Minggu, November 16, 2008

CINTA KEPADA ALLAH

Cinta kepada Allah merupakan tujuan akhir dan titik klimaks dari seluruh tingkatan dan tahapan (maqamat) dalam kehidupan orang yang menapaki jalan menuju keridhaan Allah. Tidak satu pun tingkatan yang melebihi tingginya cinta (mahabbah) kepada Allah, kecuali semuanya merupakan hasil akhir dari perasaan cinta itu sendiri, seperti rindu kepada Allah (asy-syauq) dan rasa tenang bersama Allah (al-uns). Dan setiap tingkatan yang lebih rendah dari rasa cinta ini, merupakan pendahulu-pandahulunya saja, semisal taubat, sabar, zuhud, dan yang lain.
Cinta (mahabbah) adalah tingkatan yang paling tinggi, agung, bermanfaat, dan merupakan kewajiban manusia untuk mencintai Allah yang dengannya manusia akan tetap menuhankan-Nya. Karena Tuhan adalah Dzat yang dituhankan, atau sebagai sesembahan Tunggal, sehingga wajib bagi makhluk ciptaan-Nya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan perintah yang diberikan Allah, dan menjauhi semua larangan-Nya. Hakekat iabadah sendiri adalah totalitas (keseluruhan) cinta yang disertai oleh totalitas rasa tunduk dan merendahkan diri di hadapan Sang Khalik.
Cinta kepada Allah merupakan cinta yang berdiri sendiri dan sebagai sumber utama dari keseluruhan cinta kepada selain Allah. Hal ini diperkuat dengan adanya kitab-kitab samawi yang telah diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui para Rasul, sebagai suatu kenikmatan yang tiada tara. Dalam al-Qur’an Allah telah banyak memberikan penjelasan tentang hal tersebut. Diantaranya adalah firman Allah :
“Dan segala nikmat yang ada padamu, maka dari Allah datangnya, dan bila kamu ditimpa kemudharatan, maka kepada Allah saja kamu memohon pertolongan.” (Q.S. An-Nahl [16]: 53)
Dalam ayat lain diterangkan :
“Dan diantara manusia, ada golongan yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 165)
Dalam ayat lain diterangkan pula :
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut kepada orang-orang mukmin, yang bersikap keras kepada orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut terhadap celaan dari orang-orang yang mencela.” (Q.S. al-Maidah [5]: 54)
Mencintai Allah dan Rasul-Nya, dapat dijadikan tolok ukur bagi keimanan seseorang. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan :
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Kepada Rasulullah saja kita harus mencintai, apalagi kepada Allah. Tapi, kenyataannya kini terbalik. Allah senantiasa memberikan karunia kepada umat manusia, sementara manusia sendiri justru sering melanggar larangan-Nya. Allah mencintai manusia dengan segala kenikmatan yang Dia curahkan, sedangkan manusia hanya membuat timbulnya murka Allah dengan berbagai kemaksiatan. Padahal Allah tidak membutuhkan bantuan manusia, tetapi manusialah yang secara mutlak membutuhkan bantuan dari Allah. Namun demikian, karunia Allah yang demikian luas tidak banyak menghalangi manusia dari berbuat kemaksiatan, dan kemaksiatan serta dosa yang dipikul tidak pernah memutuskan kehendak Allah untuk mencurahkan kenikmatan kepada mereka.
Jika kita mencintai seseorang dan ia pun mengimbanginya, maka kecintaannya itu ada maksud-maksud tertentu yang akan menguntungkan dirinya. Lain halnya dengan kecintaan Allah terhadap kita, bukan untuk memenuhi kepentingan-Nya, tetapi justru untuk memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Biasanya, orang lain yang bergaul dengan kita, jika pergaulan itu ternyata tidak menguntungkannya, maka dia segera akan memutuskannya. Sebab dia hanya ingin mendapatkan keuntungan saja dari persahabatannya dengan kita. Namun Allah bersahabat dengan kita dengan maksud untuk memberikan kebahagiaan dan kesenangan yang hakiki. Allah memberikan ganti untuk satu dirham yang kita infakkan dengan sepuluh kali lipatnya, bahkan sampai tujuh ratus kali, atau sampai berlipat ganda dan tidak terhitung lagi oleh kita. Padahal setiap keburukan perbuatan yang kita lakukan hanya dibalas sesuai dengan keburukannya. Disamping itu, Allah sangat mudah memaafkan kesalahan dan menghapus dosa yang kita perbuat, jika ditebus dengan amal kebajikan. Allah menciptakan manusia untuk berbakti kepada-Nya dan dunia seisinya serta akhirat diciptakan untuk mereka. Karena itu, tidak ada sesuatu pun yang dengannya kita dapat mengharap ridha dan cinta, selain daripada Allah Subhanahuwata’ala.
Segala kebutuhan makhluk, berada dalam kekuasaan Allah. Dia Maha pemurah lagi Maha Pemberi. Mengabulkan segala permintaan hamba-Nya, lebih dari yang diminta oleh manusia. Dia-lah yang melipatgandakan balasan bagi amal kebajikan yang dilakukan sekalipun sedikit, serta mengampuni dan menghapus kesalahan yang besar. Allah itulah Tuhan sebagai tempat memohon pertolongan bagi seluruh penghuni langit dan bumi, dan setiap saat bergelimang dengan kesibukan mengatur makhluk-Nya. Tidak pernah merasa terganggu dan jemu oleh banyaknya permintaan mereka yang datang silih berganti. Bahkan Allah sendiri sangat senang dan memuji orang-orang yang meminta kepada-Nya, serta murka kepada mereka yang enggan berdoa. Sebab hanya orang yang enggan berdoa sajalah yang tergolong manusia yang sombong. Dia malu terhadap hamba-Nya, meskipun manusia tidak merasa malu kepada-Nya. Dan menutupi aib manusia, walaupun manusia enggan menutupi aibnya sendiri. Dan Dia menyayangi hamba-Nya, ironinya sang hamba tidak sayang pada dirinya sendiri. Dia mengajak mereka beribadah dengan berbagai imbalan kenikmatan dan kemuliaan, untuk menjaga kehormatan diri dan dan memperoleh ridha-Nya, tetapi tragisnya banyak yang menolak ajakan tersebut. Karena itu, diutuslah para Rasul untuk mengemban amanat, yang dibekali kitab-kitab sebagai tali perjanjian, kemudian Allah turun sendiri untuk memanggil hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan :
“Tuhan kita Yang Maha Luhur dan banyak karunia-Nya, turun setiap sepertiga malam yang terakhir ke langit dunia, seraya berseru, ‘Barangsiapa yang bermunajat (berdoa kepada-Ku), maka Aku kabulkan doanya.Dan barangsiapa memohon ampunan kepada-Ku, pasti Aku ampuni dosanya.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Boleh saja terjadi, hati manusia tidak sedikitpun tergores rasa cinta kepada Allah, yang tidak ada satu pun kebajikan kecuali berasal dari-Nya. Tidak ada Dzat lain yang dapat mengabulkan doa, menghapus noda, mengampuni dosa, menutupi semua aib dan cela, menghilangkan duka dan nestapa, menyelamatkan dari semua musibah yang menimpa, dan yang memberikan semua yang diminta oleh seorang hamba, kecuali Allah Subhanahuwata’ala. Sebab cinta kepada Allah merupakan air kehidupan bagi hati dan konsumsi pokok bagi setiap jiwa insani. Tidak ada kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan dan kehidupan bagi hati, kecuali dengan cinta kepada Allah. Apabila hati seseorang kehilangan cinta, maka ia akan merasakan sakit yang sangat dalam, melebihi sakitnya mata yang kehilangan kornea, telinga yang kehilangan kendang pendengaran, bahkan merasakan sakitnya kerusakan hati. Apabila hati telah kosong darai rasa cinta kepada Sang Khalik, maka dapat dipastikan bahwa rusaknya hati lebih parah daripada rusaknya raga ketika terpisah dari ruhnya. Hal semacam ini sulit dipercaya, kecuali bagi mereka yang memiliki cahaya hidayatullah. Sebab menurut pemahaman orang yang tidak mendapatkan petunjuk dari Allah, orang yang meninggal tidak lagi merasakan sakit, sekalipun dia dilukai.
Fatah al-Musili mengatakan, “Orang yang memiliki mahabbah (cinta), baginya dunia ini bukan tempat untuk mereguk semua kelezatan yang kekal, sehingga dia selalu mengingat Allah, walau sekejap mata.” Sebagian salafush-shalih menegaskan, “Orang yang bermahabbah, hatinya senantiasa melayang mencari Allah, banyak menyebut nama-Nya, mencari keridhaan-Nya dengan segala cara yang dia mampu untuk melakukannya, baik berupa amalan fardhu maupun sunnah, dengan merasakan rindu yang membara kepada-Nya.”
Ada seorang wanita dari kalangan salafush-shalih memberikan nasehat kepada putranya, “Anak-anakku, biasakanlah kamu mencintai dan taat kepada Allah. Sebab orang-orang yang bertakwa hatinya selalu tunduk pada ketaatan, sehingga seluruh anggota tubuhnya merasa asing ketika berbuat di luar itu. Jika Iblis, si laknatullah meniupkan angin kemaksiatan, maka maksiat itu akan berlalu begitu saja dari diri mereka, lantaran merasa malu kepada Allah, sehingga selamatlah diri mereka dari tipuan setan.” Abdullah bin Mubarak juga telah menyampaikan pesan dalam sebuah syair :
Engkau durhaka kepada Tuhanmu
tapi engkau mengaku
cinta kepada-Nya
alangkah naifnya dirimu,
seandainya cintamu tulus suci,
niscaya engkau akan taat kepada-Nya
karena
orang yang mencintai kekasihnya,
akan menuruti segala keinginannya
Jadi, hanya orang yang memiliki rasa keimanan yang mendalam lagi sempurna yang akan mampu mengerti tentang pentingnya rasa cinta (mahabbah) kepada Allah dan merealisasikannya dalam bentuk amal yang nyata dalam kehidupan beragama maupun masyarakat. Semoga kita termasuk ke dalamnya. Wallahu ‘alam… (J. Rinaldi, 2003)
Kata-kata bijaknya:
Agungnya Sang Khalik dalam perasaanmu pasti mengecilkan semua makhluk dalam pandanganmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar