh, pemahaman yang seperti itu merupakan pemahaman yang keliru. Ia tidak bisa membedakan mana yang terburuk di antara dua hal yang buruk. Membayar utang adalah kewajiban, dan ia meninggalkan kewajiban tersebut karena kebodohannya, lalu menyangka bahwa ia seorang yang wara’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan kaidah wara’ dengan mengatakan bahwa tidak ada zuhud maupun wara’ terhadap hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, tapi zuhud dan wara’ bisa dilakukan pada hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan.
Bila kaidah tersebut dijadikan untuk memahami kasus di atas, nyatalah kekeliruan si anak yang tidak mau melunasi utang-utang ayahnya karena yang ditinggalkannya adalah harta syubhat. Kedudukan utang adalah wajib untuk dilunasi, sehingga wara’ dan zuhud tidak berlaku dalam wilayah itu.
Di negeri akhirat, di mana setiap manusia hadir untuk pertama kalinya di sana, Allah akan menganugerahkan derajat yang berbeda-beda bagi mereka, dan derajat itu diperoleh manusia sesuai dengan tingkat kewara’an mereka semasa menjalani hidup di dunia. Semakin dalam kewara’an yang dimiliki seseorang akan semakin tinggi derajat yang kelak diterimanya di sisi Allah Swt. Semakin meningkat kewara’an seseorang, semakin cepat langkah yang bisa mereka lakukan ketika menyeberangi shirathal mustaqim, karena semakin ringan beban yang mereka pikul.
Ketahuilah bahwa wara’ dapat meringankan beban manusia ketika menempuh perjalan panjang kehidupan akhirat. Mengapa demikian? Karena di dunia ini wara’ membimbing manusia untuk menjauh dari keburukan dengan ketulusan niat, dan menggantinya dengan mengumpulkan banyak bekal berupa kebaikan, pemeliharaan iman, dan juga menjauh dari berbagai batasan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt karena pendekatan terhadap batasan-batasan tersebut dapat mendorong manusia untuk berbuat melampauinya. Itulah sebabnya Allah memerintahkan kepada kita untuk tidak mendekat kepada batasan-batasan larangan Allah, karena pada titik tersebut orang-orang yang tidak wara’ sering kali terdorong untuk melampauinya.
Di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah [2] ayat 187 Allah Swt berfirman: “…Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendektinya…”
Hal senada juga diungkapkan Allah dalam firmanNya pada Surat Al-Baqarah [2] ayat 229: “…Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya…”
Pada hakikatnya wara’ lahir dari perasaan takut kepada Allah Swt. Dalam tahapannya, rasa takut kepada Allah membuahkan wara’ dan wara’ melahirkan zuhud. Sikap-sikap inilah yang akan menyelamatkan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Apabila seseorang memilih untuk mengalihkan seluruh perhatian kalbunya hanya untuk kepentingan akhirat, lalu ia menghadapi semua persoalan dunia berlandaskan Al-Quran, maka terbukalah baginya pintu keridhaan Allah dan diberi Allah kemampuan padanya untuk mengemban kewara’an. Tidak ada yang ia kerjakan melainkan telah sangat jelas kehalalannya. Ia akan menjadi manusia yang sangat berhati-hati dalam berbuat. Ia akan menikah dengan akad nikah yang benar, menerima warisan dari harta yang halal, melakukan transaksi dengan cara yang halal, pendek kata ia hanya melakukan semua perkara yang sangat jelas hukum kehalalannya.
Kisah-kisah Para Pengemban Wara’
Mungkin tidak begitu mudah untuk menjelaskan secara gamblang apa sesungguhnya wara’ dan berbagai macam persoalan yang mengitarinya. Tapi melalui kisah-kisah yang bersumber dari hadits-hadist Rasulullah yang shahih barangkali kita akan mendapatkan pengertian apa hakikat wara’ tersebut. simaklah beberapa kisah berikut ini.
Bersumber dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, Rasul Saw berkisah bahwa dahulu ada dua orang lelaki yang telah menjalani transaksi jual beli tanah dengan cara yang benar. Kisahnya bermula ketika seorang lelaki membeli sebidang tanah milik lelaki yang lain. Setelah beberapa lama mengolah tanah yang baru dibelinya itu, ia menemukan di dalamnya terkubur sebuah gentong penuh beirisi emas. Ia kemudian menemui lelaki yang darinya tanah itu ia beli.
“Ambillah emas ini, karena ini adalah hakmu. Aku hanya membeli tanah darimu, bukan emas ini.”
Si penjual tanah menjawab: “Sesungguhnya aku menjual tanah beserta seluruh isi yang terkandung di dalamnya. Emas itu bukan milikku, tapi sudah menjadi hakmu.”
Masing-masing mereka enggan mengambil emas segentong itu. Mereka merasa emas itu bukan hak mereka. Lalu, keduanya sepakat membawa permasalahan itu kepada seorang hakim yang adil.
Setelah mendengar penjelasan dari kedua lelaki itu, sang hakim kemudian bertanya: “Apakah kalian berdua memiliki anak?”
Lelaki pertama menjawab: “Aku punya seorang anak lelaki.”
Lelaki kedua menjawab: “Aku punya seorang anak perempuan.”
Hakim itu kemudian berkata: “Nikahkanlah masing-masing anak kalian itu, lalu shadaqahkan emas itu kepada mereka berdua.”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, dikisahkan bahwa Nabi Saw menjumpai cucu beliau, Hasan bin Ali, mengambil sebiji kurma dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya. Melihat hal itu Nabi kemudian berkata: “Ukh..! Ukh..!” dengan maksud agar Hasan mengeluarkan kurma itu dari mulutnya. Kepadanya beliau bersabda: “Tidakkah kamu sadar bahwa kita tidak boleh memakan hasil zakat?”
Sikap wara’ tidak hanya ditunjukkan oleh Rasulullah, tapi juga oleh para sahabat. Berikut ini adalah kisah tentang sikap wara’ yang ditunjukkan oleh Zainab binti Jahsy ra. Ia adalah salah seorang istri Nabi Saw. Saat orang-orang munafik menyebarkan berita bohong tentang ‘Aisyah, dan banyak orang pada saat itu yang senang dengan tersebarnya berita bohong itu, Zainab binti Jahsy tidak terpengaruh oleh semua itu. Rasulullah pernah bertanya kepada Zainab: “Wahai Zainab, tentunya engkau mendengar berita yang dihembuskan oleh orang-orang munafik. Katakan padaku, apa yang kau ketahui tentang ‘Aisyah?”
Zainab kemudian menjawab: “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak mengetahui apa pun tentang ‘Aisyah melainkan hanya seorang yang baik.”
‘Aisyah sendiri bersaksi tentang Zainab: “Meskipun ia setara denganku di sisi Nabi Saw, namun ia tidak terpengaruh oleh berita bohong orang-orang munafik. Karena sikapnya itu, Allah memelihara dirinya berkat kewara’an yang dimilikinya.
Abu Bakar Ash-Shiddiq dikenal sebagai salah seorang sahabat yang wara’, bahkan kewara’an beliau dinilai banyak orang berada tepat di bawah kewara’an Rasulullah Saw. Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, disebutkan bahwa dahulu ia mempunyai seorang pelayan yang bertugas mengurus gajinya, sementara Abu Bakar selalu makan dari gajinya itu. Suatu hari, sang pelayan datang menemui Abu Bakar dengan membawa makanan untuknya. Abu Bakar kemudian memakan sebagian dari makanan tersebut. Belum sampai makanan itu habis, Abu Bakar kemudian bertanya: “Dari mana engkau memperoleh makanan ini?” Si Pelayan menjawab: “Dahulu pada masa jahiliyah, aku pernah meramal nasib seseorang, padahal sesungguhnya aku tidak memiliki pengetahuan tentang itu, aku hanya berpura-pura. Tadi aku kembali bertemu dengannya, dan memberikan padaku makanan yang baru saja sebagian darinya kau makan.”
Mendengar ucapan si pelayan itu, Abu Bakar segera memasukkan jari-jarinya ke mulutnya hingga semua makanan yang baru disantapnya itu dimuntahkannya. Kemudian ia berkata: “Aku mendengar kekasihku Muhammad Saw bersabda: ‘Daging yang tumbuh dari barang yang haram, tempat yang layak baginya hanyalah neraka’.
Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah Atsar yang bersumber dari Nafi’. Dahulu, Umar bin Khaththab ra telah menetapkan santunan untuk kaum Muhajirin pertama masing-masing 4000 dirham. Tapi untuk anaknya sendiri, Ibnu Umar, ia berikan hanya 3500 dirham. Ketika orang-orang berkata padanya bahwa Ibnu Umar adalah salah seorang Muhajirin dan berhak memperoleh 4000 dirham, Umar menjawab: “Sesungguhnya ia hijrah disebabkan oleh kedua orangtuanya yang membawanya. Saat itu ia masih kecil, sehingga hijrahnya bukanlah atas kehendak sendiri seperti halnya kaum Muhajirin yang lain.”
Itulah beberapa kisah tentang sikap wara’ yang diperlihatkan oleh Nabi dan para sahabat. Belumkah tiba saatnya bagi kita untuk mencontoh mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar